Transportasi dan Ruang Publik yang Tidak Ramah Anak Picu Kekerasan Pada Anak

Moda transportasi dan ruang publik yang tidak ramah anak dapat memicu kasus kekerasan dan diskriminasi pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus berupaya memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menghadirkan moda transportasi dan ruang publik yang nyaman dan ramah untuk digunakan anak. Setiap anak Indonesia berhak untuk mendapatkan penunjang gerak yang aman dari kekerasan, diskriminasi serta tidak menghambat tumbuh kembangnya.

Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Rohika Kurniadi Sari mengatakan, membangun infrastruktur ramah anak adalah membangun sumber daya manusia (SDM) ke depan, tidak hanya upaya membangun secara fisik, tapi juga membangun kultur sosial yaitu perilaku masyarakat untuk menghargai dan disiplin mengikuti aturan infrastruktur tersebut.

“Hal ini harus dilaksanakan berdasarkan kearifan lokal setiap daerah, dan tentunya memerlukan kolaborasi semua pihak melalui langkah konkrit demi mewujudkan kepentingan terbaik bagi 80 juta anak Indonesia. Membangun moda transportasi dan ruang publik ramah anak merupakan salah satu kontributor dalam mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA 2030),” ujarnya dalam Diskusi Publik Infrastruktur Ramah Anak dengan tema “Moda Transportasi dan Ruang Publik Ramah Anak” yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (13/10/2020).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi contoh praktik baik yang telah menghadirkan moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Prestasi ini diharapkan dapat memotivasi Provinsi lain untuk ikut mereplikasi praktik tersebut demi mengoptimalkan tumbuh kembang seluruh anak Indonesia.

“Praktik ini sangatlah penting dan harus dilaksanakan semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media massa juga harus turut serta bertanggungjawab menghadirkan infrastruktur yang ramah anak,” ujar Rohika.

Pemprov DKI Jakarta telah menghadirkan enam Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersertifikasi ramah anak. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga berkomitmen bersama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyedia transportasi publik untuk menghadirkan pos pencegahan dan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu sebanyak 23 pos di halte Transjakarta, 13 pos di stasiun MRT dan 6 pos di Halte LRT.

Pemprov DKI Jakarta juga telah menyediakan 177 unit bus sekolah yang menayangkan materi KIE terkait stop bullying, menyediakan lebih dari 300 unit bus transjakarta dengan lantai yang rendah (lower tier deck) agar memudahkan ibu hamil, anak, dan lansia saat menggunakannya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI), Luhur Budijarso mengungkapkan bahwa dunia usaha di bawah APSAI terus berupaya memberikan dukungan dalam membangun tumbuh kembang anak melalui infrastruktur ramah anak, khususnya terkait moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Adapun salah satu peran dunia usaha dalam mendukung upaya tersebut yaitu menyediakan bisnis berupa alat transportasi atau jasa dan layanan yang ramah anak dengan memegang komitmen 3P, meliputi policy (kebijakan), product (produk), dan program.

Widyaiswara Ahli Utama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Sri Cahaya Khoironi mengungkapkan budaya keamanan cyber belum sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan di ranah publik. Seringkali posisi anak dalam ekosistem layanan publik agak terabaikan. Padahal keamanan cyber adalah hal yang mutlak, mengingat kejahatan di dunia maya terus berkembang sesuai kemajuan teknologi.

Berdasarkan data Kominfo pada September 2020, penanganan konten negatif pada situs internet mencapai 1,3 juta konten. Konten pornografi masih menjadi masalah utama yang menjerat anak di internet yaitu sebanyak satu juta konten, baik anak disasar sebagai pengguna maupun ikut serta dalam konten pornografi tersebut. Hal ini menunjukkan secara infrastruktur masih banyak permasalahan. Untuk itu, diperlukan strategi keamanan siber sebagai kunci perlindungan anak yang harus dibangun berawal dari keluarga dan anak, tentunya harus dikawal secara kolaborasi dengan melibatkan lintas sektor baik pemerintah, dunia usaha, media massa, dan masyarakat.

Keluarga Agen Utama Perubahan Perilaku Mencegah Penularan Covid-19

Sejak merebaknya Covid-19 di klaster keluarga, pemerintah memfokuskan kampanye 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan dan Menjaga Jarak) pada keluarga yang memiliki peran sentral sebagai ujung tombak edukasi perubahan perilaku. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun Protokol Kesehatan Keluarga sekaligus telah merilis materi KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) agar Protokol Kesehatan Keluarga dapat dipahami dengan mudah.

Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA mengatakan, penyebaran virus Corona ini sangat cepat. Setiap anggota keluarga berpotensi menularkan dan tertular karena interaksi secara terus menerus. Kampanye patuh 3M ini harus sering dilakukan karena diakui, mengubah perilaku untuk hidup sehat dan bersih di masyarakat itu tidak mudah.

“Di dalam keluarga itu sendiri, peran Ibu sebagai manajer rumah tangga menjadi sangat penting,” ujar dalam sambutan pada Webinar Peran Sentral Keluarga Dalam Pencegahan Covid-19 di Jakarta, Rabu (14/10/2020).

Sementara itu Juru Bicara Kemen PPPA, Ratna Susianawati menjelaskan edukasi pencegahan penyebaran Covid-19 harus dimulai dari kedisiplinan di dalam rumah, di luar rumah saat beraktifitas hingga saat anggota keluarga tiba kembali di rumah. Peran Ibu disini dapat terlibat untuk memastikan setiap anggota keluarga aman dan tidak terpapar.

“Peran keluarga sangat besar untuk terlibat dalam pencegahan penyebaran virus Corona karena keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial yang diberikan tanggungjawab pertama untuk mengatur perilaku yang dikehendaki pemerintah. Dalam hal ini, keluarga dan anggota di dalam rumah sekaligus menjadi agen utama pelaku sosialisasi agar setiap individu tergerak dan bertanggungjawab menjalankan protokol kesehatan serta saling menjaga satu sama lain. Sosok Ibu dalam keluarga menjadi pengawas yang memastikan keluarga aman,” tegas Ratna Susianawati.

Agar pesan 3M dan Protokol Kesehatan Keluarga ini massif dan diterima dengan baik oleh masyarakat, Kemen PPPA menurut Ratna bersinergi dengan banyak pihak yaitu Organisasi Perempuan seperti OASE, KOWANI , dan PKK , Lembaga Masyarakat, Dinas PPPA di seluruh Indonesia, Forum Anak dan Media Massa. Selain itu, Kemen PPPA juga terus mengaktifkan gerakan BERJARAK (Bersama Jaga Keluarga Kita) yang sudah dilakukan sejak bulan April lalu. KIE Protokol Kesehatan Keluarga dapat diakses di portal berjarak.kemenpppa.go.id dan di akun media sosial Kemen PPPA. Mengingat masyarakat Indonesia yang sangat heterogen maka setiap daerah dapat menyesuaikan KIE yang tersedia disesuaikan dengan bahasa dan kearifan lokal.

“Dimulai dari diri sendiri harus sehat, bila tidak sehat harap tidak bepergian. Orang yang sehat dan beraktifitas di luar harus memakai masker, membawa hand sanitizer dan jaga jarak minimal 1 meter. Ketika tiba di rumah, orang bersangkutan harus mempertimbangkan anggota keluarga di rumah sehingga seperti tercantum di Protokol untuk segera mandi sebelum berinteraksi,” ujar Kasubdit Kapasitas Kerja di Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga, Kementerian Kesehatan Rusmiyati.

Menjaga jarak diakui Rusmiyati banyak dilanggar masyarakat. Dari Hasil Survei Kepatuhan Masyarakat oleh Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Litbangkes, meskipun 96,6% dari 19.654 responden paham untuk menjaga jarak, namun prakteknya hanya 54,29% responden yang taat. Itu sebabnya Rusmiyati berpendapat, kampanye harus semakin massif dilakukan.

 

DKP3A Kaltim Dorong Percepatan Pembangunan Dengan SIGA

Samarinda — Dalam rangka percepatan pembangunan daerah memanfaatkan data, informasi gender dan anak merupakan salah satu instrumen penting dalam melaksanakan perencanaan maupun evaluasi program/kegiatan pembangunan di daerah.

Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan, data gender dan anak dapat membantu para pengambil keputusan untuk mengidentifikasi kondisi perkembangan laki-laki dan perempuan, mengevaluasi dampak dari intervensi pembangunan, mengidentifikasi masalah, membangun dan memilih opsi yang paling efektif untuk kemaslahatan perempuan dan laki-laki.

Agar pengelolaan database lebih optimal perlu didukung suatu aplikasi yang dapat menyimpan, menambah, mengubah, menghapus maupun mengaksesnya. Menyadari pentingnya data terpilah maka perlu adanya pengembangan aplikasi Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) di Kaltim.

Dengan adanya aplikasi SIGA sehingga dapat mempermudah dalam penyusunan kebijakan, program dan kegiatan,” ujar Halda saat menjadi narasumber pada kegiatan Pengumpulan Data Terpilah berlangsung secara virtual, Kamis (15/10/2020).
Halda menambahkan, data terpilah gender dan anak sangat penting untuk digunakan sebagai bahan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan bagi OPD. Disamping itu juga perlunya menyusun analisis gender dalam perencanaan dan penganggaran responsif gender.

Data terpilah berdasarkan jenis kelamin menjadi inti dalam menghasilkan statistik gender (pedoman data gender) yaitu informasi yang mengandung isu gender termasuk di dalamnya isu anak, sebagai hasil analisis gender.

Halda melanjutkan, gender dan anak merupakan isu lintas sektor yang melibatkan stakeholder berbagai bidang pembangunan. Saat ini struktur pengelolaan data terkait gender dan anak belum terdata dengan baik serta kondisi SDM yang masih perlu ditingkatkan. Banyaknya sumber data yang tersedia dan tidak terpusat menjadi salah satu tantangan dalam menyediakan bahan penyusunan kebijakan program dan kegiatan.

“Karena data gender dan anak menjadi elemen pokok bagi terselenggaranya PUG dan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA),” imbuh Halda.
Halda berharap adanya peningkatan koordinasi antar pengelola data, untuk mewujudkan suatu sistem pengelolaan data dan informasi gender dan anak yang bersinergi dan berintegrasi serta tersedianya data terpilah yang akurat.

Selain itu harus didukung oleh SDM yang paham terkait pentingnya data terpilah dan terampil dalam pengelolaan dan harus di dukung oleh ketersedian sarana dan prasarana. Peningkatan kapasitas SDM dapat dilakukan melalui diklat, pemanfaatan forum diskusi, raker teknis, kerjasama dan penguatan jejaring untuk meningkatkan. (dkp3akaltim/rdg)