Perceraian Meningkat, DKP3A Kaltim Gelar Konseling Catin

Samarinda — Untuk mencegah terjadinya kasus perceraian yang semakin meningkat perlu adanya komitmen antara pemerintah, LM dan stakeholder terkait untuk bersinergi bersama-sama mempunyai program bagi para remaja baik laki-laki maupun perempuan yang kelak akan menjadi calon pengantin.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad mengatakan, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.

Pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua hati dan dua individu, akan tetapi yang penting apa tujuan dari pernikahan itu sendiri. Untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar saling mengerti dan tepo seliro untuk mencapai kebahagiaan yang diinginkan.

“Namun dalam perjalanannya berumah tangga pasti akan menemui problematika dalam kehidupan yang semula tidak kita bayangkan akan terjadi ternyata tidak seperti dulu semua berjalan dengan manis gimana Semua terlihat indah terasa bahagia  serasa dunia milik kita berdua,” ujar Halda pada kegiatan Advokasi / Konseling Calon Pengantin, berlangsung di Ruang Rapat Kartini DKP3A Kaltim, Selasa (20/10/2020).

Tujuan perkawinan yang ideal, lanjut Halda, tidak mudah digapai karena banyak kendala atau permasalahan yang menuntut setiap pasangan harus lebih arif menyikapinya tidak menyalahkan satu dengan lainnya.

Selain itu, keterbatasan ruang gerak anggota keluarga di masa pandemic Covid-19 akan menimbulkan kejenuhan yang berujung pada ketidakharmonisan rumah tangga jangan sampai pandeminya berlalu keluarga meninggalkan masalah yaitu banyaknya yang bercerai.

Kasus perceraian dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang Kompleks seperti masalah ekonomi  dan orang ketiga (another woman or man) serta KDRT.

Halda menambahkan, di Kaltim pada tahun 2018 kasus perceraian tercatat sebanyak 2249 kasus Kemudian pada tahun 2019 jumlahnya meningkat menjadi 7803 kasus.

“Kasus perceraian di Kota Samarinda adalah yang tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya yaitu sebanyak 2665 kasus dimana 70% kasus karena gugat cerai dari istri dan 30% talak cerai dari suami dan kasus perceraian kebanyakan di usia 40 tahun ke bawah,” terang Halda.

Melihat data ini, Pemerintah Provinsi Kaltim berupaya untuk mencari solusi untuk menekan angka perceraian tersebut salah satunya adalah kegiatan Advokasi/Konseling bagi Catin.

Halda juga berpesan, saat mengarungi bahtera rumah tangga beberapa kunci ketahanan dalam membina rumah tangga adalah sabar, hidup sederhana, gotong royong dalam rumah tangga, adanya komunikasi antar anggota keluarga dan komitmen suami dan istri.

Kegiatan ini diikuti 20 pasang catin. Hadir menjadi narasumber Kepala KUA Samarinda Ilir Imtiqa dan Psikolog Yayasan Sinar Talenta Widarti.(dkp3akaltim/rdg)

Konvensi HaK Anak Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Samarinda — Perubahan banyak terjadi baik sebelum maupun sesudah masa pandemic Covid-19, sehingga kebutuhan anak-anak tak seharusnya menjadi berbeda. Anak-Anak masih butuh dianggap mampu, butuh bersosialisasi dengan teman, butuh tantangan, dan tetap butuh dunia yang memberikan masa depan untuknya.

Sayangnya, kondisi saat ini terjadi pembatasan sosial yang menuntut remaja harus mampu menahan diri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, baik dalam pemenuhan hak bermain maupun belajar.

“Diperlukan kearifan banyak pihak dalam hal ini orang tua, guru, masyarakat dalam menyikapi kondisi yang ada, sehingga apa yang terjadi tidak melanggar ketentuan Konvensi Hak Anak,” ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad pada kegiatan Pelatihan Konvensi Hak Anak Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan se Kaltim, berlangsung di Hotel Grand Victoria Samarinda, Selasa (20/10/2020).

Konvensi Hak Anak (KHA), lanjut Halda, merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, yang artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tersebut terikat pada janji-janji yang ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya. KHA merupakan sebuah perjanjian hukum international tentang hak-hak anak, secara sederhana dapat dikelompokkan kedalam 3 hal, pertama, mengatur tentang pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk dilindungi, dipenuhi dan ditingkatkan.

“Kami sampaikan bahwa saat jumlah Sekolah Ramah Anak di Provinsi Kalimantan Timur telah mencapai 241 sekolah yang tersebar di 9 kabupaten/kota kecuali Kabupaten Mahakam Ulu belum menginisiasi,” terang Halda.

Adapun salah satu prasyarat Sekolah Ramah Anak adalah para guru dan tenaga kependidikan sudah terlatih KHA sehingga mampu mengimplementasikan di sekolah masing-masing. Sehingga, akhirnya sekolah menjadi ramah anak dan bebas kekerasan.

Sebagai informasi, Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) di Kaltim sebanyak 11 RBRA. Saat ini dalam proses standardisasi oleh Kemen PPPA dan Kaltim sebagai Pilot Project RBRA. Sementara Tempat Ibadah Ramah Anak sebanyak 21 MRA dan Pelayanan ramah anak di puskesmas (PRAP) sebanyak 45 PRAP.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 573 partisipan online dan offline terdiri dari Dinas PPPA se Kaltim, tenaga pendidik dan kependidikan tingkat SD/ MI, SMP/MTs, SMA/ SMK/ MAN dan SLB. Hadir menjadi narasumber Fasilitator KLA Pusat Hamid Pattilima. (dkp3akaltim/rdg)