DKP3A Kaltim Gelar Pencegahan KtP/A dan TPPO

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita melalui Kepala Bidang PPPA, Junainah mengatakan, dalam upaya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan maupun tindak pidana perdagangan orang (TPPO), tidak dapat bekerja sendiri.

“Perlu adanya keterlibatan dari stakeholder terkait seperi Unit PPA Polres, Kejaksaan dan Pengadilan Tinggi, Kementerian Agama Wilayah, Dinas Pendidikan dan berbagai pihak lainnya agar kasus kekerasan bisa diminimalisir dan pencegahan kekerasan dan TPPO dapat lebih ditingkatkan lagi,” ujarnya pada kegiatan Pertemuan Koordinasi dan Kerjasama Lintas Sektor Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A) dan TPPO, di Ruang Rapat Kartini DKP3A Kaltim, Kamis (23/12/2021).

Ana sapaan akrabnya menambahkan, menurut data aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), jumlah kekerasan di Kaltim pada tahun 2018 sebanyak 503 kasus, pada tahun 2019 sebanyak 629 kasus dan pada tahun 2020 sebanyak 610 kasus.

“Kekerasan yang dialami korban ini dapat berdampak baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendeknya biasanya dapat terlihat seperti adanya luka fisik, cacat kehamilan dan lain sebagainya,” imbuh Ana.

Sedangkan dampak angka panjang akan terlihat dikemudian hari, bahkan dapat belangsung seumur hidup, seperti hilangnya rasa percaya diri, trauma yang berujung depresi maupun ganguan kejiwaan lainnya.

Ia berharap, dengan kegiatan ini terjalin komitmen dalam menjalin kerjasama lintas sektor antara berbagai pihak yang terlibat dalam perlindungan perempuan dan anak serta TPPO, dan dapat menghasilkan rumusan kebijakan untuk peningkatan kualitas layanan perlindungan perempuan dan anak.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 40 peserta pada Pertemuan Koordinasi dan Kerjasama Lintas Sektor dan 40 peserta dari Forum Anak Kaltim dan Forum Anak Samarinda pada Sosialisasi Pencegahan KtP/A dan TPPO. Hadir menjadi narasumber Akademisi Universitas Widyagama Mahakam Sumadi, Tim Gubernur untuk Pengawalan Percepatan Pembangunan (TGUP3) Abdullah Karim, Kasi Tumbuh Kembang Anak Siti Mahmudah I K dan Kasi Perlindungan Perempuan Fachmi Rozano. (dkp3akaltim/rdg)

Rider/Driver Ojol Berlian di Bekali Pelatihan Jurnalistik

Samarinda — Sebagai agen Pelopor dan Pelapor (2P), rider/driver Ojek Online Bersama Lindungi Anak (Ojol Berlian) harus meningkatkan pemahaman dalam hal etika publikasi/jurnalistik di lingkungan sekitar.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita mengatakan, konsep yang diterapkan dalam inovasi Ojol Berlian adalah 3A, yaitu Aku Tahu (mengetahui informasi yang benar tentang kekerasan terhadap anak), Aku Mau (termotivasi untuk mengambil peran dalam mencegah dan merespon kekerasan terhadap anak), Aku Bisa (melakukan aksi nyata untuk mencegah dan merespon kekerasan terhadap anak).

Sehingga diperlukan bekal dasar materi jurnalistik agar saat menemukan suatu kondisi atau keadaan terkait perlindungan anak, perempuan dan disabilitas yang memerlukan publikasi maka tetap terjaga kode etiknya. Bahwa tujuan sharing adalah untuk menjaga “sharing is caring” serta memperoleh solusi.

“Sebagai contoh ketika menemukan perempuan tengah malam di pinggir jalan sepi dalam kondisi yang memprihatikan, bukan saja langsung membagikan fotonya ke media sosial hanya karena ingin dianggap sebagai “Pelapor dan Pelapor”. Namun utamakan perlindungannya terlebih dahulu dengan menghubungi pihak berwajib atau kontak layanan/hotline UPTD PPA,” ujar Soraya pada Kegiatan Pelatihan Jurnalistik Bagi SDM Ojol Berlian, berlangsung di Hotel Aston Samarinda, Selasa (14/12/2021).

Soraya menambahkan, inovasi Ojol Berlian diawali dengan peningkatan kapasitas SDM pada rider/driver ojek online melalui pembekalan tentang materi perlindungan perempuan dan anak, materi lalu lintas, dan materi aturan berkendara dengan tujuan agar menjadikan rider/driver ojek online sebagai agen 2P pencegahan tindak kekerasan terhadap anak, perempuan, dan disabilitas yang ada disekitarnya.

Ia berharap, kedepan semakin banyak rider/driver Ojol yang teredukasi dan dapat menjadi agen 2P. Karena perempuan dan anak-anak adalah kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap tindakan kriminal, korban kecelakaan pada sistem transportasi kota saat ini, termasuk juga rentan sebagai korban kekerasan seksual; selain itu, selain itu, data kekerasan perempuan dan anak di Kota Samarinda tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur selama tiga tahun terakhir dan belum seluruh lapisan masyarakat menerima edukasi terkait dengan pencegahan kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 60 peserta. Hadir menjadi narasumber Kepala Dinas Kominfo Kaltim, M Faisal dan Jurnalis Senior, Syafril Teha Noor. (dkp3akaltim/rdg)

DKP3A Kaltim Gelar Pelatihan UMKM Bagi SDM Ojol Berlian

Samarinda — Sebagai wujud komitmen Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Ojek Online (Ojol) utamanya di Kota Samarinda, Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim menggelar Pelatihan UMKM Bagi SDM Ojek Online Bersama Lindungi Anak (Ojol Berlian), berlangsung di Hotel Aston Samarinda, Selasa (14/12/2021).

Kepala Dinas KP3A Kaltim, Noryani Sorayalita mengatakan, sampai dengan akhir tahun 2019, telah terdapat 257 anggota Ojol Berlian yang sudah teredukasi dari beberapa manajemen aplikator. Diantaranya, Grab, Gojek, Maxim, Oke Jack, Pesan Bungkus, Kirim Kanai, dan Rider Muslimah. Namun dikarenakan pada tahun 2020 terjadi Pandemi Covid-19 ada beberapa ojek online terkena dampak dan tidak lagi beroperasi.

“Dampak pandemi menunjukkan bahwa terjadi penurunan pendapatan ojek online yang ditinjau dari jumlah pelanggan setelah ditetapkannya protokol kesehatan (pembatasan sosial skala besar maupun PPKM) oleh pemerintah,” ujar Soraya.

Namun demikian, lanjut Soraya, koordinasi antara pengelola inovasi dan manajemen aplikator untuk komitmen bersama dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak, perempuan dan disabilitas tetap terjalin.

“Bahkan beberapa kali bekerjasama dalam aksi sosial kemanusiaan seperti penyaluran bantuan korban banjir, pendampingan psikologis bagi korban kekerasan yang rekan-rekan laporkan maupun rekan-rekan ojol sendiri yang mengalami meskipun masa pandemi,” imbuh Soraya.

Soraya berharap, Pelatihan UMKM ini dapat meningkatkan pemahaman dan keahlian guna pengembangan diri rider/driver ojek online terutama di masa pandemi saat ini.

Sebagai informasi, pada bulan November tahun 2020, Inovasi Ojol Berlian masuk dalam “TOP 45 Inovasi Pelayanan Publik Kategori Responsif Gender” dengan upaya pelibatan partisipasi masyarakat dalam pencegahan kekerasan terhadap anak, perempuan dan disabilitas. Hal ini dianggap efektif dan meringankan tugas pemerintah karena makin banyak masyarakat yang teredukasi dan menjadi agen Pelopor serta Pelapor (2P) jika ada kejadian terkait kekerasan terhadap anak, perempuan dan disabilitas.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 60 peserta. Hadir menjadi narasumber Konsultan Pendamping KUMKM, Muhammad Al Kaufy dan Owner Dapoer Ikan Diana, Diana Mariana. (dkp3akaltim/rdg)

Pemprov Kaltim Dukung RAD Penyandang Disabilitas Jadi Pergub

Samarinda — Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mendukung penuh Rencana Aksi Daerah (RAD) Penyandang Disabilitas bisa terwujud sebagai Peraturan Gubernur (Pergub)

Hal tersebut disampaikan Wakil Gubernur Kaltim H Hadi Mulyadi dalam arahannya pada Focus Group Disccussion (FGD) Penyandang Disabilitas  Provinsi Kaltim, di Hotel Bumi Senyiur, Jum’at (26/11/2021).

“Ini harus kita wujudkan agar rekan-rekan disabilitas bisa mendapatkan fasilitas yang memadai dari negara dalam kehidupannya,” tuturnya.

Hadi merasa bangga dengan keterbatasan anggota penyandang disabilitas terus bekerja membangun bangsa dan negara.

Menurutnya, apa yang dilakukan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) bukan pekerjaan biasa, karena dengan semua anggota keterbatasan harus kerja keras. Kerja keras ini akan menghasilkan hasil yang luar biasa bagi semua.

“Siapapun yang ingin sukses bagi keluarga dan kehidupan berbangsa, harus bekerja keras,” ucapnya.

Dirinya pun membagi syarat pekerjaan yang harus dilakukan supaya pekerjaan menjadi luar biasa. Pertama bekerja dengan tulus dan ikhlas, kedua diperlukan kerja keras, ketiga membangun kerjasama, keempat bekerja dengan cinta dan bekerja dengan doa .

PPDI tidak bekerja sendiri, namun perlu kerjasama. Tidak ada orang sukses dengan bekerja sendiri tanpa keterlibatan orang lain.

“Siapapun kita, apapun status kita yang ingin sukses hidupnya, harus terus bekerja,” terangnya.

Sementara, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kaltim, Ani Juwariyah berharap pembangunan penyandang disabilitas di Kalimantan Timur menjadi satu kekuatan yang sama dan nampak.

Menurutnya, dengan adanya misi dan visi Gubernur yang terkait penyandang disabilitas  beberapa instansi daerah sudah banyak yang melakukan pembangunan rencana aksi nasional hak penyandang disabilitas.

“Tapi apakah semua gerakan itu satu frekuensi dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2019, oleh karena itu sangat diperlukan rencana aksi daerah,” ucapnya.

Ani menyebutkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak-hak disabilitas.

Menurutnya PP ini baru keluar di tahun 2019, untuk di Provinsi Kalimantan, baru Kalimantan Timur yang pertama kali menyusun RAD.

“Kita harapkan dan kita butuhkan betul-betul  RAD penyandang disabikitas ini menjadi Peraturan Gubernur,”pinta Ani

Tambahnya, sebagaimana amanat di dalam PP tersebut diharapkan Pemerintah Provinsi membuat tim untuk menyusun secara resmi RAD. (diskominfokaltim).

Penuhi Hak Bermain Anak, Kemen PPPA Kembali Lakukan Standardisasi dan Sertifikasi Ruang Bermain Ramah Anak

Jakarta — Salah satu hak anak yaitu dapat bermain dan mengembangkan diri dengan aman, nyaman, dan terlindungi dari berbagai kekerasan, diskriminasi, juga ancaman lainnya. Hal ini dapat terwujud melalui penyediaan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA). Oleh karena itu, sejak 2018 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah melaksanakan proses Standardisasi dan Sertifikasi Ruang Bermain Anak (RBA) menjadi Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA).

“Tersedianya RBRA menjadi hal yang sangat penting, mengingat kegiatan bermain bermanfaat dalam tumbuh kembang anak, yaitu meningkatkan kecerdasan intelektual dan pengetahuan, toleransi dan hubungan sosial, komunikasi dan bahasa, serta kemampuan motorik, sensorik, dan keterampilan anak,” ungkap Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Agustina Erni dalam acara Rapat Koordinasi Akhir Standardisasi Ruang Bermain Ramah Anak Tahun 2021 yang dilaksanakan secara virtual (29/11/2021).

Erni menambahkan, kehadiran RBRA membantu anak terhindar dari ketergantungan gawai yang dapat berdampak buruk pada kesehatan anak, seperti menurunnya kemampuan melihat pada anak (rabun jauh). Penggunaan gawai yang berlebihan tersebut, terjadi akibat pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas anak di luar rumah.

“Penyediaan infrastruktur ramah anak melalui RBRA merupakan salah satu dari 24 indikator yang harus dipenuhi untuk mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak. Kemen PPPA juga telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri PPPA Nomor 586 sebagai bentuk himbauan kepada Pemerintah Daerah tentang Pengembangan RBRA. RBRA sendiri dapat dibangun dan dikembangkan di lingkungan alami dan lingkungan buatan,” ujar Erni.

Proses standardisasi dan sertifikasi ruang bermain anak menjadi Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) merupakan salah satu program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pada proses standardisasi dan sertifikasi tersebut, Kemen PPPA bersama tim auditor telah menetapkan pedoman yang harus dipenuhi dengan 13 persyaratan yang terdiri atas 100 sub pertanyaan.

Sejak 2018 hingga 2020, Kemen PPPA telah mensertifikasi 54 RBRA dan melakukan pendampingan pengisian borang (formulir) penilaian persyaratan standardisasi secara online pada 23 RBA, dan 9 RBRA diantaranya direkomendasikan melanjutkan proses sertifikasi. Pada 2021 ini, Kemen PPPA kembali melakukan standardisasi kepada 15 kabupaten/kota di 5 Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, NTB, dan Kepulauan Riau.

“Kami menyampaikan apresiasi dan selamat kepada Pemerintah Daerah di 15 Kabupaten/Kota serta para auditor, dan pihak terkait lainnya atas sinergi dan kerjasama dalam mengupayakan dan menjamin proses pemenuhan hak bermain anak melalui penyediaan dan standardisasi RBRA,” tutur Erni.

Erni berharap, praktik baik tersebut dapat direplikasi di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, dan menjadi percontohan untuk mengembangkan dan membangun RBRA yang lebih banyak lagi di daerah, demi memenuhi hak bermain anak dan berkelanjutan, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang optimal, menjadi SDM yang unggul, berkualitas, dan berdaya saing. Erni juga menekankan pentingnya peran aktif Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Provinsi yang lebih intens melakukan pembinaan kepada Kabupaten/Kota, untuk membangun dan mengembangkan RBRA yang berkualitas dan sesuai standar di wilayahnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Tim RBRA, Rino Wicaksono mengungkapkan dari 16 ruang bermain anak (RBA) di 15 Kabupaten/Kota yang telah melalui proses standardisasi pada 2021 ini, terdapat 13 RBA yang berhasil terstandardisasi. Sebanyak 10 RBA berhasil menyandang predikat RBRA, 3 RBA menyandang predikat RBRA Utama, dan 3 RBA belum mendapatkan predikat apapun, karena masih harus memenuhi persyaratan wajib penilaian.

Lebih lanjut, Rino menyampaikan beberapa isu strategis yang dihasilkan dari proses standardisasi tahun ini, yaitu ditetapkannya penambahan persyaratan wajib dalam proses standardisasi RBRA yang berlaku mulai 2022, antara lain adanya redaksi penulisan Pembukaan UUD 1945, Figur Garuda Pancasila, 5 sila Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Bendera Merah Putih di lingkungan RBRA, serta terdapat perbaikan narasi persyaratan wajib, yaitu vegetasi/tanaman, dan tersedianya ruang terbuka yang terdiri dari lahan hijau skala RT, RW, Kawasan, dan Wilayah.

Adapun beberapa RBA yang telah melalui proses standardisasi pada 2021, yaitu:

  1. Taman Beregam Kabupaten (Kab.) Musi Rawas, Sumatera Selatan – Predikat RBRA
  2. Taman Kota Amri Yahya (Taman Segitiga Emas) Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan – Predikat RBRA
  3. Taman Kongkow Kota Jambi, Jambi – Predikat RBRA
  4. Taman Cerdas KLA Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah – Predikat RBRA
  5. Taman Nyahu Papan Taliwu Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah – Predikat RBRA
  6. RBA Bangsal Kota Mataram, NTB – Predikat RBRA
  7. RBA Taman Sangkareang Kota Mataram, NTB – Predikat RBRA
  8. RBA Taman Kalaki Kabupaten Bima, NTB – Predikat RBRA
  9. RBA Asri Kabupaten Dompu, NTB – Predikat RBRA
  10. Taman Cemara Asri Kota Batam, Kepulauan Riau – Predikat RBRA
  11. Taman Bermain Kahanjak Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah – Predikat RBRA Utama
  12. TK Pembina Negeri Percontohan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan – Predikat RBRA Utama
  13. Taman Rinjani Selong Kabupaten Lombok Timur, NTB – Predikat RBRA Utama
  14. Taman Kota Manis Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah – tidak ada peringkat karena belum memenuhi seluruh persyaratan wajib
  15. RBA Taman Kota Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah – tidak ada peringkat karena belum memenuhi seluruh persyaratan wajib
  16. Taman Batu 10 Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau – tidak ada peringkat karena belum memenuhi seluruh persyaratan wajib

Kaltim Segera Bentuk KPAD

Samarinda — Penguatan kelembagaan perlindungan anak perlu diprioritaskan dengan melakukan tindakan pencegahan yang dilakukan secara konkret.

Dengan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dapat membantu proses perlindungan anak-anak yang ada di daerah.

Menurut Staf Ahli Bidang Reformasi Birokrasi dan Keuangan, Muhammad Kurniawan menerangkan, pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah merupakan salah satu opsi kelembagaan perlindungan anak sebagaimana Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 pasal 74 ayat 2.

Dibentuknya KPAD ini dikarenakan masih banyaknya kekerasan terhadap anak, KDRT pada anak, pelecehan seksual, pernikahan usia anak, bahkan peningkatan jumlah pekerja anak yang ada di suatu daerah.

“Gubernur sangat berharap Kaltim membentuk KPAD,” tuturnya saat memimpin Rapat Pembentukan KPAD Kaltim, di Ruang Tepian 1 Kantor Gubernur Kaltim, Selasa (30/11/2021).

Kurniawan juga meminta Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim segera membuat telaah staf kepada Gubernur terkait dengan rapat hari ini.

Selanjutnya segera berkoordinasi dengan KPAI pusat terkait dengan proses-proses pembentukan.
“Karena proses panjang kita perlu dasar hukum terkait struktur, pembiayaan sehingga detailnya nanti ada dasar hukumnya,” terangnya.

Sementara Kepala Dinas KP3A Kaltim, Noryani Sorayalita mengatakan, pembentukan KPAD bertujuan untuk mendukung dan meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak di daerah.

Dalam proses pembentukannya, Gubernur, Bupati, Walikota menunjuk langsung anggota KPAD melalui surat keputusan kepala daerah sesuai tingkatnya dengan mengacu pada persyaratan KPAD.

“Hubungan KPAD dengan KPAI bersifat koordinatif, konsultatif dan integratif yang diatur dalam pedoman keputusan sesuai dengan visi, misi serta strategi KPAI,” ujar Soraya.

Selain melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak, KPAD juga memiliki tugas melakukan mediasi atau sengketa pelanggaran, hak mendapat dan memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan anak.

Kemen PPPA Gelar Rakor PUSPAGA, Soroti Penguatan Integrasi Layanan Keluarga

Jakarta — Untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga, khususnya dalam mewujudkan kesetaraan gender dan pemenuhan hak anak dalam keluarga, sejak 2016, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), telah menginisiasi pembentukan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). Oleh karena itu, dalam rangka memperluas jangkauan layanan PUSPAGA dan mengintegrasikan seluruh layanan keluarga di Indonesia, Kemen PPPA menyelenggarakan Rapat Koordinasi Akhir PUSPAGA 2021, berlangsung secara virtual, Selasa (16/11/2021).

“Rapat koordinasi ini, kami laksanakan untuk melakukan monitoring dan pengawasan, serta memperkuat sinergi dan kolaborasi dalam memberikan pelayanan optimal bagi keluarga guna mewujudkan SDM berkualitas,” ungkap Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari.

Rohika menambahkan rakor tersebut dilaksanakan juga untuk memastikan layanan PUSPAGA yang dijalankan telah sesuai dengan standar yang ditetapkan dan telah tersertifikasi.

“Sejak 2016 hingga 2021, sudah terbentuk 193 PUSPAGA baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk memperkuat akuntabilitas layanan PUSPAGA, maka pada 2020, Kemen PPPA telah menyusun pedoman Standar PUSPAGA sesuai Surat Edaran Menteri PPPA No.57 Tahun 2020 tentang Pengembangan Layanan PUSPAGA Di Daerah sebagai acuan bagi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dalam meningkatkan penguatan dan pengembangan layanan PUSPAGA yang sesuai standar dan tersertifikasi,” jelas Rohika.

Adapun unsur dalam layanan PUSPAGA yang perlu distandardisasi yaitu kelembagaan, SDM, program dan layanan, protokol layanan selama pandemi dan pasca pandemi, hingga pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Hal ini bertujuan untuk membangun sistem nasional yang mampu meningkatkan dan menjamin mutu layanan PUSPAGA, demi kepentingan terbaik keluarga dan anak Indonesia.

Selain itu, Rohika menyampaikan bahwa Kemen PPPA telah melakukan pendataan kepada 80 PUSPAGA atau 40 persen untuk memperoleh gambaran Profil PUSPAGA di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap layanan PUSPAGA dan mempermudah integrasi serta sinergi layanan tersebut dengan layanan keluarga lainnya di Indonesia.

Berdasarkan hasil pendataan tersebut, diketahui bahwa pembentukan PUSPAGA di 2021 ini, masih tergolong rendah yaitu 3 persen. Sebagian besar PUSPAGA yaitu 31 persen sudah memiliki lebih dari tiga media sosial. Strategi promosi juga didominasi melalui media sosial yaitu 93 persen. Sebagian besar PUSPAGA yaitu 69 persen memiliki tenaga pemberi layanan yang lengkap, baik psikolog, konselor, dan admin; adapun layanan yang diberikan sebagian besar berupa konsultasi dan konseling offline hingga 91 persen.

Sementara itu, jumlah PUSPAGA yang tergabung dengan lembaga lain seperti Satgas Covid-19 maupun Pos Penanganan Anak dan Perempuan Korban Bencana mencapai 31 persen. Untuk itu, Rohika menekankan pentingnya sinergi dan kolaborasi seluruh pihak, khususnya antara Pemerintah yaitu BKKBN melalui Bina Keluarga Balita (BKB) dan Kementerian Kesehatan melalui Posyandu untuk mendorong terwujudnya layanan berkualitas bagi keluarga.

“Keterlibatan media massa juga sangatlah penting dalam mempromosikan layanan PUSPAGA, mengingat banyaknya keluarga yang memerlukan banyak informasi dan mudah diakses. Begitu juga dengan keaktifan pengelola PUSPAGA dalam mempromosikan layanannya di media sosial. Teruslah melakukan promosi publikasi melalui media sosial. PUSPAGA harus dekat dengan masyarakat demi kepentingan terbaik anak dan keluarga Indonesia,” pungkas Rohika.

Sementara itu, Direktur Bina Keluarga, Balita, dan Anak BKKBN, Safrina Salim mengungkapkan permasalahan stunting masih menjadi tantangan besar bagi bangsa ini. Untuk itu, BKKBN terus berupaya menurunkan stunting dengan menjalankan berbagai program pembinaan ketahanan keluarga hingga di tingkat desa, seperti Bina Keluarga Balita (BKB) dan Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera PPKS.

Menurut Safrina, kedua program tersebut, khususnya PPKS sangatlah berkaitan dengan PUSPAGA, mengingat keduanya fokus pada upaya peningkatan pengetahuan dan peran orangtua dalam pengasuhan dan pembinaan anak.

“Mari kita integrasikan pelayanan PPKS dan PUSPAGA untuk memperkuat ketahanan dan kesejahteraan keluarga dengan melaksanakan 8 (delapan) fungsi keluarga secara optimal, demi mewujudkan SDM unggul berkualitas,” tambah Safrina.

Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Imran Agus menuturkan, bahwa Kementerian Kesehatan melalui Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) memiliki fungsi sebagai pusat informasi bagi keluarga hingga di tingkat desa. Layanan ini sangatlah tepat jika diintegrasikan dengan layanan PUSPAGA, seperti dalam upaya edukasi pengasuhan sesuai hak anak, konsultasi pengasuhan, konseling pengasuhan, pengendalian penyakit dan Gerakan Masyarakat (GERMAS), pelayanan gizi, penguatan sistem, peran serta masyarakat, hingga kesehatan ibu dan anak. (birohukum&humaskpppa)

26 Puspaga Telah Memiliki Standardisasi dan Sertifikasi

Jakarta — Ketua Tim Standardisasi PUSPAGA 2021, Tata Sudrajat menyampaikan hasil Laporan Standardisasi dan Sertifikasi PUSPAGA 2021.

Berdasarkan hasil akreditasi dan sertifikasi pada 2021, terdapat 6 PUSPAGA yang mendapat predikat Ramah Anak, yaitu PUSPAGA Cerita Kota Tangerang Selatan, PUSPAGA Agung Berseri Kabupaten Hulu Sungai Utara, PUSPAGA Kesengsem Kabupaten Sleman, PUSPAGA Harapan Kota Balikpapan, PUSPAGA Intan Payung Kota Dumai, PUSPAGA Melani TKD Kota Bandung.

Selain itu, 7 PUSPAGA mendapat predikat Utama, 6 PUSPAGA predikat Nindya, 3 PUSPAGA predikat Madya, 4 PUSPAGA predikat Pratama, dan 5 PUSPAGA belum dapat diakreditasi.

Untuk PUSPAGA Ruhui Rahayu Kaltim memperoleh predikat Pratama dan PUSPAGA Cinta Syejati Samarinda memperoleh predikat Nindya.

“Saya menyampaikan apresiasi kepada Pemda dan pengelola PUSPAGA yang telah mengikuti proses akreditasi. Selamat kepada PUSPAGA yang sudah terstandardisasi, saya harap pengelola bisa terus memelihara nilai dan hasil yang didapat. Kami juga mendorong PUSPAGA yang belum terstandardisasi untuk terus meningkatkan pelayanan dan membangun koordinasi antar lembaga dalam memberikan rujukan. Koordinasi dan sinergi antar K/L dan Pemda juga sangat penting dalam memperkuat PUSPAGA yang ramah anak, dengan menjalin kerjasama relevan yang sangat mungkin diintegrasikan dengan program dan kegiatan PUSPAGA,” tegas Tata dalam Rapat Koordinasi Akhir Penilaian Standar Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Tahun 2021 yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (16/11/2021).

PUSPAGA merupakan tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan anak dan keluarga yang dibentuk untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pelayanan PUSPAGA dilakukan oleh tenaga profesi melalui peningkatan kapasitas orang tua/keluarga dalam menjalankan tanggung jawab mengasuh dan melindungi anak. Adapun bentuk pelayanan yang diberikan berupa layanan informasi, konsultasi/konseling pengasuhan anak, dan rujukan.

Menteri Bintang Ajak Seluruh Lembaga Kembangkan Kode Etik Pencegahan Kekerasan Seksual

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak lembaga pemerintah, penegak hukum, pendidikan, serta lembaga negeri maupun swasta lainnya untuk mengembangkan kode etik pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Peraturan ini merupakan terobosan penting karena dapat menjadi suatu pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan serta mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang pada akhirnya dapat menciptakan kehidupan kampus yang semakin positif, tanpa kekerasan. Peraturan ini juga telah memasukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dunia teknologi informasi komunikasi. Kami juga berharap lembaga lainnya, baik swasta maupun negeri, untuk mulai mengembangkan kode etik di lembaga masing masing,” ujar Menteri Bintang dalam Seminar Nasional Pekan Progresif 2021 secara virtual, Sabtu (13/11/2021).

Menteri Bintang menyatakan, kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak yang besar bagi perempuan dan anak, bahkan bisa mencapai kematian, masalah kesehatan mental, hingga hilangnya produtivitas yang berpengaruh terhadap ekonomi.

“Selain merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, pada level negara, beban ekonomi yang ditanggung dalam pencegahan hingga penanganan kekerasan juga sangat besar. Tentunya jika kita dapat menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka sumber daya ekonomi ini dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Untuk itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah kita bersama,” tutur Menteri Bintang.

Di sisi lain, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani, menyebutkan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih terjadi hingga saat ini tidak dapat terus menerus diabaikan.

“Jika kita mengikuti konstitusi Republik Indonesia, maka angka kekerasan kepada perempuan dan anak harus kita tekan sampai mencapai angka nol. Perlu ada keberpihakan kepada perempuan dan anak untuk mencegah adanya tindakan kekerasan kepada mereka. DPR RI terus memperhatikan berbagai kasus yang muncul dan mendorong pemerintah serta aparat penegak hukum agar melindungi korban, jangan sampai korban kekerasan menjadi korban prosedur hukum,” ungkap Puan.

Manajer Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, sepakat mengenai pentingnya pembentukan peraturan di masing-masing lembaga terkait kekerasan seksual.

“Undang-Undang cakupannya general, supaya bisa masuk sampai ke lembaga-lembaga, maka harus diterjemahkan ke dalam peraturan yang sifatnya lebih teknis, sehingga lebih mudah dilaksanakan. Selain itu, perlu itikad dari orang-orang yang ada di lembaga untuk mengusulkan pembentukan peraturan, kalau universitas, peraturan di tingkat universitas, fakultas, dan prodi karena kalau tidak seperti itu, maka tidak akan dilaksanakan,” ujar Lidwina.

Lebih jauh lagi, Lidwina menjelaskan, berdasarkan Investigasi Konsorsium Nama Baik Kampus oleh beberapa media di Indonesia pada 2019, 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. “Bentuk-bentuk kekerasan seksual di kampus, pertama pelanggaran wilayah privasi seksual, misalnya memberikan pertanyaan tentang kehidupan pribadi mahasiswa, menunjukkan gambar konten seksual, menatap dengan intens, dan lain-lain. Kemudian tindakan fisik, yang paling berat percobaan dan atau tindakan perkosaan,” ungkap Lidwina.

Secara hukum, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Tiasri Wiandani, saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) masih berfokus pada pemidanaan tersangka, terdakwa, dan terpidana. “Namun tidak memuat hak akses keadilan bagi korban. Ini yang kita coba dorong agar payung hukum tidak hanya bicara mengenai pemidanaan, tetapi bagaimana upaya-upaya untuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan benar-benar bisa dilakukan agar semuanya bisa mendapatkan akses keadilan di dalam kasus-kasus kekerasan seksual,” tutur Triasri.

Sementara itu, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti mengatakan, perempuan dan anak merupakan warga negara yang hak asasinya wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. “Akar dari hak asasi manusia adalah martabat. Tidak ada pengecualian, termasuk semua jenis kelamin, orientasi seksual, ekspresi gender, anak, kelompok disabilitas, dan semua perbedaan lainnya yang sifatnya natural,” ujar Bivitri.

Hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi. Pada 2021, terjadi 3355 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 3410. (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kemen PPPA, periode 1 Januari-31 Mei 2021).

Realitas di pengadilan juga menunjukkan, dalam tindak pidana persetubuhan atau hubungan seksual terhadap perempuan di luar pernikahan dengan repetisi, pelaku yang paling banyak dibebaskan adalah pelaku yang memiliki hubungan relasi horizontal dengan korban, yaitu tiga kasus. Sementara itu, hanya terdapat satu kasus yang mendapatkan vonis tertinggi, yaitu 9-12 tahun (Data Masyarakat Penilai Profesi Indonesia (MaPPI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada 2018, Asesmen Konsistensi Putusan Pengadilan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan).

Lebih lanjut, Bivitri menyebutkan, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara harus bebas dari kekerasan. Namun demikian, masih banyak peraturan perundangan yang mengandung kekosongan hukum serta belum memberikan keadilan bagi korban. “Dibutuhkan pembentukan hukum yang mampu mengejar ketertinggalan. Penolakan terhadap penciptaan negara yang bebas kekerasan seksual menunjukkan pandangan yang tidak progresif, justru mundur ke belakang. Menjadi tidak memajukan peradaban bangsa, melainkan mundur ke masa-masa belum beradab, di mana perempuan dan anak tidak dianggap sebagai manusia yang utuh dan bermartabat,” tutup Bivitri. (birohukum&humaskpppa)

DKP3A Kaltim Kukuhkan Pengurus Forum Anak Kaltim Periode 2021-2023

Samarinda — Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim menggelar Pengukuhan Pengurus Forum Anak Kaltim Periode 2021-2023 melalui SK Gubernur Kaltim Nomor 463 K.358/2021 Tentang Pembentukan Kelengkapan Forum Anak Nasional Tingkat Provinsi Kaltim Tahun 2021-2023, di Ruang Rapat Kartini DKP3A Kaltim, Jumat (5/11/2021).

Kepala Dinas KP3A Kaltim Noryani Sorayalita, mengatakan pengembangan Forum Anak dimaksudkan sebagai wadah partisipasi anak dalam pembangunan. Hal ini sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang nasional, bahwa pemerintah akan membentuk dan mengembangkan wadah-wadah partisipasi anak.
Tujuan dibentuknya Forum Anak adalah untuk mendorong anak aktif mengembangkan diri sesuai dengan potensi, minat dan bakat serta kemampuanya.

“Seperti mengembangkan ruang partisipasi anak, mengembangkan wadah penyaluran aspirasi anak, mempercepat proses pemenuhan hak anak dan membangun pranata pengembangan potensi anak,” ujar Soraya dalam sambutannya.

Soraya menjelaskan, sampai dengan akhir bulan Oktober 2021, sudah terbentuk Forum Anak di 10 kabupaten/kota se Kaltim. Dari beberapa capaian yang telah diperoleh provinsi maupun kabupaten/kota diantaranya meraih beberapa penghargaan.

“Diantaranya Tunas Muda Pemimpin Indonesia Tingkat Nasional Tahun 2011-2017, DAFA Award (FA Provinsi), Forum Anak Terbaik Nasional Tahun 2017 (FA Kota Balikpapan), Majalah Dinding Terbaik Nasional, Peserta Terbaik Pertemuan Forum Anak Nasional (FA Kukar), dan APIFA Tingkat Nasional,” imbuh Soraya.

Sebagai agen perubahan, lanjut Soraya, Forum Anak diharapkan bisa menjalankan perannya sebagai 2P. Pertama, Pelopor yaitu menjadi Agen Perubahan, terlibat Aktif memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan positif, bermanfaat dan bisa menginspirasi banyak orang sehingga banyak yang ikut terlibat melakukan perubahan yang lebih baik lagi.
Kedua, Pelapor yaitui terlibat aktif menyampaikan pendapat/pandangan ketika mengalami, atau melihat atau merasakan tidak terpenuhinya hak perlindungan anak disekitarnya.

“Forum Anak bisa melaporkan kepada Dinas yang menangani permasalahan perlindungan anak bisa melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) maupun Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) jika sudah terjadi tindak kekerasan,” kata Soraya.

Dengan konsep 2P, Soraya berharap, bisa menyelesaikan semua permasalahan anak namun dibutuhkan aksi nyata untuk saling bergerak pada setiap bidang yang dikuasai.

“Kita butuh berbagi peran bersama dan perlu adanya dukungan pemerintah dengan mengusung semangat Pelopor dan Pelapor agar terus dilakukan dan disebarluaskan khususnya agen perubahan dari Forum Anak agar semangat ini bisa terus mengurangi permasalahan anak di Provinsi Kalimantan Timur,” ujarnya.

Sebagai informasi, Forum Anak Kaltim periode 2021-2023 diketuai oleh Sidney Rachel Junior. Wakil Ketua M Akmal Azmi, Sekretaris M Satrio Aji, dan Bendahara Shafira Riswana Effendi. Selanjutnya Divisi Humas Nur Aghniya, Divisi Penelitian dan Pengembangan Cheiviog Igiobye Isoabi, Divisi Sosial Media Nasywa Aulia dan Divisi Kemitraan Meidina Rahma Utami.

Hadir pada kegiatan ini Tim Kode Etik Forum Anak Kaltim diwakili oleh Muran Gautama, Tim Pendamping Forum Anak Kaltim Junainah, Siti Mahmudah I K, Fachmi Rozano dan Vepri Haryono. (dkp3akaltim/rdg)