Menteri PPPA: Kawal RUU Pemilu Demi Afirmasi Suara Perempuan Jangka Panjang

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan bahwa pembahasan Perumusan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) merupakan momentum penting untuk memastikan keterwakilan perempuan, utamanya di ranah legislatif demi terciptanya kebijakan dan program yang berperspektif gender, terutama dalam menghadapi Pemilu 2024. Selain mengawal pembahasan RUU Pemilu, peningkatan kapasitas dan dukungan Partai Politik terhadap calon legislatif (caleg) perempuan menjadi penting dilakukan demi terwujudnya afirmasi keterwakilan perempuan.

Meneteri Bintang mengatakan Pembahasan perumusan RUU Pemilu merupakan momentum penting demi memastikan terwakilinya suara perempuan dalam segala keputusan penting jangka panjang.

“Tujuan jangka panjang ini bukan sekadar memenuhi target banyaknya jumlah perempuan, tetapi munculnya kebijakan dan program yang berperspektif gender. Dengan adanya opini yang didasarkan atas representasi pengalaman hidup dan kondisi nyata perempuan, maka akan tercipta kebijakan yang dapat melindungi, memajukan, menciptakan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan bagi perempuan,” ujarnya pada Diskusi Daring Perempuan, Politik, dan Target 30 Persen pada 2024, dengan tema Membedah Kebijakan Afirmasi Kuota Perempuan pada Undang – undang Pemilu yang diselenggarakan oleh Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) secara virtual (13/06/2020).

Dalam rangka mempersiapkan Pemilu 2019, Kemen PPPA telah menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 10 Tahun 2015 tentang Grand Design Peningkatan Keterwakilan Perempuan di DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu Tahun 2019. Grand design ini memuat kebijakan dan langkah – langkah dalam meningkatkan keterwakilan perempuan pada Pemilu 2019. Pada tahun 2019, grand design tersebut dikembangkan menjadi Grand Design Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Legislatif dan Pengambilan Keputusan Menuju Planet 50:50 Gender Equality 2030 . Dalam rapat koordinasi yang diinisiasi oleh Kemenko PMK, grand design dimaksud direkomendasikan menjadi Peraturan Presiden.

Keterwakilan perempuan bukanlah tujuan akhir, namun sebuah proses agar kebijakan yang dibuat berperspektif gender. Untuk mewujudkan grand design keterwakilan perempuan di lembaga legislatif menuju Pemilu 2024, Kemen PPPA merangkul berbagai stakeholder, termasuk organisasi masyarakat dengan membentuk Kelompok Kerja Politik (Pokjapol) dari tingkat pusat hingga kabupaten. Adapun untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan dari akar rumput, sejak 2018 Kemen PPPA telah mengembangkan model Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Perdesaan.

Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera mengatakan bahwa saat ini RUU Pemilu yang merupakan revisi dari Undang – undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), dan sedang pada tahap pembahasan awal di Komisi II DPR RI. RUU Pemilu merupakan inisiatif DPR RI, dan Komisi II DPR RI diamanahkan untuk membuat draft awal RUU Pemilu. Targetnya, akhir tahun 2020 atau paling lambat awal tahun 2021 RUU Pemilu sudah disahkan menjadi undang – undang. Mardani menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk upaya afirmasi bagi keterwakilan perempuan.

Mardani menambahkan selain mengawal RUU Pemilu, hal penting lainnya untuk mewujudkan afirmasi keterwakilan perempuan adalah melakukan lobby terkait anggaran Parpol untuk perempuan.

Senada dengan Mardani, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana mengatakan evaluasi Parpol terhadap dukungan caleg perempuan juga menjadi hal penting dalam mewujudkan afirmasi keterwakilan perempuan.

“Evaluasi penting dan kontestasi keterwakilan perempuan adalah di Parpol. Kita harus mendorong Parpol agar memberdayakan para perempuan pengurus Parpol mampu mengelola dana pendidikan politik bagi caleg perempuan, sehingga dapat menstimulasi ruang partisipasi politik perempuan di Parpol. Kami juga berharap agar para perempuan pengurus Parpol dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pencalonan,” jelas Aditya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini juga mengatakan bahwa kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan harus dipahami secara holistik, tidak hanya terjebak pada mekanisme pencalonan.

“Afirmasi keterwakilan perempuan harus hadir dalam 4 (empat) aspek, yakni sistem Pemilu, aktor Pemilu, manajemen Pemilu, dan penegakan hukum Pemilu. Jika kita ingin mendorong afirmasi keterwakilan perempuan yang lebih baik, maka semakin bebas (kompetisi yang setara), adil, dan demokratis suatu Pemilu, maka semakin ramah Pemilu tersebut bagi perempuan,” tutur Titi.

Kemen PPPA Waspadai Adanya Kasus KDRT Tersembunyi Sejak WFH di Masa Pandemi

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memberikan perhatian serius terhadap kemungkinan adanya kasus KDRT yang tidak terungkap sejak pandemi Covid-19 dan diterapkannya kebijakan work from home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kondisi ini bisa diakibatkan oleh hilangnya akses korban KDRT untuk melaporkan kekerasan yang dialami.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Vennetia R. Dannes dalam sambutannya mengatakan jika dilihat dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada 29 Februari – 10 Juni 2020 terdapat 787 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan 523 kasus KDRT.

“Jumlah kasus ini menurun pada periode 1 Januari – 28 Februari 2020 yaitu 1.237 kasus KtP dan 769 KDRT,” ujar Vennetia pada acara Peningkatan Kapasitas Manajemen Penanganan Kasus KDRT dalam Situasi Pandemi Covid-19 Bagi Dinas PPPA/Kelompok Kerja Daerah BERJARAK di Tingkat Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Bagian Timur Melalui Daring. Jumat (12/6/2020).

Vennetia menambahkan, meskipun jumlah kasus KtP dan KDRT menurun, hal ini justru menjadi perhatian besar Kemen PPPA karena dikhawatirkan korban KtP dan KDRT kehilangan akses untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya karena takut, ruang gerak menjadi terbatas terutama di wilayah dengan sarana dan prasarana komunikasi serta transportasi yang tidak mendukung dalam mendapatkan akses layanan. Ditambah lagi, jika pusat penyedia layanan belum bisa berfungsi secara optimal.

“Kondisi ini yang berpotensi menyebabkan laju pertambahan kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan KDRT mengalami perlambatan, dari rata-rata 21 kasus KtP per hari sebelum Penetapan Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana (PPSKTDB) menjadi rata-rata 8 kasus per hari sesudah PPSKTDB. Adapun kasus KDRT dari rata-rata 13 kasus per hari sebelum PPSKTDB, turun menjadi rata-rata 5 kasus per hari sesudah PPSKTDB,” ungkap Vennetia.

Lebih lanjut Vennetia menuturkan, meskipun laju pertambahan kasus KDRT mengalami perlambatan sampai 37% dan selisih jumlah kasus mencapai 50% setelah memasuki PPSKTDB dibanding tahun sebelumnya, situasi ini belum dapat dikatakan menggembirakan. Justru diduga tingkat KDRT masih sama banyaknya dengan tahun-tahun sebelumnya.

Menindaklanjuti masalah tersebut, Kemen PPPA melakukan Peningkatan Kapasitas Manajemen Penanganan Kasus KDRT dalam Situasi Pandemi Covid-19 bagi Dinas PPPA dan lembaga penyedia layanan yang diharapkan dapat lebih pro aktif menjemput bola untuk mendapatkan laporan kasus KDRT di wilayah mereka. Adapun lembaga penyedia layanan dimaksud, yaitu Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) di seluruh Indonesia.

“Kemen PPPA terus berupaya memastikan hak-hak dasar perempuan dan anak selama masa pandemi dapat terpenuhi, di antaranya dengan menginisiasi Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (BERJARAK) dengan 10 Aksi, melakukan optimalisasi Layanan Psikologi Sehat Jiwa (SEJIWA), membuat Protokol Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di masa pandemi Covid-19, memberian pemenuhan kebutuhan spesifik bagi perempuan dan anak, serta melakukan sosialisasi dan edukasi melalui berbagai jenis poster pencegahan penularan Covid-19 yang disebar hingga ke tingkat desa. ” ujar Vennetia.

Di samping itu, Asdep Perlindungan Hak Perempuan dari KDRT, Ali Khasan mengungkapkan acara Peningkatan Kapasitas Manajemen Penanganan Kasus KDRT yang dilaksanakan secara daring, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelompok kerja daerah di tingkat Kabupaten/Kota, relawan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dan tim relawan BERJARAK terkait manajemen penanganan kasus KDRT dalam situasi pandemi Covid-19, serta memastikan ‘hak perempuan dan anak terpenuhi’ sesuai Program Aksi BERJARAK ke-2.

Sementara itu Advokat Perempuan, Sri Nurherwati menyampaikan bahwa masyarakat seringkali terkecoh dan berpikir bahwa akar masalah dari KDRT ini disebabkan karena minuman keras, pornografi, moral yang buruk, pendidikan, status sosial, dan ekonomi. “Pemikiran ini justru yang akhirnya menghilangkan akar masalah sesungguhnya, yaitu budaya patriarki atau atau zero tolerance sebagai ketimpangan relasi antara laki kaki dan perempuan,” ungkap Sri.

Di sisi lain, Pekerja Sosial, Anna Sakreti Nawangsari juga mengungkapkan hambatan yang cukup rumit dalam proses penanganan kasus KDRT, yaitu terjadinya siklus kekerasan yang tidak berujung. Siklus ini dimulai dari fase ketika kekerasan terjadi, pasangan meminta maaf, fase bulan madu atau periode tenang, terjadi ketegangan konflik, dan kembali ke fase terjadinya kekerasan.

“Siklus ini sulit dihentikan karena adanya relasi personal kepada pasangan seperti rasa cinta, kasih sayang, dan kasihan. Hal ini yang membuat rantai KDRT sulit diputuskan. Saat mendampingi dan memberikan konseling bagi korban, petugas pelayanan sosial harus menggali dan memahami siklus ini, serta mengajak korban untuk berpikir lebih rasional dan memetakan kejadian yang dialami,” terang Anna.

Kemen PPPA: Percepatan Pencegahan Perkawinan Anak, Tidak Bisa Ditunda Lagi!

Jakarta — Pencegahan perkawinan anak di Indonesia merupakan percepatan yang tidak bisa ditunda lagi. Perkawinan anak merupakan long lasting issues atau masalah jangka panjang yang harus kita hadapi bersama-sama. Sebab, melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi terutama perkawinan anak merupakan tanggung jawab bersama.

“Dalam rangka pencegahan perkawinan anak banyak sekali upaya yang sudah, sedang, dan akan terus kita lakukan, tentunya dengan bersinergi dengan seluruh elemen yang ada termasuk melibatkan anak itu sendiri. Dengan menjadikan anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) diharapkan mereka dapat berperan dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Selain anak, yang juga tidak kalah penting adalah peran keluarga dan masyarakat,” ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin saat membuka Webinar “Suara Anak,  Dengarlah Kami” dengan tema “Pencegahan Perkawinan Anak dengan Memahami Dinamika Anak”.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, yaitu 1 dari 9 atau sekitar 11,21 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak. Sementara itu, sampai dengan 2018 sebanyak 20 provinsi di Indonesia memiliki prevalensi perkawinan usia anak di atas angka nasional, Provinsi Kalimantan Tengah menjadi peringkat kedua tertinggi dengan proporsi 19,13 persen.

Lenny menambahkan berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA) Juni 2020 jumlah perkara yang diterima dan diputus menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. “Banyaknya permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama, dikhawatirkan dapat membuat lonjakan angka perkawinan usia anak di Indonesia. Pada 2019, jumlah perkara yang diterima sebanyak 24.827 perkara angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari 2018 sebanyak 13.815 perkara. Sedangkan untuk perkara yang diputus pada 2019 sebanyak 21.963 perkara dibandingkan sebanyak 12.531 perkara pada 2018. Untuk jumlah perkara yang diputus maksudnya disini adalah diputuskan untuk perkawinannya dilanjutkan atau ditolak. Namun, dari 21.963 pekara ini kami masih menunggu rincian data dari Badilag MA berapa saja perkara yang dilanjutkan dan ditolak.” tambah Lenny.

Sementara itu, Perwakilan Jaringan AKSI, Aditya Septiansyah menuturkan dinamika remaja yang ada pada masa transisi atau pubertas juga menjadi dinamika yang harus dihadapi. “Perubahan usia menuju remaja akan mempengaruhi cara berpikir mereka tentang suatu masalah. Oleh karena itu, pada masa ini remaja harus diberikan pendampingan dan advokasi terkait pencegahan perkawinan anak. Jaringan AKSI sendiri sudah mulai bergerak sejak 2017 dan hingga saat ini masih terus memberikan advokasi dan membentuk forum-forum diskusi remaja untuk mengupas tuntas terkait perkawinan anak dari sisi remaja. Selain itu, memberikan edukasi terkait hukum dan kebijakan pemerintah juga menjadi penting agar mereka juga bisa mendukung upaya yang telah dan akan terus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pencegahan perkawinan anak,” ujar Aditya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Forum Anak Nasional, Zafira Puan Adelin bercerita mengenai pengalaman dan pendapatnya terkait perkawinan anak dari sisi anak. “Kami dari FAN telah melakukan sebuah survei kecil yang mana secara online dengan hasil sebanyak 243 responden anak dari 251 total responden tidak setuju dan menentang perkawinan anak, sedangkan sisanya sebanyak 8 responden anak mengatakan setuju dengan alasan perkawinan anak untuk menghindari zina. Disinilah kami merasa ada salah persepsi tekait menghindari zina dan perkawinan anak. Untuk itu, ke depannya menjadi tugas kami sebagai anak untuk dapat meluruskan ini semua dengan menggunakan pendekatan berbasis anak dan memposisikan diri kami sebagai teman yang memberikan informasi kepada mereka. Kami yakin dengan kerjasama seluruh pihak pasti kita bisa untuk bersama mencegah perkawinan anak di Indonesia,” ujar Zafira.

 

Hadir pula dalam webinar tersebut Kepala Dinas PPPA, Pengendalian Penduduk dan KB Sulawesi Selatan, Iqbal Suhaeb dan Kepala Dinas PPPAKB Kalimantan Tengah, Ryan Tangkudung. Kedua Kepala Dinas ini menceritakan dan berbagi praktik terbaik yang sudah dan akan mereka lakukan dalam upaya pencegahan perkawinan anak di daerah mereka. Pada 2018, Kalteng menempati posisi kedua tertinggi sedangkan Sulsel menemapati posisi ke dua belas untuk angka perkawinan anak di Indonesia.

Iqbal Suhaeb mengatakan perkawinan memang masih menjadi masalah yang kompleks di Sulawesi Selatan, beberapa faktor seperti tradisi dan ekonomi menjadi penyebab terjadinya perkawinan anak. “Kami telah melakukan berbagai upaya diantaranya memperkuat regulasi dan membuat bahan kebijakan terkait pencegahan perkawinan anak, melakukan penguatan kapitas anak melalui forum anak dan musrenbang anak, melakukan kerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk memutus rantai perkawinan anak melalui satuan pendidikan dengan menggunakan surat perjanjian tidak menikah sampai dengan lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), dan penguatan kader desa agar dapat mengontrol keluarga yang ada di pelosok desa,” ujar Iqbal.

Lebih lanjut, Kepala Dinas PPPAKB Kalimantan Tengah, Ryan Tangkudung selain melalui Forum Anak Kalteng juga melibatkan tokoh adat dan tokoh agama sebagai agen perubahan yang membawa isu pencegahan perkawinan anak sampai ke tingkat desa, tak ketinggalan kami juga telah memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang cukup disegani dan berkontribusi untuk melindungi perempuan dan anak. Selain itu, kami juga tengah mengejar keterlambatan dalam inisiasi Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) bagi kabupaten/kota yang belum menginisiasi, sebab kami yakin KLA dapat menjadi benteng dalam upaya pencegahan perkawinan anak,” ujar Ryan.

Sebagaimana telah diketahui, perkawinan anak berdampak masif diantaranya meningkatnya resiko putus sekolah, pendapatan rendah, kesehatan akibat anak perempuan belum siap hamil dan melahirkan dan ketidaksiapan mental membangun rumah tangga yang memicu kekerasan, pola asuh tidak benar hingga perceraian. Perkawinan anak juga menghambat capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian Bonus Demografi, serta menghambat dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah menjadi komitmen global bersama. Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Pada akhir kesempatan, Pemerhati Anak, Lies Marcoes menuturkan forum-forum seperti ini menjadi sangat penting untuk dilakukan sebab untuk dapat mencegah perkawinan anak kita juga harus mendengarkan dan memahami makna perkawinan anak dari anak itu sendiri. “Kita sudah melihat apa saja upaya yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah baik dalam hal regulasi, kebijakan, maupun advokasi langsung ke masyarakat. Namun, karena sekarang ini yang kita hadapi merupakan situasi yang berbeda dimana dinamika anak menjadi tantangan tersendiri bagi kita untuk dapat memahami dan mengikuti perkembangan mereka di era sekarang ini. Untuk itu, marilah kita dengarkan suara anak, mari kita pahami apa yang anak ingin sampaikan, agar mereka juga dapat membantu mewujudkan pecepatan pencegahan perkawinan anak di Indonesia

Edukasi dan Pemberdayaan Ibu Hamil dan Menyusui Penting di Masa Pandemi

Samarinda — Covid-19 sangat mudah menular ke siapa saja, termasuk ibu hamil dan menyusui. Butuh perhatian khusus, pemberdayaan, dan edukasi bagi ibu hamil dan menyusui meskipun berdasarkan informasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) hingga saat ini, Covid-19 belum terdeteksi pada ASI dari ibu yang terdiagnosa Covid-19. Apalagi saat ini teknologi sudah semakin maju, sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan konsultasi secara online atau virtual yang akan turut menjaga kualitas layanan kesehatan reproduksi, akses, keamanan, dan keselamatan pasien, serta meringankan tugas tenaga kesehatan selama pandemi Covid-19.
“Kita juga harus memastikan hak anak selama masa pandemi harus tetap terpenuhi. Orangtua merupakan kunci pencegahan Covid-19 bagi anak – anak mereka. Untuk itu, para orangtua harus mendapatkan edukasi yang tepat karena mereka yang berperan dalam melindungi anak – anak mereka dari Covid-19, termasuk ketika membawa anak – anaknya menuju fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga fasilitas ini tidak menjadi episentrum baru bagi penularan Covid-19. Kami juga mengedukasi anak – anak melalui Forum Anak yang memiliki adik atau saudara yang masih bayi untuk selalu mengingatkan orangtua mereka agar selalu menjaga kebersihan dan kesehatan,” tutur Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin pada webinar Layanan Kesehatan dan Pemenuhan Gizi bagi Peningkatan Kualitas Kesehatan Ibu Hamil, Menyusui dan Balita di Masa Pandemi Covid-19 (11/06/2020).
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Budi Wiweko mengatakan bahwa pemberdayaan dan edukasi terhadap pasien, ibu hamil, dan ibu menyusui menjadi penting agar mereka mampu melakukan konsultasi secara virtual sehingga dapat menjaga kualitas layanan kesehatan reproduksi, dan keselamatan pasien di masa pandemi Covid-19.
“Selama pandemi Covid-19, kombinasi antara konsultasi kunjungan dan konsultasi virtual akan menjaga kualitas layanan kesehatan reproduksi serta menjaga akses, keamanan dan keselamatan pasien. Tentu hal ini harus didukung dengan kemajuan teknologi dan sinyal komunikasi yang baik. Apalagi saat ini melalui smartphone kita dapat mengukur suhu tubuh dan tensi secara mandiri. Selain itu, hal penting lainnya adalah pemberdayaan dan edukasi bagi pasien, ibu hamil, dan menyusui. Mereka harus diberikan edukasi terkait bagaimana cara menimbang berat badan, mengukur tensi, mendengar denyut jantung, dan menghitung siklus haid. Sesungguhnya dengan memberdayakan dan mengedukasi pasien, ibu hamil, dan menyusui maka tugas tenaga medis menjadi lebih ringan di masa pandemi Covid-19,” terang Budi.
Senada dengan Budi Wiweko, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Erna Mulati mengatakan bahwa selama masa pandemi, apalagi bagi ibu hamil dan menyusui yang wilayahnya ada pada zona merah Covid-19, penting untuk mengikuti Kelas Ibu Balita yang diselenggarakan secara virtual, menjaga kesehatan balita secara mandiri dengan mempelajari buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dan melakukan konsultasi virtual. Jika pemerintah daerah menentukan untuk membuka pelayanan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), maka harus diterapkan persyaratan yang ketat demi mencegah terjadinya penularan Covid-19.
“Pelayanan balita di Posyandu harus melalui persyaratan yang ketat, seperti penyediaan skrining suhu tubuh, adanya pemberitahuan bahwa anak dan pengantar dalam keadaan sehat, jadwal serta jenis pelayanan yang dilakukan sebelum hari pelayanan, tempat pelayanan dengan sirkulasi udara yang baik, penyemprotan area pelayanan dengan disinfektan, penyediaan fasilitas cuci tangan atau antiseptik, pengaturan jarak meja pelayanan minimal 1 (satu) meter, dan membatasi jenis pelayanan kesehatan,” tutur Erna Mulati.
Konselor Air Susu Ibu (ASI) Pejuang ASI Indonesia, Ameetha Drupadi mengatakan bahwa edukasi bagi ibu menyusui, terutama bagi ibu yang diduga atau terjangkit Covid-19 sangat penting, terutama langkah – langkah yang harus dilakukan ketika ingin menyusui secara langsung.
“ASI sangat bermanfaat untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan kesehatan ibu dan bayi. Berdasarkan informasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) hingga saat ini Covid-19 belum terdeteksi pada ASI dari ibu yang terjangkit atau diduga terinfeksi Covid-19. Bagi ibu yang dinyatakan terjangkit Covid-19 dan ingin menyusui harus selalu menjaga kesehatan pernapasan dan menggunakan masker saat menyusui, mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh bayi, serta rutin membersihkan permukaan untuk membasmi kuman dan permukaan puting sebelum dan sesudah menyusui. Permukaan puting dapat dibersihkan dengan mandi lebih sering atau melalui pengolesan ASI di area puting sebelum dan sesudah menyusui,” jelas Ameetha.
Ameetha menambahkan walaupun hingga saat ini belum terdeteksi adanya Covid-19 pada ASI dari ibu yang terjangkit atau diduga terinfeksi Covid-19, namun dikhawatirkan adanya paparan selama proses menyusui. Oleh karenanya, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Swab dan memastikan agar hasilnya benar-benar negatif Covid-19. Alternatif lain yang dapat dilakukan selain menyusui secara langsung antara lain melalui ASI perah, Donor ASI, ibu susu (bila memungkinkan dan sesuai budaya setempat), dan susu formula bayi dengan memastikan kelayakan, persiapan yang benar, dan aman.

Cegah Covid, Jauhkan Anak Dari Keramaian

Samarinda  — Noorbaiti Isran Noor sebagai Bunda Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kaltim, mengingatkan Ibu-ibu untuk selalu mendampingi anaknya di tengah pandemi Covid-19, termasuk tidak mengajak anak-anaknya berada dalam kerumunan massa yang bisa menularkan virus Corona seperti pasar, mall dan transportasi umum.

“Saat ini virus Corona masih mengancam, adanya perbelakuan new normal di sejumlah daerah harus disikapi dengan bijaksana, terlebih terhadap anak-anak usia dini agar tidak terpapar virus Corona,” kata Noorbaiti, Kamis (11/6-2020)

Sebagai ibu rumah tangga, diakuinya, peran yang diemban di masa pandemi Covid-19 bertambah banyak, selain mengurus rumah tangga dan keluarga. Juga menjaga serta mendampingi anak-anak selama berada di rumah terkait pendidikan dan hal lainnya.

Satu hal terpenting yang wajib disampaikan kepada keluarga, ujar istri Gubernur Kaltim ini, bagaimana jika berada di fasilitas umum, tempat kerja dan rumah ibadah. Selayaknya, selalu melaksanakan protokol kesehatan mulai menggunakan masker, cuci tangan serta menjaga jarak.

Namun, ia menandaskan bagi ibu yang mempunyai balita sebaiknya tidak dibawa ke tempat-tempat umum meski tujuannya untuk membuang kejenuhan.

“Selain tidak ada masker, Balita juga tidak mengerti apa-apa tentang protokol kesehatan. Karenanya, lebih baik tidak diajak ke tempat-tempat umum demi kesehatan bersama,” imbuhnya.

Selain itu, kenapa anak-anak tidak dibawa ke tempat umum seperti mall, ungkapnya karena di pusat perbelanjaan umumnya tersedia tempat bermain bagi anak-anak yang bisa digunakan siapa saja.

“Anak-anak itu, kalau ke mall umumnya ingin bermain di arena permainan yang ada. Jika mereka sudah berada di arena bermain, tentu sulit dicegah untuk tidak memegang alat permainan yang tersedia, sehingga kemungkinan terpapar virus corona bisa terjadi,” ungkapnya.

Ketua TP PKK Kaltim ini menambahkan virus corona bisa menyerang siapa saja, tidak terkecuali anak-anak. Sebab ada sejumlah anak yang diketahui terpapar virus corona.( humasprovkaltim)

Waspada, Kasus Positif Covid-19 Terus Meningkat

Samarinda — Perkembangan kasus Covid-19 di Kaltim dalam tiga hari terakhir menunjukkan tren yang kurang baik. Bahkan mencemaskan. Jumlah kasus positif selalu lebih tinggi dibanding kasus yang sembuh.

Update Covid-19 per Rabu (10/6/2020) misalnya. Jumlah pasien positif bertambah 11 orang, sementara pasien sembuh hanya 5 orang. Terdapat penambahan pasien dirawat sebanyak 6 orang.

Total kasus terkonfirmasi positif menjadi 362 orang, pasien sembuh 221 orang, pasien masih dalam perawatan 138 orang dan 3 meninggal dunia.

“Tren ini tentu kurang bagus. Sekali lagi, kita tidak boleh lalai dan harus tetap waspada,” kata Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kaltim H Nazrin, Kamis (11/6/2020).

Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim ini juga menyampaikan pesan Gubernur Kaltim H Isran Noor saat video conference bersama Presiden RI Joko Widodo, Rabu kemarin.

Inti pesan orang nomor satu Kaltim itu adalah kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan, yakni menggunakan masker, menjaga jarak, tidak berkerumun, rajin mencuci tangan dengan sabun dan protokol kesehatan lainnya yang juga harus dipatuhi.

Akan sulit menuju masa tatanan normal baru (New Normal) jika kedisiplinan masih kerap dilalaikan.

“Intinya kalau ingin Covid-19 cepat lenyap dari Benua Etam, maka  seluruh masyarakat harus disiplin dan patuh menjalankan protokol kesehatan,” tegas Nazrin meneruskan pesan Gubernur Isran Noor.

Rakor Penyelenggaraan Kependudukan

Samarinda —  Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim menggelar Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Kependudukan Provinsi dan Kabupaten/Kota se Kalimantan Timur, Kamis (11/6/2020)

Disdukcapil Kabupaten/Kota telah memberikan banyak pilihan kepada masyarakat dalam mengurus dokumen kependudukannya melalui pelayanan online bahkan masyarakat diberikan pilihan untuk mengambil dokumen kependudukan yang telah selesai dengan mengambil ke Disdukcapil atau melalui Kecamatan dan melalui Jasa Antar Dokumen sampai ke rumah dengan biaya ditanggung oleh masyarakat yang bersangkutan.

“Pelayanan adminduk tetap dilaksanakan selama masa pandemi Covid-19 dengan standar protokol kesehatan. Sementara untuk sosialisasi dan bimtek yang telah dianggarkan tetap dilaksanakan dengan jumlah peserta yang terbatas dan memenuhi standar protokol kesehatan,” ujar Kepala Dinas KP3A Kaltim Halda Arsyad.

Kedepan, pertemuan antar Kepala Dinas se Kaltim akan dijadwalkan setiap bulan untuk membahas isu aktual dan permasalahan terkait dengan penyelenggaraan kependudukan dan pencatatan sipil di daerah agar dapat memberi solusi melalui diskusi dan sharing pengalaman antar kabupaten/kota. (dkp3akaltim/rdg)

DKP3A Kaltim Lakukan Pendampingan Monev PUG Kubar

Samarinda — Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melakukan pendampingan Monev PUG terhadap Kabupaten Kutai Barat, Kamis (11/6/2020).

Kabid KG Dwi Hartini mengatakan, pendampingan ini untuk mengetahui  program dan kegiatan  yang responsif gender dengan indikator Akses, Partisapasi, Kontrol dan Manfaat (APKM) dari seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Kubar .

“Hal yang telah dilakukan tersebut kemudian diinput ke Aplikasi APE berdasarkan pengalaman, aspirasi, dan permasalahan  yang  dihadapi  perempuan  dan  laki-laki  sebagai  target  dan   sasaran   dari   pembangunan,   ke   dalam   proses   penyusunan   perencanaan,   sehingga   kebijakan/program/kegiatan   pembangunan   tersebut  dapat  turut  menjamin  terwujudnya  keadilan  dan  kesetaraan  gender  di  berbagai  sektor  pembangunan di Kubar,” ujarnya.

Diharapkan dari Monev PUG ini adalah terbentuk komitmen dalam pelaksanaan PUG di daerah, tersusunnya hasil evaluasi pelaksanaan PUG dan mendapatkan rekomendasi kebijakan  untuk sektor  pembangunan. (dkp3akaltim/rdg)

Himpun Sinergitas Penyusunan Suara Anak Indonesia Tahun 2020

Jakarta — Menjelang peringatan Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 2020 yang diperingati setiap 23 Juli, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan berbagai rangkaian kegiatan, salah satunya pertemuan Forum Anak Nasional (FAN) yang dihadiri oleh anak – anak dari seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, anak – anak akan merumuskan Suara Anak Indonesia (SAI) sebagai bentuk representasi aspirasi, kebutuhan, keinginan, bahkan kekhawatiran anak Indonesia dalam isu pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak. Suara Anak Indonesia inilah yang akan disampaikan pada puncak HAN.
“Hasil Suara Anak Indonesia akan disampaikan langsung kepada Presiden Republik Indonesia pada puncak peringatan HAN, seperti yang telah dilakukan pada tahun – tahun sebelumnya. Oleh karenanya, kami berharap adanya sinergi dan dukungan yang kuat dari seluruh pihak yang terlibat dalam Forum Anak, utamanya dukungan dari Dinas PPPA sebagai pendamping Forum Anak,” ungkap Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak Kemen PPPA, Lies Rosdianty dalam Rapat Konsultasi Penyusunan Suara Anak Indonesia Tahun 2020, Senin (8/6/2020). Hadir dalam rapat tersebut pengurus FAN, perwakilan Forum Anak Daerah, Fasilitator FAN, dan Dinas PPPA dari 34 Provinsi di seluruh Indonesia.
Kegiatan konsultasi berlangsung selama 2 jam dan dibagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pemaparan Panduan Penyusunan SAI oleh Kepala Bidang Partisipasi Anak Kemen PPPA, Skriptandono, dan sesi diskusi yang diikuti oleh seluruh peserta. Meskipun metode dan teknis penyusunan SAI tahun ini berbeda karena dilakukan melalui media virtual, namun prinsip penyusunannya masih sama seperti tahun – tahun sebelumnya, yakni independen, representatif, inklusif, dan fleksibel. Prinsip tersebut dipertahankan agar tidak menghilangkan keautentikan dari SAI itu sendiri.
“Selain mendampingi proses penyusunan Suara Anak Indonesia, Kemen PPPA juga bertanggung jawab untuk menindaklanjuti Suara Anak Indonesia dengan menyampaikan Suara Anak kepada pihak – pihak terkait, baik kepada kementerian/lembaga, dunia usaha, lembaga masyarakat, maupun media,” ujar Skriptandono.
Penyusunan Suara Anak Indonesia akan berlangsung selama kurang lebih 1 (satu) bulan sejak 4 Juni hingga 10 Juli 2020. Selama 1 bulan tersebut setidaknya akan ada 7 pertemuan yang dilakukan secara virtual untuk menampung suara anak secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional. Diharapkan Suara Anak Indonesia yang dihasilkan, menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan, agar benar-benar memerhatikan kepentingan terbaik bagi anak Indonesia.
Semula, pertemuan FAN Tahun 2020 akan dilakukan di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Namun, dikarenakan kondisi wabah pandemi Covid-19, maka pertemuan tersebut dibatalkan. Meskipun demikian, penyusunan SAI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari puncak peringatan HAN tetap akan dilakukan melalui media virtual, dengan tetap melibatkan suara anak dari seluruh Indonesia. (publikasidanmediakemenpppa)

Perkuat Relasi Keluarga sebagai Pengasuh Utama dan Pertama Anak di Era New Normal

Samarinda — Anak menjadi salah satu kelompok rentan yang seringkali mengalami berbagai kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak-hak lainnya akibat pengasuhan yang tidak baik, khususnya di tengah pandemi Covid-19. Oleh karena itu, peran orangtua dan keluarga sebagai pengasuh utama dan pertama begitu penting dalam memberikan pengasuhan positif bagi anak, guna memenuhi hak-haknya dan melindungi anak terutama memasuki era new normal.

“Melihat kondisi pengasuhan di Indonesia saat ini, terdapat 79,5 juta anak Indonesia (Profil Anak Indonesia Kemen PPPA, 2019) yang harus dipenuhi hak-haknya dan diberikan perlindungan secara khusus. Selain itu, sebanyak 3,73% balita diketahui mendapat pengasuhan tidak layak (Susenas MSBP, 2018). Angka ini cukup besar jika dilihat dalam angka absolutnya dari jumlah seluruh anak di Indonesia,” ungkap Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N. Rosalin dalam Webinar “Orangtuaku Sahabat Terbaikku” dengan tema Penguatan Relasi Keluarga, sebagai rangkaian acara menyambut Hari Anak Nasional (HAN) 2020, Rabu (10/06/2020).

Lenny menuturkan dalam menindaklanjuti hal tersebut, pentingnya mengajak seluruh keluarga untuk memberikan pengasuhan dengan memenuhi hak-hak anak, serta memberikan perlindungan khusus bagi anak yang memerlukannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat relasi antara anak dengan anggota keluarga, agar pengasuhan berbasis hak anak dapat semakin dipahami oleh orangtua, wali atau pengasuh di luar keluarga inti dan di lembaga pengasuhan alternatif, demi mewujudkan anak yang lebih berkualitas dan demi kepentingan terbaik anak.

“Saat ini, masih banyak anak di Indonesia yang belum terpenuhi bahkan dilanggar hak-haknya. Di antaranya yaitu rendahnya kesadaran keluarga untuk mengurus akta kelahiran bagi anak. Pada April 2020, Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukan baru ada sekitar 73,7 juta anak yang memiliki akta kelahiran di Indonesia,” ujar Lenny.

Berdasarkan cakupan kepemilikan akta kelahiran anak di Indonesia, ada 9 (Sembilan) provinsi yang kepemilikan akta kelahirannya masih di bawah target nasional yaitu 85% (Data Konsolidasi Bersih Kemendagri, 31 Maret 2020). “Jika tidak memiliki akta kelahiran, anak akan mengalami kendala dalam mengakses skema-skema perlindungan sosial, seperti pendidikan maupun layanan kesehatan karena akta kelahiran merupakan prasyarat utama untuk mendapatkan akses tersebut,” jelas Lenny.

Menurut Lenny, hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak anak, akibat kesalahan orangtua yang tidak peduli, ataupun peduli tetapi aksesnya yang sulit dijangkau. “Masalah ini harus ditangani bersama, Kemen PPPA juga berupaya mencari solusi dengan membahasnya secara lintas kementerian. Kami juga terus melakukan sosialisasi dan advokasi kepada masyarakat terkait pentingnya kepemilikan akta kelahiran bagi anak,” terang Lenny.

Di sisi lain, masalah perkawinan anak juga masih marak terjadi di Indonesia, banyak orangtua yang membiarkan hak anak terlanggar dalam hal ini. Diketahui 1 dari 9 atau 11% perempuan di Indonesia berusia 20-24 tahun menikah di usia anak (Data BPS, 2019).

Selain itu, dalam hak kesehatan dasar, sebanyak 27,67% balita mengalami stunting, 16,29% dengan berat badan di bawah normal (underweight), dan 7,44% tergolong kurus (wasting) (Survei Status Gizi Balita, 2019). Di samping itu, 9,87% anak berusia 0-17 tahun mengkonsumsi kalori di bawah 1400 kkal (IPHA Kemen PPPA, BPS).

Terkait hak pendidikan, angka buta huruf anak berusia 15 tahun ke atas di Indonesia mencapai 4,3%. Untuk rata rata lama sekolah yaitu 8,6 tahun, padahal target yang ditetapkan adalah wajib belajar 12 tahun (Susenas BPS, Maret 2018).

“Untuk itu, kita harus meningkatkan pemahaman dan kapasitas orangtua dan keluarga untuk melakukan aksi nyata dalam peran pengasuhan. Hal ini bertujuan untuk mendorong anak agar berpendidikan lebih tinggi, memiliki gizi lebih baik, menekan angka perkawinan anak, memenuhi kepemilikan akta kelahiran anak, serta memenuhi hak-hak anak lainnya,” ujar Lenny.

Adapun hak-hak anak lainnya yang harus dipenuhi yaitu mendapatkan kartu identitas anak, didampingi saat mengakses informasi, didengarkan suaranya, bermain di tempat yang aman, diawasi saat bermain, semua anak harus sehat melalui pemberian ASI Eksklusif dan makanan pendamping ASI, diberikan imunisasi, diajarkan perilaku hidup bersih sehat, tidak terpapar rokok, mengembangkan bakat anak, dan memanfaatkan waktu luang anak dengan kegiatan-kegiatan yang posotif, inovatif dan kreatif, serta melindungi dari berbagai tindak kekerasan, elsploitasi, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya.

Lenny menjelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk membangun relasi keluarga yang kuat terutama di masa pandemi memasuki era new normal ini, melalui pengasuhan dengan kasih sayang, kelekatan, keselamatan dan kesejahteraan yang menetap dan keberlanjutan, demi kepentingan terbaik bagi anak.

“Bentuk relasi yang dapat dibangun ayah dan ibu dalam keluarga, yaitu menyediakan afeksi, pengasuhan dan kenyamanan anak, mempromosikan kesehatan keluarga, menjadi role model yang positif bagi anak, menjadi guru yang kreatif mendampingi anak belajar di rumah, berkreasi membuat anak agar tidak bosan, menciptakan suasana menyenangkan dan gembira, menjadi sahabat bagi anak, kita harus dorong sebuah relasi yang positif,” tambah Lenny.

Pada rangkaian webinar tersebut, Pakar Psikolog dan Keluarga, Alissa Wahid mengungkapkan ada 4 (empat) tantangan kehidupan keluarga di masa pandemi Covid-19, di antaranya yaitu tekanan psikososial ekonomi pribadi dan keluarga, ketidakpastian masa depan, keterbatasan ruang psikologis pribadi akibat berbagi ruang selama masa #dirumahaja, fondasi keluarga dan hubungan antar anggota keluarga.

Alissa menegaskan, anak menjadi seperti apa, itu adalah tanggungjawab orangtua. “Jangan mencemaskan apakah anak-anak kita dapat menjadi orang yang baik. Cemaskanlah apakah kita dapat menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak kita,” tambah Alissa.

Di samping itu, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto mengungkapkan, orangtua harus memposisikan diri sebagai pertama dan utama dalam pengasuhan anak di keluarga dan harus bisa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, gembira, dan penuh senyuman. Tidak boleh ada kekerasan karena hanya akan merusak karakter anak.

“Apakah kita sudah menjadi orangtua yang efektif? Menjadi sahabat bagi putra putri kita? Orangtua sering berada di dekat anak, namun sayangnya sering pula tidak hadir di hati anak. Hal tersebut bisa dimulai dengan melakukan rapat keluarga. Dengarkan suara putra-putri kita. Beri anak contoh demokratisasi di rumah melalui Majelis Permusyawaratan Rumah (MPR),”

Kak Seto juga mengingatkan untuk selalu memberikan apresiasi pada anak. Orangtua harus terus belajar bagaimana memahami perkembangan anak dan berkomunikasi efektif dengan anak. “Jadilah Orangtua bijak yang mendidik anak sesuai dengan zamannya. Jangan bermimpi mempunyai anak penurut, tapi bermimpilah mempunyai anak yang bisa diajak bekerjasama. Mari kita ciptakan Indonesia Layak Anak dimulai dari rumah, lingkungan RT, RW, Kelurahan, dan seterusnya,” tutup Kak Seto.