Perempuan Rentan Menjadi Korban KBGO

Samarinda — Sekretaris Dinas Kependudukan, pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Eka Wahyuni membuka Webinar Dengan Tema “Perempuan Aman Internetan : #Kenali Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)” yang diinisiasi Rumah Bekesah Samarinda, Minggu (31/1/2021).

Eka mengatakan walaupun KBGO dapat terjadi pada siapa saja, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban.

Berdasarkan aduan yang masuk kepada Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang Maret-Juni 2020 mencapai 169 kasus. Hal ini meningkat nyaris 400 persen jika dibandingkan pada 2019 (45 kasus).

Sementara berdasarkan Sistem Infomasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2018 sebanyak 500 kasus, tahun 2019 sebanyak 629 kasus dan tahun 2020 sebanyak 566 kasus.

“Terjadi penurunan kasus dari tahun 2019 ke tahun 2020 sebesar 63 kasus. Sementara untuk total korban kekerasan tahun 2020 adalah 610 korban yang terdiri dari 347 korban anak (57%) dan 263 korban dewasa (43%),” ujar Eka.

Eka melanjutkan, jika dilihat berdasarkan bentuk dan jenisnya, ada beberapa macam aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai KBGO, antara lain, pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, Perusakan reputasi/kredibilitas, pelecehan, ancaman dan kekerasan langsung, serta serangan yang ditargetkan ke komunitas tertentu.

Selain itu, masing-masing korban atau penyintas KBGO mengalami dampak yang berbeda-beda seperti kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, mobilitas terbatas, dan sensor diri terjadi karena hilangnya kepercayaan diri terhadap keamanan dalam menggunakan teknologi digital.

“Upaya menyelamatkan diri dari KBGO dapat dilakukan dengan dokumentasikan hal-hal yang terjadi, hubungi pusat bantuan, lapor dan blokir pelaku serta mari kita gunakan internet secara bijak,” imbuhnya.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, diantaranya menginisiasi Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (BERJARAK) untuk memastikan terpenuhinya hak-hak dasar perempuan dan anak dalam situasi pandemi Covid-19.

“Selain itu mempublikasikan protokol dan pedoman perlindungan perempuan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan selama pandemi Covid-19, menghimpun data kekerasan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), dan layanan konsultasi gratis pada Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Ruhui Rahayu Kaltim,” terang Eka.

Hadir menjadi narasumber pada kegiatan ini Co-Founder Rumah Bekesah Nurul Fatimah Khasbullah, perwakilan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Ellen Kusuma, dan Penulis dan Penggiat Isu Gender Kalis Mardiasih. (dkp3akaltim/rdg)

Kemen PPPA dan BPS Bahas Persiapan SPHPN, SNPHAR dan IPA Tahun 2021

Jakarta — Upaya dan perencanaan yang berkualitas untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta meningkatkan capaian pembangunan perlindungan anak membutuhkan ketersediaan data dan informasi statistik yang berkualitas pula. Oleh karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan Persiapan Pelaksanaan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) dan Pengembangan Indeks Perlindungan Anak (IPA) Tahun 2021 secara virtual, Jumat (29/1/2021).

“Memang tidak mudah mendapatkan data kekerasan yang secara representatif bisa menggambarkan kasus kekerasan yang terjadi. Ada banyak kendala yang kita hadapi, antara lain budaya yang menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah aib. Masih ada istri yang menganggap Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah hal yang biasa, sehingga ia enggan melapor,” terang Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu.

Pribudiarta melanjutkan untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kemen PPPA melakukan beberapa upaya. Pertama, menyediakan aplikasi SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak). SIMFONI PPA adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) untuk memfasilitasi pengintegrasian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Data SIMFONI PPA juga rencananya akan dikembangkan agar tidak hanya menggambarkan data kekerasan, namun juga dapat menggambarkan pengelolaan dan manajemen kasusnya, sehingga kita dapat mengetahui kondisi korban.

Kedua, melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Kekerasan terhadap perempuan memang merupakan isu sensitif yang sulit diperoleh datanya. Oleh karenanya, kuesioner yang digunakan dalam survei ini sudah menggunakan standar internasional dengan mengadopsi kuesioner World Health Organization (WHO) “Women’s Health and Life Experiences”, yang didesain khusus untuk menggali informasi kekerasan terhadap perempuan. Sebelumnya, SPHPN 2016 sudah dianggap berhasil dengan respon rate mencapai 8.757 rumah tangga dari 9.000 rumah tangga sampel atau sekitar 97,3 persen.

Ketiga, melakukan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) pada tahun 2018. Selain itu, pada 2019 BPS dan Kemen PPPA juga sudah mengembangkan indikator yang dapat menunjukkan capaian pembangunan perlindungan anak melalui Indeks Perlindungan Anak (IPA). Pribudiarta berharap ketersediaan data terkait IPA dapat ditindaklanjut hingga tingkat kabupaten/kota.

Pribudiarta mengapresiasi upaya BPS yang turut menyukseskan SPHPN, SNPHAR, dan IPA Tahun 2021 dan berharap BPS tetap menjalankan fungsi pembinaan dan fasilitasi terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang kegiatan statistik.

“Prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta IPA telah menjadi indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang harus kita evaluasi capaiannya, agar dapat mengukur keberhasilan dalam menurunkan angka kekerasan dan meningkatkan capaian pembangunan perlindungan anak,” terang Pribudiarta.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono mengatakan dalam pelaksanaan survei SPHPN yang telah dilakukan sebelumnya terdapat beberapa tantangan. Hal tersebut diantaranya terkait penolakan dalam rumah tangga untuk diwawancara, responden merasa takut untuk menceritakan kasusnya, selain itu responden merasa sensitif membicarakan kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangganya. Ateng mengatakan beberapa jenis pertanyaan pada survei SPHPN memang sangat sensitif karena menggali kekerasan seksual, emosional atau psikologi, fisik, dan ekonomi.

“Berdasarkan pengalaman tersebut ada beberapa hal yang kami lakukan dan kami terapkan pada Sensus Penduduk 2020. Pertama, petugas wawancara merupakan mitra kami yang memiliki pemahaman terhadap materi dan memiliki pengalaman saat menghadapi kasus di lapangan, sehingga mereka memiliki strategi untuk mewawancarai responden. Salah satu petugas wawancara juga dikenal oleh masyarakat sekitar serta memahami medan lapangan. Wawancara juga dilakukan secara tertutup dan kerahasiaannya terjaga. Kedua, melakukan pelatihan agar petugas wawancara dapat melakukan mitigasi terhadap gangguan selama wawancara. Ternyata, ketika di lapangan terdapat keadaan yang memaksa petugas wawancara untuk menghentikan proses wawancaranya, baik dari sisi responden maupun dari pihak lain. Ketiga, terkait keselamatan petugas kami mengusahakan agar dalam satu hari mereka berada dalam satu lokasi atau blok sensus. Selain itu, adanya koordinasi yang baik dalam satu tim survei,” tutur Ateng.

 

DKP3A Kaltim Apresiasi Unit PPA Polresta Samarinda Ungkap Prostitusi Online

Samarinda — Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim memberikan apresiasi atas pencapaian Unit PPA Polresta Samarinda yang telah berhasil mengungkap kasus prostitusi online dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Penyerahan Sertifikat Penghargaan oleh Plt Kepala DKP3A Kaltim Zaina Yurda melalui Kabid PPPA Noer Adenany dan diterima oleh Kanit PPA Polresta Samarinda Iptu Teguh Wibowo

Plt Kepala DKP3A Kaltim Zaina Yurda mengatakan, pemberian apresiasi ini berupa sertifikat penghargaan sebagai pemacu semangat Unit PPA Polresta Samarinda untuk terus mengungkap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim.

“Kami berharap kedepan Unit PPA Polresta Samarinda dapat terus bersinergi dengan instansi terkait di kabupaten/kota terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.

Dinas KP3A Kaltim juga menerima aduan masyarakat terkait kekerasan melalui satgas PPA dan melakukan sosialisasi serta advokasi kepada masyarakat .

Sementara Kabid PPPA Noer Adenany mengatakan, prostitusi online ini dilkakukan melalui aplikasi pesan singkat michat. Pelaku prostitusi online ini berjumlah 4 orang dan korbannya sebanyak 2 orang perempuan berusia 15 tahun dan 16 tahun.

“Jadi prostitusi online yang berhasil diungkap jajaran Unit PPA Polresta Samarinda pada akhir Oktober tahun lalu ini berlangsung di Samarinda dan Balikpapan,” ujar Dany.

Selanjutnya para pelaku dijerat dengan dua pasal yakni persetubuhan anak di bawah umutr pasal 81 ayat 3 UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pasal 2 ayat 1  UU RI No. 21 Tahun 2007 Tentang TPPO, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. (dkp3akaltim/rdg)

Pengasuhan Anak Saat Kondisi Bencana

Samarinda — Bencana yang melanda Indonesia baru-baru ini telah menimbulkan berbagai dampak terhadap perempuan dan anak. Mengingat perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling terdampak dan rentan mengalami kekerasan juga eksploitasi dalam situasi bencana. Keluarga sebagai unit pendidikan pertama dan utama bagi anak, berperan sangat penting dalam membentuk karakter dan kebiasaan anak.

Kasi Tumbuh Kembang Anak Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Siti Mahmudah I K mengatakan, ada beberapa tips pengasuhan anak saat dalam kondisi bencana.

“Pertama utamakan keselamatan diri dan keluarga, pastikan keluarga bisa mendapatkan tempat aman dan cukup makanan dan pakaian,” ujarnya.

Perempuan yang akrab disapa Nia ini juga mengatakan, mari ajak anggota keluarga untuk tetap menjaga iman dan taqwa serta mensyukuri setiap kondisi yang dialami agar kesehatan mental tetap terjaga walau hidup berdampingan dengan bermacam-macam orang dipengungsian,

Selain itu, menjaga anak/anggota keluarga kita ketika melakukan aktivitas MCK ditempat umum, dan kontrol semua anggota keluarga saat menjelang waktu istirahat malam. “Misalnya dengan membuat satu area untuk satu keluarga jika berada dipengungsian,” imbuh Nia.

Ia melanjutkan, aktif berkomunikasi dengan Koordinator Lapangan pengungsian untuk mendapatkan informasi terbaru tentang bantuan maupun pantauan kesehatan dari tim. “Pemeriksaan kesehatan harus rutin dilakukan karena kita berbaur dengan banyak orang di pengungsian,” terang Nia.

Terakhir, Nia berharap setiap keluarga dapat tertib dan disiplin mengikuti prosedur yang diterapkan oleh korlap untuk menghindari keributan.

Pentingnya pengasuhan anak juga harus diimbangi dengan memberikan perlindungan khusus dan pemenuhan hak anak berupa kebutuhan spesifik di daerah bencana. Sedangkan untuk upaya penanganan saat pasca bencana yaitu memberikan pendampingan dan pemulihan bagi anak korban. Berbagai upaya percepatan perlindungan dan pemenuhan hak anak dalam situasi bencana tersebut tentunya dilakukan dengan berkolaborasi dengan berbagai pihak. (dkp3akaltim/rdg)

 

Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tinggi, Presiden tetapkan PP Nomor 70 tahun 2020 tentang Kebiri Kimia

Jakarta — Kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan serius yang mengingkari hak asasi anak, menimbulkan trauma bagi korban dan keluarga, menghancurkan masa depan anak serta mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat. Berdasarkan Laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 5.640 kasus.

Pemerintah terus mengupayakan agar anak-anak di Indonesia terlindungi dari setiap tindak kekerasan dan eksploitasi melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (PP Kebiri Kimia) oleh Presiden RI Joko Widodo diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul.

Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia karena para pelakunya telah merusak masa depan bangsa Indonesia.

“Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan. PP Nomor 70 atau PP Kebiri Kimia ini merupakan peraturan pelaksanaan dari amanat Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” tegas Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Nahar, Senin (4/1/2020).

Dalam PP Kebiri Kimia, pelaku kekerasan seksual terhadap anak terdiri dari pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Tindakan kebiri kimia yang disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sementara itu, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan pengumuman identitas pelaku diberikan baik kepada pelaku persetubuhan maupun pelaku perbuatan cabul.

Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia.

“Selain itu, pelaku tidak semata-mata disuntikkan kebiri kimia, namun harus disertai rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan. Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku yang dikenakan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik,” ujar Nahar.

Lebih lanjut Nahar menjelaskan bahwa tindakan kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku persetubuhan yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Tindakan kebiri kimia dikenakan apabila pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 1 orang korban, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan korban meninggal dunia.

Nahar juga menambahkan bahwa pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah Jaksa. Terhadap pelaku akan dikenakan pemasangan alat pendeteksi elektronik agar tidak melarikan diri dan pengumuman identitas selama 1 bulan kalender melalui papan pengumuman, laman resmi kejaksaan, media cetak, media elektronik dan/atau media sosial yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kemen PPPA.

Pendidikan Anak

Samarinda — Era keterbukaan informasi didukung kemajuan teknologi modern membuat segalanya mudah, ternyata bisa menjadi ancaman bagi rendahnya pemahaman dan keyakinan (aqidah) anak-anak dalam agama Islam, termasuk kecintaan kepada tokoh-tokoh Islam bahkan Nabi Muhammad SAW.

“Apa yang sudah kita berikan kepada mereka (anak-anak),” kata Wakil Gubernur Kaltim H Hadi Mulyadi saat menyampaikan inspirasi pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) ke-13 Wahdah Islamiyah Tahun 2020, Jumat 25 Desember 2020.

Menurut mantan legislator Karang Paci dan Senayan ini, selayaknya para orang tua terlebih pengajar (guru/dosen) melakukan pendekatan dengan memberikan mereka (anak-anak) nilai-nilai agama dan figur-figur ketokohan Islam.

Namun, lanjutnya, terlebih utama bagaimana memetakan (mengetahui dan memahami) pengetahuan dan pikiran anak-anak tersebut.
Sebab, ujarnya tidak bisa memaksakan idola (tokoh/figur) yang sudah menjadi idola orang tua, guru atau pun dosen. Sebelum melihat atau memetakan pikiran mereka.

“Kalau kita sudah memetakan sejauh mana pemikiran mereka, maka mudah melakukan pendekatan,” bebernya.
Hadi mengungkapkan ketika dirinya menjadi guru juga dosen. Dia tidak berorientasi pada satu figur atau satu nama untuk mengenalkan islam dengan baik kepada anak-anak didiknya.

Apabila, para orang tua dan pengajar sudah memberikan nilai-nilai Islam yang baik, maka akan menumbuhkan rasa cinta kepada Allah, Rasulullah, agama dan tokoh-tokoh Islam.

“Kalau mereka memahami Islam dengan baik, maka otomatis kecintaan mereka kepada Rasulullah, kepada para sahabat dan tokoh-tokoh Islam tidak perlu dipaksakan lagi,” jelasnya.

Hal ini diakui Hadi, sama ketika dulu mendapatkan tarbiyah (pendidikan) Islam oleh orang tua, guru juga dosen.
“Intinya, bimbingan harus selaras antara ide, idola dan pemahaman Islamnya,” ungkapnya.

Ditegaskannya, selama pemahaman Islamnya baik, maka kecintaan anak-anak terhadap Islam (Allah, Rasul dan tokoh Islam) juga baik.(humasprovkaltim)

Cegah Perkawinan Anak, Lakukan Rekayasa Budaya Segera!

Jakarta — Perkawinan anak masih menjadi tantangan serius yang harus dihadapi bangsa ini. Beberapa wilayah di Indonesia masih tinggi praktik perkawinan anak, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19 yang menjadikan anak rentan dikawinkan di usia yang masih belia. Kentalnya asumsi keliru dalam budaya masyarakat yang menganggap perkawinan merupakan jalan keluar dari berbagai permasalahan. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan budaya melalui rekayasa budaya (Cultural Engineering) yang harus dilakukan segera dalam mencegah perkawinan anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Periode 2004-2009, Meutia Hatta sekaligus Pembina Yayasan Mitra Daya Setara (MDS) mengungkapkan dibalik berbagai upaya pemerintah dalam meningkatkan program pemberdayaan perempuan, perkawinan anak masih menjadi tantangan besar yang dihadapi bangsa ini.

Hal ini diperkuat dengan hasil data statistik UNICEF dan PUSKAPA bekerjasama dengan BAPPENAS dan BPS yang menunjukkan dalam kurun waktu 10 tahun (2008-2018), penurunan angka perkawinan anak di Indonesia tergolong rendah yaitu 3,5% dan penyebaran kasusnya terjadi di banyak provinsi. Jumlah anak perempuan yang mengenyam pendidikan selama sembilan tahun di sekolah pun masih di  bawah 10%, angka ini jauh dari harapan di tingkat nasional.

“Faktor budaya menjadi hal yang harus dikaji lebih dalam untuk memastikan upaya penanganan tingginya prevalensi perkawinan anak di berbagai wilayah Indonesia telah dilakukan.  Itulah sebabnya rekayasa budaya saat ini, merupakan tuntutan yang harus dilakukan segera dan tidak bisa ditunda lagi, dengan menanamkan pola pikir baru, yaitu membangun semangat, inisiatif dan kreativitas berkarya kepada anak perempuan dan orangtuanya sebagai bekal hidup sebelum menikah. Rekayasa budaya harus diawali dari sini, dan selanjutnya harus menjadi bagian dari pembangunan karakter bangsa Indonesia,  serta pembangunan kebudayaan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menghasilkan manusia Indonesia yang unggul,” tegas Meutia dalam Webinar ‘Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak’ yang diselenggarakan sebagai rangkaian Peringatan Hari Ibu (PHI) Ke-92 Tahun 2020 yang mengangkat tema ‘Perempuan Berdaya, Indonesia Maju’, Senin (14/12/2020)

 

Meutia menambahkan bahwa rekayasa budaya memerlukan proses panjang yang kontinyu, harus dipantau dan dievaluasi secara berkala.

“Sejumlah kementerian terkait di bawah Kemenko PMK, perlu menyusun program-program yang serius dan saling melengkapi untuk menangani perkawinan anak, berkaitan dengan tujuan pembangunan karakter bangsa secara serius dan terfokus, demi peningkatan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Khusus bagi kaum perempuan Indonesia saat ini, mencegah perkawinan anak adalah bagian dari upaya peningkatan kualitas hidupnya agar setara dan saling melengkapi dengan laki-laki dalam membangun Indonesia yang memiliki berbagai tantangan baru dari zamannya, kini dan di masa depan,” jelas Meutia.

Sementara, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menjelaskan bahwa praktik perkawinan anak seringkali dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat karena dianggap solusi dan membawa kebaikan bagi perempuan di kehidupannya.

“Padahal perkawinan anak merupakan masalah sosial yang masif dan memasuki tahap darurat. Semua tradisi, adat, dan budaya memang memiliki makna dan maksud yang baik. Namun, dengan perkembangan yang ada, baik secara sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan, kita harus menyesuaikan pola hidup, pola perilaku, dan pola pikir dengan perkembangan zaman, tentunya dengan tidak meninggalkan kebaikan dan makna dari tradisi tersebut. Dengan begitu, identitas kita akan tetap terjaga dan tidak melanggar moralitas. Berbagai konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak dalam bentuk apapun harus dihapuskan,” ungkap Menteri Bintang.

Pada 2019, terdapat 22 Provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka nasional (Data BPS, 2019). Bahkan UNFPA telah memprediksi, bahwa sekitar 13 juta perkawinan anak akan terjadi pada 2020 – 2030 akibat pandemi Covid-19.

“Hal ini patut menjadi perhatian dan harus kita waspadai, mengingat perkawinan anak menimbulkan berbagai dampak dan risiko tinggi bagi kehidupan anak yang menjalani perkawinan tersebut karena belum cukupnya kesiapan fisik, kesiapan mental untuk bertindak dan bertanggung jawab sebagai orang tua, meningkatkan risiko putus sekolah, meningkatkan angka pekerja anak, hingga menimbulkan terjadinya kemiskinan lintas generasi,” ungkap Menteri Bintang.

Berdasarkan Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, pada Januari hingga Juni 2020 terdapat 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan. Dari 97% permohonan yang dikabulkan, 60% di antaranya diajukan oleh anak. Merespon hal ini, Menteri Bintang menekankan perlunya pengetatan syarat dan prosedur pemberian dispensasi perkawinan.

“Marilah bersama-sama kita bersinergi dan melakukan kerja nyata dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak, pengarusutamaan gender, dan pemenuhan hak perempuan. Demi terwujudnya Perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” ujar Menteri Bintang.

Webinar ‘Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak’ ini di selenggarakan Kemen PPPA bersama Yayasan Mitra Daya Setara dimoderatori oleh Dosen FISIP Universitas Airlangga, Pinky Saptandari dan dihadiri 500 orang peserta yang terdiri dari organisasi, institusi, dan akademisi dari seluruh wilayah Indonesia. Yayasan Mitra Daya Setara merupakan lembaga yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan, sekaligus wadah bagi para pensiunan Kemen PPPA yang diinisiasi oleh Menteri PPPA Periode 2014-2019, Linda Amalia Sari Gumelar pada 26 Februari 2019. Yayasan MDS memiliki visi yaitu mewujudkan lembaga yang berperan aktif, kreatif dan inovatif dalam menyelenggarakan pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, pemenuhan hak anak, dan perlindungan anak. Selain itu, memiliki misi di antaranya yaitu melakukan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan pemberdayaan masyarakat; menyelenggarakan KIE; dan melakukan pemberdayaan SDM dari Yayasan.

UPTD PPA Optimis Manfaatkan Peluang Demi Wujudkan Perlindungan Perempuan dan Anak

Jakarta — Menyongsong 2021 para pengelola Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) optimis dapat mewujudkan perlindungan bagi perempuan dan anak. Berkat perjuangan para pengelola UPTD PPA disertai komitmen pemerintah pusat dan daerah, hingga saat ini UPTD PPA telah terbentuk di 29 provinsi dan 94 kab/kota.

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan semua telah mendapatkan hak atas pendidikan, layanan kesehatan, dan mendapatkan pekerjaan. Namun, jika mengalami kekerasan, maka semua itu jadi tidak ada artinya.

“Inilah yang menjadi poin penting dari apa yang kita lakukan selama ini. Kita harus memastikan kualitas hidup manusia, khususnya perempuan dan anak Indonesia bisa terjamin. Para pengelola UPTD PPA adalah pejuang HAM. Tidak ada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak dapat terselesaikan. Bagi kita tidak ada istilah menolak kasus. UPTD PPA adalah pondasi awal sejarah negara yang memiliki institusi yang memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak,” ujarnya pada Pembukaan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Peluang dan Tantangan dalam Penyelenggaraan UPTD PPA secara online dan offline.

Pribudiarta juga memberikan apresiasi bagi 10 (sepuluh) provinsi yang telah membentuk kabupaten/kota terbanyak, antara lain Lampung, Riau, DI Yogyakarta, Banten, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Selatan.

Demi melaksanakan perlindungan dan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, pemerintahan provinsi dan kab/kota diharapkan membentuk UPTD PPA sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 dan 41 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Hal ini diperkuat oleh Presiden Joko Widodo melalui Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) pada 9 Januari 2020 lalu yang mengamanahkan Kemen PPPA dengan menambah fungsi penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Pribudiarta yakin ada banyak pengalaman hebat dari UPTD PPA dalam melakukan penanganan kasus kekerasan dari banyak keterbatasan yang ada, baik dari sisi keterbatasan anggaran, infrastruktur, dan SDM.

Direktur Fasilitasi Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Cheka Virgowansyah menyampaikan meskipun pemerintah baik pusat dan daerah saat ini sedang dalam tantangan penyederhanaan birokrasi, Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Edaran Mendagri Nomor 060/1416/OTDA dan Nomor 060/1417/OTDA tanggal 10 Maret 2020 kepada para kepala daerah tentang Pembentukan UPTD PPA. Surat tersebut sudah sangat kuat untuk dijadikan dasar pembentukan UPTD PPA oleh pemerintah daerah.

Kasubdit Wilayah II Dit. Fasilitasi Kelembagaan & Kepegawaian Perangkat Daerah Kementerian Dalam Negeri, Rozi Beni juga menyampaikan setiap program dan kegiatan harus berbasis urusan. Hal ini perlu dijaga agar akuntabel dalam hal administrasi program, kegiatan, hingga penggunaan keuangannya. Apalagi dengan adanya Permendagri Nomor 90 tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah yang merapikan kodifikasi harus berbasis urusan. Sedangkan terkait keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) di UPTD PPA, khususnya tenaga profesi seperti psikolog klinis dan pekerja sosial, Rozi Beni menyampaikan agar Dinas PPPA mengalokasikan belanja jasa yang berbasis kegiatan ketimbang honorer.

Panduan Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Selama Pandemi Diluncurkan

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan UNFPA Indonesia, dan UN Women meluncurkan Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) Dalam Situasi Pandemi (9/10/2020).

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga mengatakan, pihaknya menyadari bahwa isu kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu yang kompleks dan multisektoral, sehingga pencegahan dan penanganannya pun harus melibatkan seluruh sektor pembangunan melalui panduan yang jelas. Apalagi dalam situasi pandemi yang serba tidak menentu ini.

“Rumah seharusnya menjadi tempat teraman. Namun, ketika terjadi kekerasan dan korban berada dalam satu rumah dengan pelaku, maka akan menjadi lebih sulit bagi korban untuk menyelamatkan diri maupun meminta pertolongan. Selain itu, berbagai stigma, ketakutan, dan sulitnya akses terhadap layanan membuat korban enggan atau sulit melaporkan kekerasan yang menimpa dirinya,” ungkap Menteri Bintang.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), selama masa pandemi Covid-19 per 29 Februari hingga 27 November 2020, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa sebanyak 4.477 kasus dengan 4.520 korban. Mayoritas korban kekerasan terhadap perempuan dewasa adalah korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yaitu sebesar 59,82 persen.

Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan KBG dalam Situasi Pandemi menjadi panduan lintas kementerian/lembaga, organisasi pemerintah daerah, serta penyelenggara program dan layanan terkait dengan perempuan agar bisa memastikan hal-hal berikut: Pencegahan dan penanganan perempuan dari stigma, diskriminasi, dan KBG akibat pandemi; Pemenuhan hak (kebenaran, keadilan, keamanan dan pemulihan, baik medis maupun psikososial, serta pemberdayaan ekonomi) penyintas KBG dalam situasi pandemi; Pencegahan atau mengurangi keterpisahan perempuan dengan anak atau pengasuhnya di situasi pandemi; dan pendokumentasian, rujukan, dan pemantauan kasus-kasus terkait diskriminasi dan kekerasan pada perempuan.

“KBG perlu dilawan, bukan hanya untuk kepentingan perempuan saja, melainkan demi kemanusiaan.  Dengan melakukan upaya pencegahan dan penanganan KBG, kita telah menyelamatkan jiwa, nyawa, dan harapan para penyintas. Setiap orang, memiliki hak untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” tutup Menteri Bintang.

Gandeng Komunitas Jurnalis Kawan Anak Penuhi Hak Anak

Jakarta — Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menggelar workshop melibatkan Komunitas Jurnalis Kawan Anak (Jurkawan) membahas urgensi pemberitaan ramah anak, Senin, (7/12/2020). Setidaknya 105 peserta terlibat dalam workshop daring ini, yang terdiri dari kalangan jurnalis media cetak, elektronik, dan media online.

Workhop ditekankan pada upaya menguatkan peran media agar mengedepankan perlindungan anak meliputi pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak dalam setiap produk jurnalistik yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/II/2019  tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Termasuk ditegaskan pada poin ke-5 Kode Etik Jurnalisme yakni “Wartawan Indonesia Tidak Menyebutkan dan Menyiarkan Identitas Korban Kejahatan Susila, dan Tidak Menyebutkan Identitas Anak yang Menjadi Pelaku Kejahatan”.

Demikian juga dengan amanah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan kehadiran regulasi tersebut, diharapkan insan pers benar-benar menaati rambu-rambu penulisan terkait dengan berita anak. Pada akhirnya, diharapkan kalangan media bisa mewujudkan pemberitaan yang ramah anak.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Lenny N Rosalin mengatakan bahwa perlindungan anak semakin penting, mengingat saat ini terdapat 79,5 juta anak di Indonesia. Jumlah ini setara dengan 30,1 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah ini, 42,35 juta (53 persen) anak berada di Pulau Jawa dan 37,2 juta anak di luar Pulau Jawa.

Dengan demikian, insan pers bisa bersinergi dengan pemerintah dalam upaya mewujudkan pemberitaan yang ramah anak, sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia Layak Anak atau IDOLA yang diupayakan dapat diwujudkan pada tahun 2030. Apalagi, media merupakan satu dari empat pilar pembangunan anak selain masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Dijelaskan Lenny, hak-hak anak harus dilindungi dengan memperhatikan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup, tumbuh dan berkembang, serta adanya partisipasi anak. Meskipun menurutnya, tanggung jawab atas perlindungan anak menjadi kewajiban semua pihak, namun keberadaan media sangat penting, mengingat terbukanya keran informasi yang dengan mudah diakses anak saat ini.

Sementara itu, Asdep Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari mengungkapkan bahwa media juga perlu berkontribusi dalam membangun paradigma masyarakat terkait pentingnya pola pengasuhan keluarga yang mengedepankan hak anak, termasuk menghentikan perkawinan anak.

Harapan juga disampaikan Asdep Hak Sipil dan Partisipasi KemenPPP, Lies Rosdianti yang meminta pentingnya Pusat Informasi Anak Sahabat (PISA), untuk menyusun bahan-bahan edukasi pemenuhan hak anak. Yakni pusat informasi yang fokus pada penyediaan informasi terintegrasi yang dibutuhkan anak dengan pendekatan pelayanan ramah anak. PISA ini merupakan integrasi dari tempat penyediaan informasi anak, tempat bermain, tempat peningkatan kreativitas, tempat konsultasi, dan sebagainya. “Anak adalah penerus bangsa yang akan meggantikan generasi tua, maka harus dilindungi dari berbagai macam informasi yang dapat merusak perkembangan anak,” jelasnya.