Sampai Juli 2022 Kasus Kekerasan di Kaltim Mencapai 443 Kasus

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim per 1 Juli 2022 mencapai 443 kasus.

“Kasus terbanyak berada di Kota Samarinda sebanyak 220 kasus,” ujar Soraya saat menjadi narasumber pada Dialog Siang Ngapeh, berlangsung di Studio TVRI Kaltim Jalan Eri Suparjan Sempaja Samarinda, Senin (11/7/2022).

Soraya menyebutkan, total korban kekerasan adalah 464 korban terdiri dari 218 korban anak atau 47% dan 246 korban dewasa atau 53%.

“Dari 443 kasus korban kekerasan sebanyak 446 orang. Dapat diketahui bahwa korban terbanyak berasal dari Kota Samarinda sebesar 221 korban,” imbuhnya.

Sementara korban kekerasan difabel terbanyak berasal dari Kota Bontang sebesar 5 korban. Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 158 korban dengan  korban KDRT terbanyak berasal dari Kota Samarinda sebanyak 80 korban.

“Sedangkan kekerasan anak terbanyak terdapat pada kekerasan seksual sebanyak 133 korban sedangkan pada dewasa terdapat pada kekerasan fisik sebesar 165 korban,” terang Soraya.

Soraya menambahkan, kekerasan anak dan perempuan terbanyak terjadi pada rumah tangga yaitu 91 korban anak dan 150 korban dewasa.

Soraya mengimbau semua pihak harus fokus pada peningkatan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk merumuskan kebijakan serta meningkatkan kualitas layanan bagi korban. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan perlindungan yang lebih efektif dan tepat sasaran. (dkp3akaltim/rdg)

 

Pekerja Migran Indonesia Kalimantan Timur Rentan Alami Kekerasan

Kepala Bidang PPPA DKP3A Kaltim

Pekerja Migran Indonesia Kalimantan Timur Rentan Alami Kekerasan

Samarinda — Berdasarkan data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebutkan bahwa sumbangsih Pekerja Migran Indonesia (PMI) terhadap devisa negara terbilang cukup besar yaitu kurang lebih Rp 100 Milyar pada tahun 2021. Namun, PMI juga dihadapkan berbagai permasalahan yang beragam.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita melalui Kepala Bidang Perlidungan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Junainah mengatakan, data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada bulan Mei 2022, terdapat 5.168 orang PMI laki-laki dan 7.436 orang PMI Perempuan, dan PMI Provinsi Kalimantan Timur terdapat sebanyak 20 orang.

“Data ini menunjukkan bahwa mayoritas PMI adalah perempuan,” ujarnya pada kegiatan Advokasi Pembentukan Bina Keluarga Pekerja Migran Indonesia (BK-PMI), berlangsung di Hotel Mercure Samarinda, Kamis (7/7/2022).

Ana sapaan akrabnya mengungkapkan, ketika berbicara tentang PMI, berbagai permasalahan yang dihadapi oleh PMI sangatlah beragam. Misalnya gaji tidak dibayar, PMI gagal berangkat, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, tindak kekerasan dari majikan, depresi/sakit hingga perdagangan orang.

Kerentanan yang dialami tidak hanya ditempat kerja, berbagai kerentanan juga akan dialami oleh keluarga yang ditinggalkan. Kerentanan yang dimaksud meliputi masalah pengasuhan bagi anak yang dtinggalkan, ketidakharmonisan keluarga dan juga masalah pengelolaan remitansi.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan bahwa sebanyak 40% anak PMI memiliki perkembangan psikososial yang kurang baik, seperti prestasi anak mengalami penurunan atau perkembangan yang tidak jauh meningkat dan lainnya. Sementara itu laporan UNICEF menunjukkan bahwa anak usia remaja yang ditinggal orang tuanya bekerja di luar negeri lebih beresiko untuk melakukan penyimpangan sosial dan terlibat dalam tindakan kejahatan seperti membolos sekolah, penyelahgunaan obat-obatan, alkohol dan sebagainya. Banyaknya penelitian juga menunjukkan efek negatif yang ditimbulkan akibat kurangnya peran orang tua yang menjadi PMI, sehingga ini perlu mendapatkan perhatian khusus.

Sementara terkait remitansi, akan berdampak pada kesejahteraan bangsa. Sehingga isu kerentanan keluarga PMI bukan hanya isu individu semata.

“Sedangkan, dalam hal pengasuhan anak PMI, rentang usia yang paling banyak ada pada 0-9 tahun. Usia ini merupakan usia emas anak-anak sehingga harus berada dengan orang tuanya,” imbuh Ana.

Saat ini pemerintah tengah menyusun strategi dengan melibatkan desa/kampung yaitu dengan membangun pengasuhan ditingkat desa dan memastikan anak-anak berada dalam lingkungan dan keluarga pengganti yang nyaman atau di kenal dengan Bina Keluarga Pekerja Migran Indonesia (BK-PMI). Kerjasama dari seluruh stakeholder itu manjadi sangat penting.

Bina Keluarga Pekerja Migran Indonesia (BK-PMI) merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dengan memberdayakan ekonomi, menjaga keharmonisan dan melindungi anak PMI untuk mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.

Sebagai informasi, berdasarkan data BP2MI, untuk data penempatan PMI Kaltim pada tahun 2019 sebanyak 100 orang, tahun 2020 sebanyak 37 orang dan tahun 2022 sebanyak 37 orang.

Sementara data pengaduan pada tahun 2019 sebanyak 7 orang, tahun 2020 sebanyak 5 orang dan tahun 2022 sebanyak 2 orang.

Semnetara berdasarkan Data Sistem Informasi Online Perlindungan Peremuan dan Anak (Simfoni PPA), data kekerasan di tempat kerja di Kaltim pada tahun 2017 sebanyak 8 kasus dengan 8 korban, tahun 2018 sebanyak 5 kasus dengan 5 korban, tahun 2019 sebanyak 9 kasus dengan 9 korban, tahun 2020 sebanyak 8 kasus dengan 8 korban dan tahun 2021 sebanyak 6 kasus dengan 6 korban.

Sedangkan korban berdasarkan kelompok usia yaitu 69% korban perempuan dewasa, 25% perempuan anak dan 6% laki-laki dewasa.

Selanjutnya data kasus dan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kaltim yaitu pada tahun 2017 sebanyak 2 kasus dengan 3 korban, tahun 2018 sebanyak 4 kasus dengan 5 korban, tahun 2019 sebanyak 4 kasus dengan 5 korban, tahun 2020 sebanyak 13 kasus dengan 23 korban dan tahun 2021 sebanyak 2 kasus dan 2 korban. Jumlah korban TPPO berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia yaitu 68% perempuan anak, 28% perempuan dewasa, 4% anak. (dkp3akaltim/rdg)

Sementara data pengaduan pada tahun 2019 sebanyak 7 orang, tahun 2020 sebanyak 5 orang dan tahun 2022 sebanyak 2 orang.

Semnetara berdasarkan Data Sistem Informasi Online Perlindungan Peremuan dan Anak (Simfoni PPA), data kekerasan di tempat kerja di Kaltim pada tahun 2017 sebanyak 8 kasus dengan 8 korban, tahun 2018 sebanyak 5 kasus dengan 5 korban, tahun 2019 sebanyak 9 kasus dengan 9 korban, tahun 2020 sebanyak 8 kasus dengan 8 korban dan tahun 2021 sebanyak 6 kasus dengan 6 korban.

Sedangkan korban berdasarkan kelompok usia yaitu 69% korban perempuan dewasa, 25% perempuan anak dan 6% laki-laki dewasa.

Selanjutnya data kasus dan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kaltim yaitu pada tahun 2017 sebanyak 2 kasus dengan 3 korban, tahun 2018 sebanyak 4 kasus dengan 5 korban, tahun 2019 sebanyak 4 kasus dengan 5 korban, tahun 2020 sebanyak 13 kasus dengan 23 korban dan tahun 2021 sebanyak 2 kasus dan 2 korban. Jumlah korban TPPO berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia yaitu 68% perempuan anak, 28% perempuan dewasa, 4% anak. (dkp3akaltim/rdg)

Sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Anak di Bontang

Bontang — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita, melalui Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Junainah mengatakan, berdasarkan data dari aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 1 Juni 2022 menunjukkan persentase jumlah kekerasan yang terjadi di Kaltim 45% adalah korban anak dan 55% adalah korban dewasa. sementara untuk jenis kasus kekerasan terhadap anak terbanyak pada kekerasan seksual sebanyak 92 kasus, sedangkan pada dewasa yaitu kekerasan fisik sebanyak 123 kasus.

Junainah menjelaskan, anak merupakan potensi dan penerus perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, namun upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak menghadapi beberapa tantangan.

“Berbagai kebijakan, program dan kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan terus dilakukan secara berkesinambungan agar dapat berpihak pada kepentingan terbaik untuk anak,” ujarnya pada kegiatan Sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Korban Kekerasan Terhadap Anak, berlangsung di Hotel Bintang Sintuk Bontang, Rabu (29/6/2022)

Ana sapaan akrabnya menambahkan, kegiatan ini merupakan wujud kepedulian terhadap perlindungan anak di Kaltim agar tumbuh dan berkembang secara optimal dengan mendorong keluarga menjadi lembagga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak. Mengingat anak merupakan kelompok yang sangat rentan dan mudah mendapatkan kekerasan dari lingkungan sekitarnya.

“Upaya ini akan menghasilkan generasi yang sehat, cerdas, ceria, berakhlak mulia dan cinta tanah air. Diharapkan pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat dapat bersama-sama berpartisapi secara aktif untuk meningkatkan kepedulian dalam menjamin hak anak,” tutup Ana.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 50 peserta terdiri dari Forum Anak, pelajar, lembaga masyarakat dan OPD terkait. Hadir menjadi narasumber yaitu Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Bontang Bahauddin, perwakilan Kanwil Kemenkumham Bontang dan Satgas PPA Kaltim Ismail Razak. (dkp3akaltim/rdg)

Hasilkan Generasi Emas, KemenPPPA Dukung RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak

Jakarta — Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Agustina Erni menyatakan dukungan penuh Pemerintah terhadap gagasan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Erni mengatakan kehadiran RUU KIA ini dapat memperkuat komitmen bersama lintas sektor dalam upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, khususnya untuk memberikan hal terbaik pada kesejahteraan ibu dan pemenuhan hak anak.

Erni menuturkan pemerintah berupaya mengikis kesenjangan gender di Indonesia dengan meningkatkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang hingga saat ini masih terdapat kesenjangan dalam pemberian upah, dimana perempuan lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki.

“Diharapkan dengan adanya RUU KIA ini, dimana perempuan diberikan kesempatan untuk mengasuh anak dan juga bekerja dapat terus meningkatkan TPAK perempuan di Indonesia dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki,” ujar Erni dalam acara diskusi Forum Legislasi RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak: Komitmen DPR Wujudkan SDM Unggul pada Selasa (21/6/2022).

Lebih lanjut, Erni menyatakan kehadiran RUU KIA ini juga menjadi penting terutama pada pembentukan Sumber Daya Manusia (SDM) di masa mendatang.

“Hal menarik di dalam RUU KIA ini adalah terkait pemberian cuti melahirkan selama 6 bulan. Saya pikir, pemberian cuti tersebut sangat mendukung untuk kesejahteraan ibu pasca melahirkan dan tentu saja bagi anak. Selain itu, RUU KIA ini menitikberatkan pada tumbuh kembang anak di masa golden age yang merupakan periode krusial dalam pembentukan generasi mendatang,” lanjut Erni.

Selain menyatakan dukungan penuh terhadap gagasan RUU KIA, Erni menyampaikan saat ini KemenPPPA tengah menyusun standardisasi tempat penitipan anak atau daycare yang memiliki urgensi cukup tinggi sehingga baik pemerintah, pemerintah daerah, hingga sektor swasta dapat menjadikan standar tersebut sebagai acuan.

“Jika suatu hari nanti kami berhasil menyusun kebijakan terkait daycare, baik berbasis komunitas atau kebijakan pemerintah, ini akan sangat membantu bagi ibu-ibu yang bekerja pada sektor formal dan informal,” tutur Erni.

Erni juga mengingatkan terkait edukasi yang perlu didapatkan bagi kedua orang tua anak, khususnya bapak terkait pentingnya seribu hari pertama kehidupan (HPK) atau masa golden age anak.

“RUU KIA ini sangat sejalan dengan tugas dan fungsi dari KemenPPPA sehingga dapat menjadi program yang sangat bagus, terutama bagi kedua orang tua dalam memperhatikan tumbuh kembang anak,” tutup Erni. (birohukumdanhumaskpppa)

DKP3A Kaltim Gelar Program Perlindungan Perempuan

Balikpapan — Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlidungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) dalam kurun waktu 3 tahun terakhir atau sejak tahun 2019 hingga 2021 telah terjadi penurunan angka kekerasan sebanyak 183 kasus.

Pada tahun 2021, korban kekerasan masih didominasi korban anak yaitu 66% dari korban dewasa yaitu 34%. Sementara total korban kekerasan adalah 513 korban terdiri dari 337 korban anak dan 176 korban dewasa.

“Sementara untuk per tanggal 1 Juni 2022, terjadi kasus kekerasan sebanyak 316 kasus, 55% korban dewasa dan 45% korban anak. Total korban kekerasan adalah 335 korban terdiri dari 150 korban anak dan 185 korban dewasa, dengan korban paling banyak yaitu perempuan dewasa,” ujar Soraya pada kegiatan Focus Group Discussion Program Perlindungan Perempuan Tahun 2022, berlangsung di Hotel Grand Jatra Balikpapan, Rabu (22/6/2022).

Soraya menyebut, untuk menurunkan angka kekerasan diperlukan beberapa penguatan diantaranya dari sisi agama maupun dari keluarga. Peran perempuan sangatlah penting dalam membentuk generasi berkualitas karena perempuan merupakan benteng utama dalam keluarga untuk memberikan pendidikan kepada anaknya sebagai penerus generasi bangsa. Tetapi masih banyak perempuan yang mengalami kekerasan dikarenakan mengalami kondisi rentan dan ketidakberdayaan baik faktor budaya dan ekonomi.

“Sehingga perlu pula diberikan pengetahuan kepada kaum perempuan, penyebab mengapa perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan dan tempat layanan jika mengalami kekerasan,” imbuh Soraya.

Soraya menambahkan, perlu upaya sinergi bersama dengan berbagai pihak dalam  pencegahan kekerasan perempuan, dilakukan secara terstruktur, holistik,  dan integratif.

“Upaya yang dapat kita lakukan mulai sekarang diantaranya melalui Forum Koordinasi Implementasi UU PKDRT, melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja pelaksanaan kerja sama pemulihan korban KDRT, sosialisasi pencegahan KDRT sejak dini, Geber (Gerakan Bersama) Stop KDRT, pelatihan bagi APH yang Responsif Hak Perempuan Korban KDRT dan pelatihan mediasi bersertifikat bagi unsur UPTD/ P2TP2A,” katanya.

Ia berharap, upaya-upaya yang dilakukan dapat menurunkan angka kekerasan di Kaltim. (dkp3akaltim/rdg)

DKP3A Kaltim Gelar Pelatihan Konvensi Hak Anak Bagi Tenaga Kesehatan

Balikpapan — Pengembangan Pelayanan Ramah Anak di Puskesmas (PRAP) di Indonesia hingga 31 September 2020 telah tercatat sebanyak 1.952 Puskesmas di 195 Kabupaten/Kota pada 34 Provinsi yang telah mengisisiasi PRAP. Adapun Indikator  Puskesmas dengan pelayanan ramah anak sesuai Juknis PRAP salah satunya tersedia pengelola Puskesmas yang terlatih Konv ensi Hak Anak (KHA). 

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita mengatakan, untuk kondisi di Kalimantan Timur masih belum semua Puskesmas telah melakukan inisiasi pelayanan ramah anak sesuai indikator PRAP.

“Hal ini disebabkan, salah satunya yakni sumber daya manusia yang ada belum terlatih KHA,” ujar Soraya pada kegiatan Pelatihan Konvensi Hak Anak Bagi Tenaga Kesehatan Se-Kalimantan Timur Tahun 2022, berlangsung di Hotel Grand Jatra Balikpapan, Selasa (21/6/2022).

Sumber daya manusia yang dimaksud dalam indikator tersebut, pada dasarnya menunjuk pada orang dewasa yang memberikan pelayanan bagi anak, mendampingi anak dan bekerja dengan anak. Pemerintah dan masyarakat tentunya sudah berupaya dan berperan dalam memastikan terpenuhinya hak anak, tetapi dalam konteks tumbuh kembang anak, tanggung jawab tersebut harus diperkuat dan didasari dengan pengetahuan dan keterampilan tentang KHA. 

Soraya menambahkan, puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan terdepan dan merupakan lembaga pertama dan utama dalam memberikan pelayanan pemenuhan hak kesehatan anak. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan,

“Puskesmas juga berperan untuk mendorong pemberdayaan keluarga dengan menjadi pusat informasi kesehatan bagi keluarga dan anak, serta memberi dukungan agar mereka dapat mempraktekkan pengetahuan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari sehingga keluarga dapat berperan aktif dalam pemenuhan hak kesehatan anak,” imbuh Soraya.

Konvensi Hak Anak melalui pengembangan Implementasi Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sebagai salah satu strategi pemenuhan hak anak di Indonesia, telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 tahun 2011.

Sebagai informasi capaian pengembangan KLA tahun 2021 menunjukkan bahwa Kaltim 90% kabupaten/kota telah berkomitmen mengimplementasikan KHA dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak di kabupaten/kota.

Melalui pelatihan ini, Soraya berharap, dapat meningkatkan pemahaman dan kapasitas para tenaga kesehatan di Puskesmas sekaligus menguatkan sinergi antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di daerah, terutama Puskesmas yang belum menginisiasi PRAP dan Puskesmas yang pelaksanaan layanannya belum memenuhi indikator PRAP.

“Puskesmas yang memberikan pelayanan yang ramah anak, akan menjadi salah satu daya ungkit untuk mewujudkan KLA. Kami berharap pada 2030 semua unit Puskesmas menjadi Puskesmas Ramah Anak, sehingga upaya mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) akan terlaksana,” harap Soraya.

Hadir menjadi narasumber pada kegiatan ini Tim Ahli KLA Hamid Patilima, Kepala Puskesmas Baru Tengah Balikpapan Rulida Osma Marisa, dr. Andi Tenri Awaru, dan DP3AKB Balikpapan. (dkp3akaltim/rdg)

Pemerintah Susun Peraturan Pelaksana UU TPKS

Jakarta (7/6) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama 13 Kementerian/Lembaga terkait, tengah menyusun peraturan pelaksana pasca disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) tersebut ditargetkan selesai tahun ini.

“Ini adalah kerja seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia.  TPKS Tugas pemerintah untuk memastikan dan menjawab kebutuhan operasionalisasi UU TPKS yang harus segera kita selesaikan,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Penyusunan Peraturan Pelaksana UU TPKS, Senin (6/6/2022).

Ratna menerangkan, semula UU TPKS mengamanatkan adanya 5 Rancangan Peraturan Pemerintah dan 5 Rancangan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksananya.

“Sebagai upaya memastikan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan, kami menargetkan 5 Peraturan Pemetintah dan 5 Peraturan Presiden. Namun, bisa kita lakukan simplifikasi atau penyederhanaan tanpa menghilangkan semangat dan esensi dari masing-masing peraturan pelaksana. Sejauh ini, kita terus bergerak dan melakukan langkah tindak lanjut pasca disahkannya UU TPKS,” tutur Ratna.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan, PP pertama akan membahas mengenai sumber, peruntukan, dan pemanfaatan Dana Bantuan Korban berdasarkan Pasal 35 Ayat 4 UU TPKS.

“Pembahasannya lekat dengan mekanisme kompensasi dan restitusi yang akan diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan HAM,” kata Ratna.

Selanjutnya, PP mengenai penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan TPKS dinilai berkaitan erat dengan tata cara penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang mengatur mengenai hak-hak korban.

“Kami juga berpandangan Pasal 80 terkait penyelenggaraan pencegahan TPKS dan Pasal 83 ayat 5 terkait koordinasi serta pemantauan sangat memungkinkan untuk diatur dalam satu PP,” ujar Ratna.

Sementara itu, 5 Perpres yang diamanatkan dalam UU TPKS akan disederhanakan dalam 4 peraturan.  “Perpres terkait Tim Terpadu dan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat akan diatur dalam satu peraturan,” ujarnya.

3 Perpres lainnya akan mengatur mengenai Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Aparat Penegak Hukum, dan kebijakan nasional tentang pemberantasan TPKS.

“Tahapan penyusunan konsepsi, penyusunan draft, uji publik, penyempurnaan, finalisasi, pengajuan program akan kita mulai di Juni 2022. Hari ini menjadi momentum untuk mengawal kembali UU TPKS setelah disahkan pada 9 Mei 2022. PP dan Perpres ini menjadi jawaban operasionalisasi dari UU TPKS,” ungkap Ratna.

Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra mengatakan, Pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah progresif dalam penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS selama enam bulan ke depan. “Salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah diskusi terbatas untuk menggali substansi,” kata Dhahana.

Lebih lanjut Dhahana menjelaskan, Program Penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS akan dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM. “Kami akan mengirimkan surat kepada K/L untuk menanyakan kebutuhan atau usulan regulasinya. Usulan ini kembali kepada pemrakarsa, misalnya Kementerian Hukum dan HAM memprakarsai Perpres terkait penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Aparat Penegak Hukum. Kemudian akan ada pertemuan untuk mendalami usulan masing-masing K/L,” tutup Dhahana.

Dalam diskusi tersebut, K/L yang hadir turut menyatakan komitmennya dalam mengawal penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS, diantaranya Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Hukum dan HAM; Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Kepolisian; Kejaksaan Agung; dan lain sebagainya.

DKP3A Kaltim Bahas Draft Pergub Pembentukan KPAD

Balikpapan — Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim bersama Biro Hukum Setda Provinsi Kaltim, Komisi IV DPRD Kaltim dan Tim Gubernur Untuk Percepatan Pelaksanaan Pembangunan (TGUP3) Kaltim menggelar rapat pembahasan draft Peraturan Gubernur Tentang Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), berlangsung di Hotel Swiss-belhotel Balikpapan, Jumat (20/5/2022).

Kepala Dinas KP3A Kaltim, Noryani Sorayalita mengatakan, KPAD merupakan lembaga independen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur.

Inisiasi pembentukan KPAD berdasarkan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak. Pemerintah daerah dapat membentuk komisi perlindungan anak daerah atau Lembaga lainya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah;

Dalam menjalankan tugasnya, terang Soraya, KPAD mempunyai fungsi memfasilitasi pengaduan masyarakat untuk dikoordinasikan kepada OPD, lembaga/institusi terkait berkenaan dengan penyelenggaraan perlindungan anak.

“Jadi jika UPTD PPA sebagai instansi yang menangani kasus kekerasan, maka KPAD membantu OPD jika terjadi masalah dalam proses penanganan kasus,” ujarnya.

Sementara untuk pemilihan anggota KPAD akan dilaksanakan setelah Pergub KPAD telah terbit.

Hadir pada rapat tersebut, Kasubbag Penyusunan Prouk Hukum Pengaturan Setda Provinsi Kaltim Rahmadiana, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim Rusman Yaqub, dan Tim Gubernur Untuk Percepatan Pelaksanaan Pembangunan (TGUP3) Abdullah Karim. (dkp3akaltim/rdg)

SLBN Balikpapan Raih Penghargaan Sekolah Ramah Anak

Balikpapan — Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim mengapresiasi Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Kota Balikpapan atas keberhasilan dan prestasinya memperoleh penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, sesuai surat nomor B.86/D.PHA.5/TK.04.06/3/2022, yang menetapkan SLB Negeri Kota Balikpapan sebagai Sekolah Penerima Penghargaan Sekolah Ramah Anak (SRA) Tingkat Nasional Tahun 2021.

Kepala Dinas KP3A Kaltim, Noryani Sorayalita mengatakan, ini sebagai bukti komitmen Pemerintah Kota Balikpapan dalam mewujudkan Kota Layak Anak (KLA). Seperti diketahui, SRA merupakan salah satu indikator evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak.

“Juga merupakan bentuk penghargaan atas komitmen satuan pendidikan yang telah mengimplementasikan SRA secara menyeluruh, berkelanjutan dan menjadi contoh bagi satuan pendidikan lainnya,” ujar Soraya pada Penyerahan Sertifikat Penghargaan Sekolah Ramah Anak (SRA), berlangsung di, Kamis (19/5/2022).

Soraya menambahkan, evaluasi dilakukan secara periodik oleh Tim Standarisasi dari Kementerian PPPA. SRA adalah sekolah yang secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab.

“Prinsip utamanya adalah non diskriminasi kepentingan, hak hidup serta penghargaan terhadap anak,” imbuhnya.

SRA merupakan sekolah yang terbuka melibatkan anak untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan, kehidupan sosial, dan  mendorong tumbuh kembang dan serta kesejahteraan anak.

Selain itu, SRA adalah sekolah/madrasah yang aman, bersih, sehat, hijau, inklusif dan nyaman bagi perkembangan fisik, kognisi (proses memperoleh pengetahuan) dan psikososial anak perempuan dan anak laki-laki termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus atau pendidikan layanan khusus. 

SRA juga harus memenuhi unsur keamanan, kebersihan dan kesehatan lingkungannya. “Dalam hal ini keluarga, sekolah dan masyarakat berperan aktif sebagai unsur pendukung terciptanya Sekolah Ramah Anak,” terang Soraya.

Sebagai informasi, sebagai upaya untuk menjamin pemenuhan hak-hak anak, Pemerintah Provinsi Kaltim telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012 tentan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak di Provinsi Kalimantan Timur.

Soraya berharap, kedepan sekolah-sekolah lainnya dapat menjadi Sekolah Ramah Anak, sehingga dapat mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak selama 8 jam anak berada di sekolah melalui upaya sekolah untuk menjadikan sekolah bersih, aman, ramah, indah, inklusif, sehat dan nyaman. (dkp3kaltim/rdg)

UU TPKS Berpihak Dan Berperspektif Pada Korban

Samarinda — Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang dalam Sidang Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021 – 2022 di Jakarta, pada 12 April 2022.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita mengatakan, hadirnya Undang-Undang ini merupakan wujud nyata upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin agat tidak berulang terjadinya kekerasan seksual.

“Kami pun berharap Undang-Undang ini nantinya akan implementatif dan memberikan manfaat, khususnya bagi korban kekerasan seksual, keluarga korban dan saksi,” ujar Soraya pada Dialog Siang Ngapeh TVRI Kaltim, Senin (18/4/2022).

Undang-Undang ini berpihak dan berperspektif pada korban dan memberikan payung hukum kepada aparat penegak hukum yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kasus kekerasan seksual.

Dikatakannya, peristiwa kekerasan seksual di Indonesia menjadi fenomena gunung es. Melihat data berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per tanggal 1 April 2022, untuk kasus kekerasan di Kaltim terbanyak berada di Kota Samarinda yaitu 110 kasus.

“Total korban kekerasan adalah 216 korban terdiri dari 84 korban anak atau 39% persen dan 132 korban dewasa atau 61 persen,” imbuh Soraya.

Ia juga mengimbau, agar masyarakat melaporkan jika mengetahui atau mengalami kejadian kekerasan. Sehingga dapat segera mendapatkan pendampingan dan penanganan.

“Masyarakat dapat melaporkan ke UPTD PPA Kaltim sebagai upaya penanganan kekerasan dan Puspaga Ruhui Rahayu Kaltim sebagai upaya pencegahan,” terangnya.

Soraya menambahkan, hadirnya UU TPKS ini harus ditindaklanjuti. Salah satunya melalui sosialisasi ke semua pihak khususnya pada masyarakat.

Sebagai informasi, beberapa terobosan dalam RUU TPKS, antara lain Pengualifikasian jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi. Pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban, dan Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak. (dkp3akaltim/rdg)