Pandemi Covid-19 Picu terjadinya KDRT, Tokoh Agama Penting Berikan Dukungan Psikososial Bagi Keluarga

Samarinda — Pandemi Covid-19 bukan sekadar bencana kesehatan, namun juga bisa menyebabkan bencana ganda, bahkan majemuk, salah satunya adalah bencana ekonomi yang akhirnya memicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT tidak hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan instrumental dan intervensi negara, namun juga dibutuhkan pendekatan secara keagamaan. Oleh karenanya, peranan para tokoh agama dan organisasi keagamaan di tengah pandemi Covid-19 menjadi penting untuk memberikan dukungan psikososial kepada masyarakat.

“Tokoh agama dan organisasi keagamaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan dukungan psikososial kepada masyarakat pada umumnya dan kepada umat masing-masing agama pada khususnya. Tokoh agama dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai stigma yang muncul terkait Covid-19. Di samping itu, tokoh agama juga dapat memberikan rasa tenang, nyaman, dan mendorong masyarakat untuk selalu berdoa dan bersabar di tengah pandemi Covid-19,” ujar Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Indra Gunawan pada Workshop Pelibatan FORLAPPA (Forum Lintas Agama untuk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) dalam rangka mendukung Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (#Berjarak) yang diselenggarakan secara virtual dan diikuti oleh sekitar 270 peserta.

Dalam memberikan dukungan psikososial, para tokoh agama dan lembaga keagamaan dapat bekerjasama dengan unit yang menangani perempuan dan anak atau Unit PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) yang ada di daerah.

“Kami berharap para tokoh agama dan organisasi keagamaan dapat menjalin kerjasama atau sinergi dengan Unit PPPA dan lembaga masyarakat lainnya dalam memberikan dukungan psikososial. Unit PPPA yang sudah terbentuk di daerah, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Forum PUSPA), Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dan sebagainya,” tutur Indra Gunawan.

Berdasarkan data aduan Layanan Psikologi Sehat Jiwa (Sejiwa) yang masuk ke nomor layanan pengaduan Kemen PPPA, pada 10 – 22 Mei 2020 terdapat 453 kasus kekerasan. Dari 453 kasus, 227 diantaranya merupakan kasus KDRT. Sebanyak 211 laporan KDRT dilakukan oleh suami terhadap istri dan anak-anak.

Perwakilan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid, mengatakan, KDRT di masa pandemi Covid-19 tidak secara tiba-tiba muncul. Hal ini bergantung pada pilar/pondasi yang sudah dibangun oleh sebuah keluarga sebelumnya.

“Beberapa tekanan psikososial ekonomi selama pandemi Covid-19 yang memicu adanya KDRT, diantaranya mata pencaharian (livelihood) yang menurun drastis, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal dan tidak bisa mengandalkan gaji bulanan, ketidakpastian di masa depan, relasi kuasa (berbasis gender, utamanya antara suami istri), dan keterbatasan ruang pribadi akibat harus berbagi ruang dengan anggota keluarga lainnya selama di rumah saja. Jika keluarga tidak bisa beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik, maka semua ini akan memicu emosi negatif dan akhirnya menyebabkan KDRT,” ujar Alissa Wahid.

Alissa menambahkan budaya patriarki yang selama ini mengakar di masyarakat memberi ruang yang sangat besar untuk terjadinya KDRT. Beberapa faktor lainnya yang selama ini memicu terjadinya KDRT, diantaranya ketidakmampuan mengelola hubungan yang memberdayakan (ketidakmampuan mengelola sebuah permasalahan), adanya relasi kuasa, kurang matangnya pasangan (keseimbangan antara memperjuangkan hak pribadi dengan tenggang rasa atas hak orang lain), dan kurangnya pembekalan mengelola dinamika perkawinan. Oleh karenanya, tokoh agama dan organisasi keagamaan harus turut andil membina para umatnya, termasuk keluarga agar memiliki pilar/pondasi yang kuat.

“Agama menolak kekerasan. Kekuatan agama untuk membina keluarga selaras dengan ketika agama membina umatnya sehingga ini yang menyebabkan tokoh agama memiliki peran yang sangat besar untuk mendampingi umatnya, termasuk keluarga. Landasan perkawinan adalah prinsip keadilan, kesalingan, dan keseimbangan. Jika pondasi tersebut semakin kuat, maka semakin kuat pilarnya,” tambah Alissa.

Sementara salah satu anggota FORLAPPA, Anil Dawan mengatakan para tokoh agama dan lembaga agama mampu berkontribusi dalam pencegahan Covid-19 dan mendampingi para umat untuk memberikan dukungan psikologis awal.

“Para tokoh agama sebaiknya memiliki kemampuan untuk memberikan pemahaman ayat-ayat dalam kitab suci untuk menjelaskan situasi yang terjadi, dalam hal ini penanggulangan Covid-19 dan nilai-nilai kemanusiaan untuk kepentingan bersama, membangun ketangguhan umat dalam menghadapi pandemi Covid-19, serta melakukan sosialisasi pencegahan dan strategi penanganan Covid-19 dan rujukannya dengan Tim Gugus Tugas. Tokoh agama juga sebaiknya mampu memahami bahwa jemaat, umat, dan penyintas dapat mengalami dampak negatif Covid-19. Oleh karena itu, penting untuk mengaplikasikan Dukungan Psikologis Awal (DPA) dan konseling untuk kesehatan jiwa/mental. Pendampingan tersebut dapat dilakukan melalui media online atau virtual,” terang Anil Dawan.

 

 

Pengasuhan dan Peningkatan Psikologis di Era New Normal Harus Memenuhi Hak Anak

Samarinda — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggelar webinar “Orang Tuaku Sahabat Terbaikku” dengan tema Pengasuhan dan Penguatan Psikologis di Masa Pandemi Covid-19, sebagai rangkaian acara menyambut peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2020.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin mengatakan rencana penerapan kebijakan tatanan normal baru (new normal) di tengah pandemi Covid-19, mengharuskan para orangtua dan keluarga di Indonesia untuk memberi pengasuhan bagi anak yang disesuaikan dengan perubahan kondisi saat ini. Mengingat anak adalah makhluk paling rentan, maka anak harus di lindungi dan peran pengasuhan sangatlah penting.

Hal tersebut bertujuan untuk melindungi 79,5 juta anak Indonesia (Profil Anak Indonesia, 2019) yang harus dilakukan orangtua, keluarga atau pengasuh pengganti. “Melindungi anak merupakan tugas kita bersama, tidak hanya orangtua dan keluarga, seluruh orang dewasa juga berkewajiban untuk memenuhi hak-hak anak,” jelasnya.

Berdasarkan data Covid.go.id, pada 2 Juni 2020 diketahui ada sebanyak 7,9% anak yang positif Covid-19. “Jika dibandingkan dengan angka pada 27 Mei lalu, dalam tempo 4 hari telah terjadi peningkatan jumlah anak yang terpapar Covid-19. Media hari ini, mengulas data provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai daerah dengan angka tertinggi kasus Covid-19 pada anak,” tutur Lenny.

Terkait kondisi pengasuhan anak di Indonesia saat ini, terdapat 95,3% anak yang diasuh oleh orangtua baik ibu kandung, ayah kandung ataupun keduanya. Sebanyak 4,7% anak lainnya, diasuh keluarga lain atau orangtua pengganti (Profil Anak Indonesia, 2018). Selain itu, sebanyak 3,73% balita diketahui mendapat pengasuhan yang tidak layak (Susenas MSBP, 2018).

“Angka tersebut tergolong cukup besar. Atas dasar inilah Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo memberikan 5 (lima) arahan kepada Kemen PPPA, salah satu arahannya yaitu meningkatan peran ibu dan keluarga dalam pengasuhan anak. Hal ini menekankan pentingnya aspek keluarga terutama ibu dalam pengasuhan anak,” terang Lenny.

Sedangkan untuk pola pengasuhan anak di era tatanan normal baru harus disesuaikan kembali dengan kondisi yang ada. Orangtua yang sebelumnya menjadi pengasuh sekaligus guru pendamping, dan teman bicara anak selama 24 jam, harus kembali menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Untuk itu, Kemen PPPA sedang menyiapkan panduan pengasuhan berbasis hak anak, baik di keluarga maupun di lembaga pengasuhan pengganti untuk dapat diterapkan di era new normal.

Panduan tersebut tentunya harus memperhatikan dan menyesuaikan dengan protokol kesehatan dan poin-poin penting pengasuhan itu sendiri. “Orangtua harus mengingatkan anaknya terkait protokol kesehatan tersebut, harus ada substansi pengasuhan yang ditanamkan pada anak. Orangtua juga harus bisa menuntun anaknya jika mengalami gangguan psikologis,” tambah Lenny.

Kemen PPPA telah berupaya meningkatkan pengasuhan berbasis hak anak, yaitu dengan mengembangkan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang melibatkan psikolog dan konselor untuk memberikan bantuan konseling, edukasi dan informasi kepada keluarga secara gratis. Layanan PUSPAGA ini beroperasi di bawah koordinasi Dinas PPPA di Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Di tengah pandemi ini, peran PUSPAGA sangatlah dibutuhkan masyarakat. Untuk itu, setiap daerah harus meningkatkan pelayanan PUSPAGA sebagai garda penyedia layanan konseling, edukasi dan informasi bagi para keluarga di seluruh Indonesia.

Pada rangkaian webinar tersebut, hadir pula Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto. Kak Seto mengungkapkan pengasuhan anak di era new normal ini menjadi kesempatan bagi orangtua untuk mengenal segala potensi anak. Orangtua juga harus kreatif dalam mengasuh dengan mencarikan permainan menarik bagi anak.

“Dalam mengasuh anak di era new normal, orangtua harus tetap fokus pada pemenuhan hak anak dan membentuk karakter positif pada anak. Hal tersebut harus diterapkan dengan segala cara dan metode seperti menciptakan pengasuhan dengan penuh cinta melalui senyum, tanpa kekerasan sehingga anak tumbuh penuh dengan rasa cinta, kasih sayang kepada orang di lingkungannya,” ujar Kak Seto.

Di samping itu, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Seger Handoyo menuturkan dalam pengasuhan di era new normal saat ini, fokus orangtua sebaiknya lebih kepada membantu penguatan mental psikologis anak agar anak mampu menghadapi masalah dan bangkit ketika terjatuh, termotivasi untuk menggapai cita cita, lebih optimis, santai, dan tidak mudah cemas.

“Beberapa hal yang dapat orangtua lakukan untuk memperkuat sisi psikologis anak, yaitu dengan mempraktikkan agar anak mencontoh dalam hal mengendalikan diri dan emosi, meningkatkan rasa percaya diri saat berhadapan dengan orang lain, memperkuat komitmen, terus belajar dan mengembangkan kemampuan diri, dan pentingnya memperkuat regulasi diri,” tutup Seger.

Sementara Koordinator Divisi Pencegahan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Ruhui Rahayu Kaltim Siti Mahmudah I K, menyampaikan permasalahan keluarga selama masa pandemi Covid-19 meliputi konflik rumah tangga, pekerjaan, kekerasan pada anak, lansia, depresi akibat pengasuhan, stigmatisasi akibat Covid-19 dan pra nikah.

“Selama Maret 2020 terdapat 3 kasus, April terdapat 10 kasusu dan Mei terdapat 8 kasus yang telah kami tangani. Sedangkan berdasarkan Data Simfoni PPA per 27 Mei 2020 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim sebnayak 202 kasus. Sementara Psikoedukasi Layanan Puspaga Ruhui Rahayu bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Kertanegara, Universita Mulawarman, Himpsi Wilayah Kaltim, IPK Kaltim, dan Forum Anak Kaltim,” ujarnya. (dkp3akaltim/rdg)

Protokol Perlindungan Terhadap Anak Penyandang Disabilitas dalam Pandemi COVID-19 Resmi Diluncurkan

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Kementerian/Lembaga, dan perwakilan dari organisasi penyandang disabilitas telah menyusun protokol atau pedoman Perlindungan Terhadap Anak Penyandang Disabilitas dalam Situasi Pandemi COVID-19. Protokol tersebut telah disetujui Gugus Tugas COVID-19 dan secara resmi telah diupload pada portal covid19.go.id: https://covid19.go.id/p/protokol.

“Protokol Perlindungan Terhadap Anak Penyandang Disabilitas ini disusun untuk melengkapi berbagai protokol yang telah tersedia, demi mempercepat penanganan COVID-19 khususnya pada anak penyandang disabilitas dalam lingkup ruang interaksi, yaitu di rumah, panti, maupun rumah sakit, dalam upaya menjaga agar mereka tetap aman. Hal ini, tentunya disusun dengan memperhatikan dan mencegah risiko, serta menangani berbagai dampak kekerasan, perlakukan salah, eksploitasi dan penelantaran yang mereka alami,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Anak, Nahar.

Nahar menuturkan pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia saat ini, berdampak sangat luas, baik secara sosial, ekonomi dan hak asasi manusia terutama bagi kelompok rentan. Sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok rentan yang termasuk dalam kategori anak membutuhkan perlindungan khusus.

Untuk menjalankan amanat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak, Kemen PPPA selaku koordinator terus berupaya memastikan pemenuhan layanan kebutuhan khusus bagi anak penyandang disabilitas yang disediakan Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah dapat terhubung dalam berbagai protokol penanganan COVID-19.

Di samping itu, Kemen PPPA juga terus memastikan agar hak dan kebutuhan khusus anak penyandang disabilitas terpenuhi, utamanya hak atas layanan Kesehatan. “Anak penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan terpapar COVID-19. Sebagian besar dari mereka sangat bergantung terhadap orangtua maupun pendampingnya untuk membantu memenuhi kebutuhan khususnya, termasuk mobilitas, gerak atau komunikasi. Mengingat ragamnya disabilitas dan karakter berbeda yang melekat, setiap anak memerlukan cara penanganan dan pencegahan yang berbeda pula,” jelas Nahar.

Lebih lanjut Nahar menambahkan, selain keragaman disabilitas, pendampingan terhadap anak disabilitas tidak terlepas dari level atau tingkat disabilitas yang dialaminya. “Oleh karena itu, proses pendampingan, dukungan, serta pengasuhan terhadap mereka akan mempengaruhi proses untuk meminimalisir dampak dari COVID-19 itu sendiri” ujar Nahar.

Adapun proses penyusunan protokol tersebut, melibatkan berbagai pihak pihak termasuk Organisasi Orangtua yang memiliki anak penyandang disabilitas. Proses penyusunan dimulai dari tahap analisis terhadap data kondisi anak penyandang disabilitas dalam masa pandemi Covid-19, terutama yang telah berstatus anak dalam pemantauan, pasien anak dalam pengawasan dan anak telah terkonfirmasi positif COVID-19.

Selanjutnya, melakukan proses diskusi dengan berbagai pihak yang bekerja untuk anak penyandang disabilitas dan dilanjutkan bersama Yayasan SAPDA mengenai isu penting terkait kebutuhan khusus anak penyandang disabilitas dalam masa pandemi untuk melengkapi protokol atau panduannya. “Protokol ini telah mendapatkan persetujuan dari Gugus Tugas COVID-19 dan selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan menerbitkan pedoman pelaksanaan oleh kementerian/Lembaga sebagai rujukan teknis berdasarkan kewenangan masing-masing agar dapat terlaksana dengan optimal,” tutup Nahar. (publikasidanmediakemenpppa)

New Normal Di Satuan Pendidikan Harus Utamakan Hak Anak

Jakarta — Terkait rencana kebijakan pelaksanaan tatanan baru di satuan pendidikan, Kemen PPPA menggelar rapat koordinasi “Strategi Pelaksanaan Kebijakan Pembukaan Satuan Pendidikan dalam Sistem Tatanan Normal Baru” dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait melalui virtual (02/06). Tujuannya, untuk memperoleh masukan bagi penyusunan protokol penyelenggaraan pendidikan dalam tatanan normal baru, dengan mempertimbangkan aspek pemenuhan dan perlindungan hak anak.

Tatanan normal baru atau banyak dikenal sebagai new normal adalah keniscayaan dan harus dihadapi oleh semua negara sampai ditemukannya vaksin virus corona virus novel 19. Dalam beberapa hari terakhir, pelaksanaan kebijakan tatanan normal baru ini menimbulkan perdebatan publik dikaitkan dengan berbagai kekhawatiran lapisan masyarakat, utamanya kesiapan negara menjamin keamanan penduduk dari penularan Covid-19, termasuk pada anak jika satuan Pendidikan dibuka kembali pada kalender tahun ajaran baru 2020/2021 yang jatuh pada tanggal 13 Juli 2020. Para orang tua peserta didik resah, karena data terakhir menunjukkan masih tingginya angka penambahan kasus baru pasien Covid-19.

“Faktanya, anak-anak kita saat ini dihadapkan pada situasi khusus, karena berada dalam situasi pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari GTPP Covid-19 bahwa persentase anak usia 0-5 tahun dan 6-17 tahun yang terdampak masing-masing sebesar 2,3% dan 5,6% dari keseluruhan orang yang terindikasi positif Covid-19 (Data Gugus Tugas Covid-19 per tanggal 2 Juni 2020). Ini menjadi bukti bahwa anak-anak juga terancam dalam situasi pandemi ini, sehingga perlu menjadi perhatian bersama,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar.

Nahar menambahkan, Kementerian PPPA berkewajiban melakukan penyelenggaraan koordinasi perlindungan anak dalam hal pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus, termasuk dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini. “Selain itu, salah satu alasan koordinasi ini dilakukan karena muncul pertanyaan-pertanyaan di masyarakat akan kepastian wacana pembukaan kembali sekolah, madrasah dan pesantren. Protokol-protokol teknis perlu disiapkan dan dikomunikasikan pada semua pihak agar Bersama-sama dapat melakukan mitigasi risiko-risiko yang mungkin timbul” tambah Nahar.

Sejalan dengan hal ini, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA Lenny N Rosalin yang juga menjadi narasumber dalam webinar menegaskan, jika strategi kebijakan new normal ini harus disertai berbagai protokol tatanan normal baru yang dapat dilaksanakan secara tepat dan konsisten dengan memperhatikan aspek kepentingan terbaik bagi anak.

“Perlindungan anak harus dilakukan di mana pun anak-anak berada, termasuk pada saat di satuan pendidikan. Sangat penting bagi pemerintah terutama untuk membicarakan aspek pencegahannya, sehingga di era new normal nanti harapannya tidak ada satu pun anak kita yang mengalami masalah dengan diterapkannya new normal di satuan pendidikan,” jelas Lenny.

Sementara, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) DR. Yogi Prawira berpandangan, bahwa anak memiliki hak untuk hidup, hak sehat juga hak pendidikan, namun yang harus menjadi fokus utama saat ini adalah hak anak untuk hidup.

“Berbicara tentang anak adalah bicara tentang manusia. Sebagai manusia mereka punya hak, yang pertama adalah hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan kesehatan baru kemudian hak untuk memperoleh pendidikan. Jadi jangan terbalik, kita pastikan mereka bisa survive (bertahan), bisa sehat dulu baru kita memikirkan tentang pendidikannya,” tegas Yogi yang mengaku mendapat pandangan tersebut dari diskusi bersama Perhimpunan Guru Indonesia terkait wacana new normal di satuan pendidikan.

Dalam masa transisi menuju new normal, IDAI juga menyatakan kesiapan Perwakilan IDAI di 34 provinsi mendampingi Pemda melakukan asesmen teknis.

Mengamini masukan-masukan Kementerian/Lembaga, para pakar kesehatan anak, dan masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama menyampaikan bahwa sudah dapat dipastikan tahun pelajaran baru tetap akan dimulai awal Juli 2020, namun demikian metode pembelajaran masih dilakukan secara jarak jauh, baik daring maupun luring.

“Dalam masa transisi menuju new normal, setiap Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Satuan Pendidikan di daerah bersama-sama Gugus Tugas Daerah wajib melakukan pemetaan kesiapan daerah sesuai kriteria dan daftar periksa yang sedang disiapkan,” tegas Plt Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud, Khamim.

Direktur Kurikulum, Sarana Prasarana, Kelembagaan dan Kesiswaan Madrasah Kementerian Agama Ahmad Umar, menegaskan bahwa madrasah tidak akan dibuka sebelum ada jaminan keamanan dan Kesehatan bagi anak dan tenaga pendidik. “Kami sudah menyiapkan kurikulum darurat sebagai rujukan untuk para guru dalam melaksanakan pembelajaran jarak jauh, baik daring maupun luring,” katanya.

Cegah Anak Indonesia dari Bujukan Rokok, Menteri Bintang Dorong Larang Segala Bentuk Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA RI), Bintang Puspayoga sangat khawatir dengan jumlah perokok pemula yang terus meningkat setiap tahunnya. Perokok pemula dengan kategori usia 10-18 tahun inilah yang menjadi target utama industri rokok. Beredarnya video viral di media sosial yang memperlihatkan sekelompok anak sedang merokok adalah salah satu contohnya. Ironisnya, beberapa orang dewasa di sekitar mereka justru melakukan pembiaran.
“Rokok menghambat hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini berlaku baik pada anak yang menjadi perokok aktif maupun anak yang terpapar asap rokok atau pasif. Kami sangat khawatir karena berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada 2018, tercatat sebanyak 2,1% anak usia 10-14 tahun sudah merokok dan 2% di antaranya bahkan merupakan mantan perokok. Selain itu, prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun sebanyak 9,1% pada 2018. Hal ini menjadi perhatian serius kami,” jelas Menteri Bintang dalam acara Webinar Perlindungan Anak dari Paparan Asap Rokok dan Target Industri sebagai Perokok Pemula yang dilaksanakan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia Tahun 2020, Minggu (31/5/2020).
“Kemudahan akses bagi anak terpapar informasi pemakaian rokok dan akses mendapatkan rokok dengan harga murah menjadi salah satu penyebabnya. Sebanyak 28% remaja merokok saat berkumpul dengan teman sebayanya (Penelitian Komasari dan Helmi, 2000 dalam Profil Anak Indonesia, 2019). Hal Ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok pada perokok pemula dapat terus menyebar antar teman sebaya jika tidak dilakukan intervensi dengan serius. Namun selain teman sebaya, orangtua yang merokok merupakan salah satu contoh buruk bagi anak,” ujar Menteri Bintang.
Lebih lanjut Menteri Bintang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status merokok anak dengan paparan iklan rokok, pemberian sampel rokok gratis, sponsor rokok di acara olahraga, logo rokok pada merchandise, sponsor rokok di acara musik, dan harga diskon (Tobacco Control Support Center IAKMI).
“Kami mendorong agar segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok dilarang secara tegas karena mempengaruhi anak-anak kita. Jika tidak ada upaya serius, maka pada 2030 jumlah perokok anak akan mencapai 15,8 juta atau 15,91% (Proyeksi Bappenas, 2018). Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan Kemen PPPA untuk mencegah terpaparnya anak-anak dari rokok. Salah satunya yaitu dengan mengeluarkan kebijakan yang menyentuh ke sistem perlindungan anak di tingkat daerah. Kemen PPPA telah menetapkan upaya pengendalian tembakau atau rokok sebagai salah satu dari 24 indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Hal ini diterapkan melalui tersedianya kawasan tanpa rokok (KTR) dan tidak adanya iklan, promosi serta sponsor rokok di daerah” jelas Menteri Bintang.
Kemen PPPA juga mendukung upaya pengendalian rokok utamanya bagi anak, yaitu melalui Sosialisasi Bahaya Rokok dan Kesehatan Reproduksi bagi Anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P), Kampanye Anak Indonesia Hebat Tanpa Rokok secara terus menerus, penguatan kapasitas dan peran Forum Anak sebagai 2P mengenai Bahaya Rokok, serta beberapa program lainnya yang intinya untuk mencegah dan menghindarkan anak dari rokok.
“Selain itu, Kemen PPPA juga terlibat dalam penyusunan rekomendasi Policy Round Table bersama mitra K/L dan lembaga non pemerintah, yang hasilnya digunakan sebagai masukan bagi Bappenas dalam menyusun RPJMN 2020-2024”, tambah Bintang.
Kemen PPPA telah membuat wadah bagi anak-anak Indonesia untuk menyuarakan pendapatnya melalui Forum Anak yang telah terbentuk secara nasional, hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota, bahkan hingga di desa/kelurahan.
“Peran Forum Anak sebagai pelopor dan pelapor menjadi sangat penting dalam menyuarakan perlindungan anak dari bahaya rokok. Tidak hanya itu, anak juga memiliki potensi yang besar untuk memberikan pengaruh pada lingkungan sekitar, termasuk masyarakat secara luas,” tambah Menteri Bintang.
Pada 2020 ini, Kemen PPPA akan menginisiasi Smoke-Free Family (Keluarga Bebas Rokok) sebagai salah satu upaya pengendalian tembakau/rokok melalui lingkup keluarga. Kemen PPPA juga terus berupaya membangun jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor dalam melindungi anak-anak dari bahaya rokok.
“Kami percaya bahwa perlindungan anak dan tumbuh kembang anak yang optimal dapat terwujud dengan adanya kerjasama kuat dari berbagai pihak, termasuk LPAI sebagai organisasi masyarakat penggiat perlindungan anak. Indonesia bisa menjadi negara maju, apabila anak-anak dapat tumbuh dengan sehat, cerdas, berakhlak, dan berkarakter,” ujar Menteri Bintang.
Pada kesempatan acara webinar tersebut, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Harry Hikmat menegaskan bahwa Kementerian Sosial akan mengevaluasi Program Keluarga Harapan (PKH) untuk memastikan para keluarga pra sejahtera penerima, betul-betul memanfaatkan bantuan demi meningkatkan kualitas anak, baik dari aspek kesehatan dasar, pendidikan, maupun kesejahteraan sosial, bukan disalahgunakan untuk membeli rokok. “Kami melarang keras jika bantuan ini digunakan untuk membeli rokok. Jika perlu kami akan membuat daftar negatif penerima bantuan yang diketahui telah melakukan penyimpangan,” tegas Harry Hikmat.
Sementara itu, Technical Consultan International Union Againts Tubercolosis and Lung Disease (The Union) Indonesia, Fauzi Ahmad Noors pada kesempatan tersebut menyampaikan bahwa momentum Hari Tanpa Sembakau Sedunia bisa dijadikan sebuah gerakan anak-anak dan pelajar dari seluruh Indonesia untuk mengetuk nurani pemerintah agar melakukan kebijakan nyata dan tegas untuk melarang semua bentuk iklan rokok khususnya di internet pada masa pandemi COVID-19. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan jutaan anak Indonesia dari paparan iklan rokok selama belajar melalui media daring atau online di rumah.
Ketua LPAI, Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto mengungkapkan bahwa sudah berpuluh tahun pandemi rokok mengancam anak-anak di Indonesia. “Dahsyatnya bahaya rokok untuk kesehatan jiwa yang dapat membunuh, dikemas begitu indah dengan model, artis, slogan yang terkesan membanggakan dan penuh kreatifitas. Dipandu berbagai promosi, sponsor acara olahraga dan konser musik. Hal inilah yang membuat masyarakat bingung, karena penggandengan sesuatu yang buruk menjadi baik. Oleh karena itu, kita harus mendesak pemerintah untuk melarang keras promosi rokok tersebut dan perlu langkah tegas dari semua pihak. Keluarga juga harus melakukan perlindungan terhadap anak, baik melalui dongeng, lagu, cerita bergambar atau film untuk melawan manipulasi bahaya rokok yang mengancam,” jelas Kak Seto.
Sebelum acara berakhir, Menteri Bintang menyatakan bahwa sumber daya masa depan Indonesia yang berdaya saing dan unggul berada di tangan 30,1% atau 79,55 juta anak Indonesia (BPS, 2019). “Dari angka tersebut, dapat kita bayangkan betapa pentingnya berinvestasi terhadap kualitas anak-anak Indonesia dengan memenuhi hak-hak dan melindungi mereka seoptimal mungkin. Mari kita semua bersinergi dan bergandengan tangan untuk melindungi anak bangsa dari pengaruh buruk asap rokok, demi mewujudkan cita-cita Indonesia Layak Anak (IDOLA) Tahun 2030 dan Indonesia Emas Tahun 2045.
Pada akhir rangkaian webinar, perwakilan dari Forum Anak Tanpa Tembakau menyampaikan Deklarasi Anak Bebas Asap Rokok, yang ditayangkan melalui rekaman video. Adapun isi deklarasi tersebut yaitu:
“Kami anak Indonesia menyatakan ingin bebas dari asap rokok, untuk itu kami:
1. Mendorong pemerintah untuk melindungi hak anak secara total dari dampak buruk zat adiktif seperti rokok dan narkoba;
2. Memohon kepada pemerintah untuk mengadakan sosialisasi dan edukasi tentang dampak buruk asap rokok;
3. Memohon kepada pemerintah agar segera mengeluarkan UU atau peraturan terkait pelarangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok;
4. Melakukan perubahan UU Perlindungan Anak terkait pasal 59 ayat 2 huruf E dan pasal 67 yang menyatakan zat adiktif lainnya dengan memasukkan secara tegas kata tembakau atau rokok;
5. Menandatangani Framework Convention on 0Tobacco Control (FCTC);
6. Menaikkan harga rokok sekurang-kurangnya Rp. 100.000,- perbungkus;
7. Menaikkan pajak rokok setiap tahun sebesar 100% disertai dengan pelarangan penjualan secara batangan;
8. Mendesak pemerintah untuk melaksanakan penegasan hukum terkait peraturan kawasan tanpa rokok.
Hadir dalam webinar tersebut Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny Rosalin, juga menjelaskan tentang 5 (lima) strategi yang ditargetkan bagi anak, keluarga, satuan pendidikan, lingkungan, dan wilayah, dalam upaya mewujudkan #AnakIndonesiaHebatTanpaRokok

NEW NORMAL: TAK PERLU TERGESA-GESA KEMBALI KE SEKOLAH

(Optimalisasi Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak Selama Pandemi Covid-19)

*) Siti Mahmudah Indah Kurniawati, S.Psi. Psikolog

 

Hampir 3 bulan kita berada dalam kondisi pandemi covid-19 dimana seluruh aspek kehidupan mengalami perubahan secara tiba- tiba dan seluruh aktivitas yang biasa dilakukan diluar rumah kemudian berubah seiring adanya kebijakan pemerintah untuk melakukannya dirumah. Kondisi ini tentunya akan berimbas pada munculnya permasalahan sosial dan otomatis muncul kelompok rentan terdampak dimana didalamnya ada anak, perempuan dan disabilitas yang mengalami dampak dari kondisi ini. Dan ini merupakan hari ketiga dimana saya menerima puluhan pesan singkat melalui E-mail, Whatsapp maupun DM Instagram terkait kegelisahan para orang tua terkait wacana kembalinya anak-anak ke sekolah. Beberapa mengalami kecemasan bagaimana nantinya anak-anak memiliki kesiapan selama di sekolah, kemudian berapa lama mereka di sekolah dan bagaimana resiko yang akan diterima anak, apakah bisa saling bekerjasama antar siswa dengan temannya atau bahkan sampai pada mekanisme seperti apa yang akan diterapkan di sekolah, dan apakah protokol kesehatan bisa berjalan.

Jika kita mengacu pada definisi new normal merupakan  skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional, artinya untuk dunia pendidikan tentunya diperlukan kajian mendalam terkait kesiapannya karena menyangkut hak hidup anak-anak usia sekolah maupun pra sekolah. Indikator New Normal sebagaimana disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, beberapa indikator dari WHO dalam rangka skenario new normal di tengah pandemi corona adalah 1). Tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan, 2). Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19, 3). Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif. Tentunya menjadi pertimbangan tim gugus tugas percepatan penanganan covid-19 di daerah khususnya untuk membuka kembali aktivitas pembelajaran di sekolah.

Pertimbangan lainnya adalah bahwa anak-anak tidak kebal dengan Covid-19 dimana trend penyebarannya mulai menyisir pada anak-anak, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DR. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, FRCPI bahwa hampir 3.400 anak berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), kematian PDP sebanyak 129 anak, positif Covid-19 pada anak sebanyak 584 kasus, dan 14 kematian anak dari kasus positif Covid-19. Temuan ini menunjukkan bahwa angka kesakitan dan kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia tinggi dan membuktikan bahwa tidak benar kelompok usia anak tidak rentan terhadap COVID-19 atau hanya akan menderita sakit ringan saja. Hal ini tentunya menjadi bahan pertimbangan mendasar dan utama jika akan membuka kembali pembelajaran di sekolah pada pertengahan bulan juli nanti.

Meskipun dalam kondisi wabah namun pemenuhan dan perlindungan hak anak harus dilakukan untuk menjamin anak tetap mendapatkan hak-haknya., diantaranya adalah hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, orang tua atau orang dewasa di sekitar harus memastikan anak-anak tetap terlindungi. Anak-anak rentan mengalami perlakuan salah, eksploitasi atau bahkan kekerasan selama pandemi berlangsung.

Prinsip-prinsip Pengurangan Resiko Bencana (Alam/ Non Alam) yaitu  “DO NO HARM ” dan “BUILD BACK BETTER- membangun kembali dengan lebih baik” adalah pilar penting dari upaya pengurangan risiko bencana yang efektif dan tidak membuat anak menjadi terpapar atau semakin terpapar pada resiko. Dari perspektif perlindungan anak, upaya pengurangan resiko bencana yang mengedepankan prinsip “DO NO HARM”  saat berinteraksi dengan anak, baik itu saat melibatkan anak secara aktif untuk melakukan kajian resiko, membuat perencanan kesiapsiagaan di tingkat sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya, dan memberikan pengetahuan dasar untuk mengenali ancaman, menghindari ancaman dan menyelamatkan diri secara mandiri saat kondisi bencana (Alam/ Non Alam) menjadi hal mendesak untuk dilakukan. Karena pengkondisian anak di sekolah tak semudah yang dibayangkan.

Sehingga membangun partipasi masyarakat dari seluruh lapisan menjadi prioritas bersama, pihak sekolah dengan orang tua terkait mengawal pelaksanaan pendisiplinan protokol kesehatan yang telah diterapkan selama pandemi baik dilingkungan rumah dan kelak di sekolah jika kondisi kondusif untuk kembali ke sekolah. Dimana fokus kita selama periode lockdown ini adalah bagaimana menjaga diri kita dan orang yang kita cintai tetap sehat, kita juga harus mengingat jutaan anak yang berisiko menjadi korban yang terlupakan dari pandemi ini. Seperti apa dunia mereka besok, dan seperti apa masa depan mereka nantinya, juga menjadi tanggung jawab kita hari ini. Harapan bersama semoga bumi segera pulih dan kita bisa beraktivitas seperti sedia kala. Aamiin Yaa Rabbal’ alamiin.#gembiradirumah #belajardirumah #bersamajagakeluargakita #salamberlian

 

*) Founder Biro Psikologi Inka Alzena

Kepala Seksi Tumbuh Kembang Anak, DKP3A Prov.Kaltim

Koordinator Divisi Pencegahan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Ruhui Rahayu Provinsi Kalimantan Timur

 

Kemen PPPA Bersama BKF dan UNDP Gelar Diskusi Publik sekaligus Luncurkan Buku Penganggaran Perubahan Iklim Responsif Gender

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, serta United Nations Development Program (UNDP) telah menyelenggarakan acara diskusi publik sekaligus peluncuran buku Penganggaran Perubahan Iklim Responsif Gender yang dilaksanakan secara virtual dan dihadiri perwakilan dari berbagai kementerian, pemerintah daerah, perguruan tinggi, NGOs/CSOs dan mitra pembangunan.

“Pengarusutamaan gender harus terefleksikan dalam proses penyusunan kebijakan perencanaan dan penganggaran untuk menjamin agar perencanaan dan penganggaran yang dibuat seluruh kementerian/lembaga sudah adil bagi seluruh kelompok masyarakat,“ ungkap Deputi Bidang Kesetaraan Gender, Agustina Erni dalam sambutannya pada kegiatan tersebut (20/05).

Erni mengungkapkan, hasil kegiatan tersebut menunjukkan bahwa sistem perencanaan dan penganggaran Indonesia telah cukup memadai untuk mengimplementasikan tema gabungan anggaran perubahan iklim yang responsif gender. Hal tersebut didukung dengan adanya  regulasi tentang sinkronisasi perencanaan dan penganggaran; mekanisme dan institusi yang memfasilitasi proses penandaan anggaran perubahan iklim maupun gender; serta sistem penghargaan untuk lembaga yang berhasil melaksanakan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender, yaitu Anugerah Parahita Ekapraya (APE).

“Kedepannya diharapkan pengembangan tema gabungan anggaran perubahan iklim yang responsif gender ini, dapat memberikan co-benefit dalam mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca nasional serta mencapai keadilan dan kesetaraan gender yang tercermin dari peningkatan indikator Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG),“ jelas Erni.

Di samping itu, Kepala BKF Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu menyampaikan bahwa kajian tersebut ditujukan untuk menggambarkan regulasi terkait perencanaan dan penganggaran serta kondisi terkini dalam penyusunan anggaran perubahan iklim responsif gender yang telah dilakukan kementerian terkait dan dapat dikembangkan untuk penelitian lanjutan bagi pemangku kepentingan kebijakan.

“Buku Penganggaran Perubahan Iklim yang Responsif Gender menyajikan analisis hasil dari tema gabungan pembiayaan gender dan perubahan iklim melalui sistem penandaan anggaran (budget tagging) yang telah lama dikembangkan Kementerian Keuangan,“ jelas Febrio.

Febrio menuturkan penandaan anggaran tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi dan memantau alokasi pembiayaan program kementerian/lembaga terkait perubahan iklim dan gender. Berdasarkan hasil kajian, terdapat tiga kementerian yang memiliki output dengan tema gabungan perubahan iklim dan gender, yaitu Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (KESDM), Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun anggaran 2017-2018.

Pada rangkaian kegiatan tersebut, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Adi Budiarso, menyampaikan bahwa  penganggaran perubahan iklim yang responsif gender merupakan kesempatan besar untuk mengembangkan pemberdayaan perempuan Indonesia dengan mengarusutamakan gender untuk berbagai program kementerian/lembaga tentunya dengan sinergi dan kolaborasi antar lembaga untuk Indonesia yang maju, adil dan bermartabat.

“Aksi perubahan iklim dan kesetaraan gender merupakan 2 (dua) dari 17 tujuan dalam SDGs dan pemerintah telah memiliki komitmen tinggi memastikan pembiayaan bagi keduanya melalui penandaan anggaran. Pengembangan anggaran perubahan iklim yang responsif gender dapat menjadi terobosan baik dalam rangka pencapaian SDGs,” terang Kepala Unit Innovative Financing Lab UNDP Indonesia, Muhammad Didi Hardiana.

Kajian pengembangan anggaran perubahan iklim yang responsif gender tersebut, disusun dengan dukungan pemerintah Swedia dan Uni Eropa melalui program Climate Finance Network dan Poverty Environment Action for SDGs.

Pelanggaran Hak Anak, Perkawinan Anak Bukan Pilihan

Jakarta — Beberapa waktu lalu, media sosial diramaikan kontroversi seorang youtuber yang membuat video dan membagikan pengalamannya menikah dengan anak perempuan berusia 16 tahun pada tahun 2019. Saat itu revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum disahkan sehingga celah tersebut membuat youtuber itu merasa bebas untuk meromantisasi perkawinan usia anak. Hal ini menimbulkan banyak kritikan karena tindakan tersebut dianggap dapat menormalisasi praktek perkawinan usia anak.

“Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak dan berarti juga pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), karena hak anak bagian dari HAM,” tegas Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin saat membuka media briefing dengan tema “Kawin Usia Anak Bukan Pilihan” melalui video conference, Rabu (20/05).

Menurut Lenny, pembentukan konsepsi keluarga dalam perkawinan di era globalisasi mempengaruhi cara pandang anak sehingga orang dewasa di sekitar anak terutama orang tua dan keluarga perlu memberikan pemahaman yang benar kepada anak tentang konsep keluarga dan perkawinan. Usia perkawinan anak perempuan juga telah dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Kita harus secara terus menerus memberikan pemahaman kepada semua pihak, utamanya anak serta keluarga dan orang tua tentang pentingnya memahami konsepsi perkawinan yang harus dilandasi dengan nilai-nilai, dan bahwa perkawinan jangan dilihat manis-manisnya saja atau romantismenya saja, tapi banyak di balik itu yang harus dipersiapkan dan akan dialami pasca perkawinan itu sendiri. Dari data yang ada bisa dilihat dampak perkawinan anak, seperti drop-out sekolah, gangguan kesehatan pada ibu dan bayinya, dan karena tingkat pendidikan rendah maka mereka (jika terpaksa harus bekerja) berpotensi bekerja di sektor informal dengan upah rendah. Ketiga faktor tersebut (pendidikan, kesehatan dan ekonomi) akan mempengaruhi angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM); dan bahkan juga akan berpengaruh pada capaian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals,” jelas Lenny.

Menanggapi hal ini, Psikolog Allisa Wahid yang juga menjadi narasumber, menyebutkan masih ada cara pandang lama masyarakat tentang perkawinan yang akhirnya bisa melanggengkan perkawinan anak.

“Faktor yang utama itu adalah pandangan tentang anak perempuan. Artinya yang mendorong budaya, masyarakat bahkan keluarga hingga tokoh agama mendukung perkawinan anak karena anak perempuan itu dianggap tidak perlu sekolah tinggi atau cukup dengan menjadi istri. Ini yang perlu diubah,” jelas Allisa Wahid.

Menurut Allisa Wahid, dari posisi anak, alasan anak terdorong untuk melakukan perkawinan anak karena adanya informasi atau pengaruh eksternal.

“Dari sisi anak, ternyata faktornya adalah karena mereka terjebak romantisme perkawinan. Terlalu banyak menonton film yang melihat bahwa kawin itu modalnya cukup cinta. Mengapa demikian? Ya karena memang masih anak, jadi pemahaman mereka terhadap perkawinan masih belum cukup,” tambah Allisa.

Menanggapi persoalan ini, Ketua KPAI Susanto menyatakan bahwa viralisasi pemberitaan, akan berpotensi mendekatkan anak dengan informasi perkawinan dan rentan mempengaruhi cara berfikir serta perilaku anak.

“Pencegahan perkawinan anak berbasis komunitas perlu dikembangkan agar anak teredukasi akan pentingnya kematangan dalam melangsungkan perkawinan,” ujar Ketua KPAI, Susanto.

Pandangan tersebut juga dikuatkan oleh Ketua Forum Anak Nasional Tristania Faisa, “Kami yang menjadi peer grup berperan besar melakukan perubahan cara pandang teman-teman kami agar tidak menikah di usia anak karena dampaknya yang merugikan dan melanggar hak anak. Kami juga berperan sebagai Pelopor dan Pelapor (2P) untuk mendukung pencegahan perkawinan anak,” ujar Tristania.

 

Di sisi lain, dari perspektif media, Peneliti Media Roy Thaniago menuturkan jika konten di youtube dan media massa sering membingkai perkawinan anak dalam cerita romantis dan unik sehingga seolah dianggap normal dan bukan suatu masalah.

Lenny mengingatkan agar seluruh pihak mendukung upaya untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang lebih penting adalah bagaimana di tingkat pelaksanaannya. Pelibatan seluruh agen perubahan di era global saat ini sangat diperlukan, karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Partisipasi dan peran anak, keluarga, lembaga pendidikan, lembaga masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dunia usaha, media, serta pihak-pihak lain perlu bersinergi dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

“Anak itu adalah peniru ulung. Apapun yang dilakukan oleh orang dewasa, anak itu meniru dengan mudah. Nah, bagaimana agen-agen perubahan di era global dan digital saat ini bisa kita buat lebih produktif dan kreatif dalam keikutsertaannya mencegah perkawinan anak. Menghentikan perkawinan anak adalah tanggung jawab semua pihak. Dibutuhkan sinergi bersama seluruh pemangku kepentingan hingga ke tingkat akar rumput untuk mewujudkannya,” tambah Lenny.

Dalam dialog tersebut,  jurnalis Sonya Hellen Sinombor sebagai moderator, dihadiri oleh awak media, serta Pemda dan Forum Anak dari berbagai daerah, aktivis perempuan dan anak, organisasi masyarakat, serta masyarakat umum.

Pada akhir sesi, Lenny juga menyampaikan pesan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, bahwa kita perlu menjadi manusia kreatif dan adaptif yang mampu menghadapi tantangan dalam memanfaatkan teknologi untuk membangun kepercayaan, kerja sama, serta sinergi bersama menuju Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045. (mediadanpublikasikemenpppa)

Sharing Online Layanan Konseling Sejiwa

Samarinda — Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim dan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Kaltim melakukan sharing online Layanan Konseling Sehat Jiwa (Sejiwa) bersama Ketua Himpsi Kaltim, Ketua Satgas Sejiwa Kaltim dan Direktur RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda, Senin (18/5/2020).

Kepala DKP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan Kelompok Rentan Terdampak (KRT) penyebaran Covid-19 yaitu bayi, anak-anak, ibu hamil/menyusui, penyandang disabilitas dan  lanjut usia.

“KRT ini sangat merasakan dampaknya dari sisi ekonomi, sosial dan psikologis. Ditambah lagi pada masa recovery dampak lanjutannya masih berlangsung. Oleh karena itu, dampak psikologis ini juga sangat penting karena mempengaruhi jiwa seseorang. Kemudian untuk mengantisipasi ini semua, Kemen PPPA menginisiasi Gerakan Berjarak dengan tujuan untuk memastikan kelempok rentan terdampak memperoleh akses dan perlindungan yang mengedepankan prinsip-prinsip terbaik bagi kelempok rentan,” ujarnya.

Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (Berjarak) memiliki 10 aksi yang mencakup pencegahan dan penanganan.

Selain Gerakan Berjarak, Kemen PPA juga melaunching Layanan Sejiwa yang merupakan layanan bantuan konsultasi psikologi untuk sehat dan jiwa atau Sejiwa. Diluncurkan oleh Kantor Staf Presiden (KSP), pada 29 April 2020. Layanan ini ditujukan untuk membantu menangani potensi ancaman tekanan psikologi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 dengan call center 119 ext 8.

Halda melanjutkan Survei AADC-19 oleh Forum Anak menunjukkan 99% bahwa Belajar di Rumah merupakan program yang sangat penting. 58% menyatakan perasaan tidak menyenangkan selama menjalani program Belajar di Rumah. 49% menyatakan bahwa program Belajar dari Rumah membebani anak melalui tugas yang banyak. 32% menyatakan didampingi oran gtua selama belajar dan berkegiatan di rumah. 15% menyatakan dibantu orang tua dalam menyelesaikan tugas dan 31% menyatakan bahwa orang tua memberikan alternatif kegiatan lain untuk mengusir kejenuhan.

Ia juga menuturkan semua anak adalah anak kita. Jika satu keluarga  terlindungi akan banyak keluarga terselamatkan. “Jadi kita harus jaga dulu keluarga kita untuk menyelamatkan keluarga lainnya,” terang Halda.

Sementara Ketua Satgas Sejiwa Kaltim Evi Kurniasari mengatakan, masyarakat dapat konsultasi dengan tenaga psikolog melalui hotline 119 ext. 8, yang juga merujuk kepada hotline unit pengaduan Kemen PPPA yaitu 0821-2575-1234 / 0811-1922-911 atau melalui web browser http://bit.ly/kamitetapada, dan surat elektronik (email) pengaduan@kemenpppa.go.id.

Hotline layanan Sejiwa juga terhubung dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)/P2TP2A serta Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan Forum Pengada Layanan (FPL) yang ada di seluruh provinsi dan kabupaten/kota, sesuai lokasi pelapor berada.

Evi menegaskan, selain menjaga kesehatan tubuh, sangat penting menjaga kesehatan metal. “Kenapa? Memang gangguan emosi itu tidak terlihat tetapi dapat menyebabkan penderitaan bahkan penderitaannya dapat bersifat jangka panjang. Kita perlu juga menyadari orang-orang yang memiliki kerentanan dalam kesehatan mental itu ternyata menurunkan imun tubuh,” katanya.

Sementara itu Ketua Himpsi Kaltim Nuraida Wahyu mengimbau, agar masyarakat selalu menjaga kesehatan dan menjaga jarak. “Sehingga lebih aman jika kita dirumah tetap jaga jarak dan jangan lupa jaga kesehatan jiwa kita. Salam Sejiwa!,” tegasnya.

Sedangkan Direktur RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda Padilah Mante Runa menyampaikan, imbauan PSBB, bekerja dari rumah, larangan mudik, membuat masyarakat, PDP dan OTG dapat mengalami reaksi stres akut, stress pasca trauma, gangguan penyesuaian, depresi hingga ada yang telah melakukan bunuh diri yang memerlukan dukungan psikososial dari para ahli dibidangnya.

Dukungan kesehatan jiwa dan psikososial selama pandemi Covid-19 dapat berupa peningkatan imunitas fisik, peningkatan kesehatan jiwa, pencegahan masalah kesehatan jiwa, mengurangi stress, relaksasi fisik, berfikir positif dan mempertahankan serta meningkatkan hubungan interpersonal.

Padilah menambahkan, RSJD Atma Husada Mahakam membuka hotline di nomor 08115878787 untuk menerima keluhan mental masyarakat dengan dibantu tenaga psikiater dan psikolog klinis. “Mari kita berdoa Corona berlalu tanpa bekas,” Harap Padilah. (dkp3akaltim/rdg)

 

 

 

Kemen PPPA Pastikan Hak Kepemilikian Akta Kelahiran Anak Terpenuhi di Wilayah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggelar pertemuan virtual Forum Koordinasi Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan anak di daerah terdepan, tertinggal, dan terluar (3T). Pertemuan ini digelar mengingat pemenuhan hak anak harus dilaksanakan dengan prinsip non diskriminatif yang diberikan kepada semua anak tanpa pengecualian, termasuk bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus maupun anak yang tinggal di wilayah 3T.

“Anak merupakan makhluk yang paling rentan, untuk itu hak-haknya harus dipenuhi. Salah satunya adalah hak kepemilikan akta kelahiran. Kemen PPPA telah melakukan berbagai upaya untuk mempercepat cakupan kepemilikan akta kelahiran anak, baik melalui sosialisasi, advokasi, maupun penandatanganan nota kesepahaman bersama 8 (delapan) kementerian tentang percepatan peningkatan cakupan kepemilikan akta kelahiran dalam rangka perlindungan anak, serta forum koordinasi percepatan kepemilikan akta kelahiran bagi anak,” ungkap Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Lenny N. Rosalin pada Pertemuan Forum Koordinasi tersebut yang dilakukan melalui video conference (14/05).

Lebih lanjut, Lenny menambahkan perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk pemenuhan hak identitas bagi anak yang berhadapan dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

“Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM per Desember 2019, dari total 646 anak berhadapan dengan hukum di LPKA, terdapat 349 anak yang sudah memiliki KIA. Pada tahun 2020, target pemenuhan hak kepemilikan KIA di LPKA adalah sebesar 60 persen,” tutur Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Kementerian Hukum dan HAM, Slamet Prihantara.

Pada forum pertemuan tersebut, Kasubdit Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Mas Kahono Agung Suhartoyo mengungkapkan setiap anak berhak atas identitas diri yang tertuang dalam akta kelahiran. Terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan bagi Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) dalam pemenuhan hak kepemilikan akta kelahiran bagi anak, yaitu beberapa lokasi LKSA jauh dari lokasi pelayanan akta kelahiran, kurangnya pemahaman petugas LKSA mengenai pembuatan akta kelahiran, serta implementasi kerjasama lintas sektor yang terhambat oleh birokrasi yang terlalu panjang.

“Menurut data Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS NG) Kementerian Sosial per 7 April 2020, terdapat 183.108 anak yang tinggal di LKSA. Dari jumlah tersebut, terdapat 178.890 anak yang sudah memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK),” tambah Mas Kahono.

Di samping itu, Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Samsul Widodo mengatakan bahwa salah satu hambatan dalam percepatan akta kelahiran di daerah 3T adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya akta kelahiran dan hak-hak lainnya.

“Untuk itu, harus ada cara-cara yang tidak biasa terkait kondisi daerah 3T. Perlu koordinasi dan berbagai upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, salah satunya dengan membuat Pedoman Bersama untuk Percepatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran yang ditandatangani oleh stakeholder terkait dan didistribusikan hingga ke tingkat desa. Selain itu, perlu adanya kerjasama antar lembaga dan pemanfaatan sumber daya yang ada secara maksimal. Relawan desa merupakan salah satu sumber daya yang dapat dilibatkan dalam mempercepat kepemilikan akta kelahiran,” ungkap Samsul.

Asdep Infrastruktur, Ekonomi, dan Kesejahteraan Rakyat Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Heru Tjahyono menuturkan perlu pendekatan khusus untuk mempercepat pemenuhan hak sipil anak di wilayah perbatasan.

“Ada beberapa hal yang menjadi kendala pemenuhan kepemilikan akta kelahiran bagi anak di wilayah perbatasan, yaitu  masih banyak masyarakat yang belum peduli akan pentingnya akta kelahiran, kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi SPTJM, adanya pernikahan adat yang tidak tercatat secara sah menurut hukum negara, sulitnya akses transportasi menuju lokasi pelayanan, serta pelayanan daring yang belum dapat dijangkau karena jaringan internet masih minim,” terang Heru.

Sedangkan Direktur Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Andi Kriarmoni meyampaikan bahwa saat ini sudah ada regulasi yang sangat baik terkait pemenuhan hak kepemilikan akta kelahiran. Hanya saja, secara implementasi masih memerlukan penyempurnaan dan membutuhkan kerjasama lintas sektor. “Kementerian Dalam Negeri terus berupaya melakukan inovasi untuk mepermudah masyarakat dalam membuat akta kelahiran anak, di antaranya melalui layanan jemput bola, pembuatan SPTJM, pelayanan daring, dan cetak dokumen administrasi kependudukan secara mandiri,” ujar Andi.

Pertemuan yang dihadiri 75 peserta dari perwakilan Kementerian/Lembaga, lembaga masyarakat, Forum Anak, dan stakeholder ini, memiliki tindak lanjut yaitu menyusun nota kesepahaman percepatan kepemilikan akta kelahiran bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dan anak-anak di daerah 3T yang melibatkan kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat terkait.