DKP3A Kaltim Ajak Forum Komunikasi Puspa Sinergi Urusan Bidang PPPA

Samarinda — Sesuai dengan amanat UU Nomor 23  Tahun 2014, ada enam urusan / kewenangan yang harus dilakukan oleh daerah dalam hal urusan PPPA. Perempuan dan anak adalah isu lintas sektor dan lintas bidang yang sangat strategis.

Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak setiap tahun cenderung meningkat dan masalah yang ada masih difokuskan pada aspek penanganan, sedangkan aspek pencegahan belum diprioritaskan.

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, pada kegiatan Bimtek Pengarusutamaan Gender (PUG) Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) Bagi Anggota Forum Komunikasi Puspa Kabupaten/Kota Se Kaltim, berlangsung di Hotel Grand Victoria, Selasa malam (24/9/2019).

“Menghadapi permasalahan yang begitu kompleks Dinas PPPA provinsi dan kabupaten/kota tidak dapat menangani dan menyelesaikan persoalan  perempuan dan anak sendirian, dan karenanya perlu bekerjasama/bersinergi dengan berbagai pihak, kolaborasi dengan seluruh  komponen masyarakat,” ujarnya.

Oleh sebab itu, pihaknya mengajak anggota Forum Komunikasi Puspa untuk bersinergi dalam penyelenggaraan  urusan bidang PPPA dengan menerapkan prinsip sinergi yaitu ikhlas, transparan, semuanya penting, tidak saling menyalahkan, dan mau berbagi.

Forum Puspa adalah salah satu forum partisipasi lembaga masyarakat yang secara formal dimaksudkan untuk memantapkan sinergi dan koordinasi, mendiskusikan dan menjabarkan serta ikut bersama pemerintah mempercepat pembangunan PPPA.

Halda melanjutkan, banyak lembaga organisasi masyarakat dengan beragam kemampuan, keahlian dan pengalaman yang melakukan sesuatu untuk perempuan dan anak. Hasil yang diperoleh akan lebih signifikan manakala terjalin sinergi dan kolaborasi baik antara pemerintah, pemda, LM, dunia usaha, media dan akademisi.

“Harapan kami, kegiatan ini dapat memberikan pemahaman yang sama bagi anggota Forum Komunikasi Puspa kabupaten/kota terkait PUG, PPPA dan pemenuhan hak-hak anak serta isu prioritas KPPPA yaitu three ends,” tutur Halda. (DKP3AKaltim/rdg)

Penyusunan PPRG Cegah HIV dan TB Paru

Samarinda — Dua permasalahan kesehatan yang harus segera diatasi adalah kasus AIDS dan TB. Kedua penyakit tersebut menjadi komitmen global dalam Sustainability Development Goals (SDGs) untuk pengendaliannya. Baik HIV-AIDS maupun TB merupakan penyakit menular yang jumlah kasusnya cenderung semakin bertambah.
Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, pada Bimtek PPRG Dalam Pencegahan dan Pengendalian HIV-AIDS dan TB Paru, mengatakan berdasarkan data dari WHO penyakit TBC sebagai kedaruratan global. Pada saat ini menyebabkan 3 juta kematian dan 9 juta penderita baru setiap tahunnya.

“Data Kementerian Kesehatan RI, Indonesia termasuk nomor 2 terbanyak di dunia setelah India dan China. Mengacu pada angka estimasi insidens oleh Kementerian Kesehatan yaitu 0,6 % dari jumlah penduduk di Kaltim saat ini kurang lebih 3,5 juta jiwa, diperkirakan terdapat 7800 penderita TB dengan BTA (+) pemeriksaan bakteri tahan asam,” ujarnya.


Selanjutnya, pertambahan penderita setiap tahunnya sebesar 0,15% atau 3.850 penderita TB, sedangkan penemuan penderita setiap tahunnya hanya sebanyak 2.200 orang atau 42,5%. Artinya masih banyak lagi penderita TBC di masyarakat yang belum diketahui.

Dari kondisi seperti ini diperkirakan jumlah penderita TB di Kaltim akan meningkat 2 kali lipat dari tahun 21, padahal lebih dari 75% penderita TB menyerang usia produktif sehingga akan menjadi ancaman terhadap pembangunan bangsa khususnya di Kaltim.

“Ancaman ini nampaknya akan lebih besar lagi apabila kita memasukkan faktor epidemik HIV/AIDS, yang kini mulai meningkat di Kaltim,” katanya.

Salah satu upaya Kementerian PPPA dalam pencegahan dan pengendalian penyakit TBC dan HIV/AIDS adalah menyusun pedoman pengarusutamaan gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran Rresponsif Gender (PPRG) ke dalam program dan pelaksanaan yang dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan penganggaran, monitoring dan evaluasi harus merefleksikan perspektif gender.

Lanjutnya, perbandingan proporsi penderita laki-laki dan perempuan dua banding satu. Selain itu didukung salah satu faktor resiko tinggi mayoritas terjadi pada laki-laki melalui lelaki sex lelaki (LSL) 21%, serta heteroseksual 13%. Meskipun secara keseluruhan dalam rentang 2005-2019 perempuan cenderung lebih kecil proporsi kasusnya, terlihat peningkatan yang cukup signifikan. Penderita HIV dari kasus ibu rumah tangga pada tahun 2019 sebesar 16.618 orang, angka tersebut menduduki kasus terbesar setelah karyawan.

Selain IRT, ibu hamil melalui 88 buah layanan pencegahan penularan ibu ke anak Kemenkes terdata 10.235 orang positif HIV pada rentan 2017-2019, hanya 488 diantaranya menjalani pengobatan anti retrovirat treatment (ART) dan 3.971 baru akan memulai ART.

“ini memperlihatkan bahwa perempuan banyak terpapar resiko meskipun berprilaku aman dan sehat,” imbh Halda.
Dari data diatas, ada isu gender yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penanggulangan TBC dan HIV/AIDS. Dari aspek epidemiologi TBC dan HIV/AIDS perempuan lebih rentan untuk terkena TBC dan HIV/AIDS dibanding laki-laki.

Untuk mengatasi permasalahan HIV/AIDS dan TB paru perlu dilakukan secara komprehensif, kebersamaan, keterpaduan antara satu institusi dengan yang lainnya guna mencapi hasil yang optimal menuju Indonesia bebas TBC pada tahun 2050 dan menurunkan angka penderita HIV/AIDS. (DKP3AKaltim/rdg)

Kesejahteraan Perempuan dan Anak Perlu Dukungan Semua Pihak

Samarinda — Sesuai dengan amanat UU Nomor 23  Tahun 2014, ada enam urusan / kewenangan yang harus dilakukan oleh daerah dalam hal urusan PPPA. Perempuan dan anak adalah isu lintas sektor dan lintas bidang yang sangat strategis.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, pada Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) Bagi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha, berlangsung di Hotel Selyca Mulia Samarinda, Selasa (24/9/2019).

“Untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan yang ada, Dinas PPPA Provinsi maupun kabupaten/kota tidak dapat menyelesaikan persoalan perempuan dan anak sendirian. Sehingga perlu kerjasama dengan berbagai pihak,” ujarnya.

Oleh karena itu, Halda mengajak, lembaga profesi dan dunia usaha dalam penyelenggaraan urusan bidang PPPA.

Dengan menerapkan prinsip sinergi yaitu ikhlas, transparan, tidak saling menyalahkan dan mau saling berbagi, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih baik untuk kesejahteraan perempuan dan anak.

Halda melanjutkan, persoalan terhadap perempuan dan anak hampir terjadi setiap hari. Ironisnya lagi, banyak dari pelaku kekerasan adalah orang-orang terdekat. “Orang-orang yang seharusnya melindungi perempuan dan anak justru menjadi pelaku,” katanya.

Ia berharap, kegiatan tersebut tidak hanya untuk menyamakan persepsi, namun juga menghsilkan rekomendasi untuk percepatan dan peningkatan kualitas sinergi dan koordinasi partisipasi masyarakat dalam pembanguanan PPPA. Peningkatan percepatan dan kualitas sinergi diwujudkan dalam berbagai rancangan aksi dan inovasi yang menyatukan dua komponen yakni pemerintah dan masyarakat.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 40 peserta. Hadir menjadi narasumber yaitu Asdep Partisipasi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha KPPPA Sri Prihartini L Wijayanti, Pusat Studi Wanita Universitas Kristen Indonesia (UKI) Audra Sofania. (DKP3AKaltim/rdg)