Perceraian Meningkat, DKP3A Kaltim Gelar Konseling Catin

Samarinda — Untuk mencegah terjadinya kasus perceraian yang semakin meningkat perlu adanya komitmen antara pemerintah, LM dan stakeholder terkait untuk bersinergi bersama-sama mempunyai program bagi para remaja baik laki-laki maupun perempuan yang kelak akan menjadi calon pengantin.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad mengatakan, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.

Pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua hati dan dua individu, akan tetapi yang penting apa tujuan dari pernikahan itu sendiri. Untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar saling mengerti dan tepo seliro untuk mencapai kebahagiaan yang diinginkan.

“Namun dalam perjalanannya berumah tangga pasti akan menemui problematika dalam kehidupan yang semula tidak kita bayangkan akan terjadi ternyata tidak seperti dulu semua berjalan dengan manis gimana Semua terlihat indah terasa bahagia  serasa dunia milik kita berdua,” ujar Halda pada kegiatan Advokasi / Konseling Calon Pengantin, berlangsung di Ruang Rapat Kartini DKP3A Kaltim, Selasa (20/10/2020).

Tujuan perkawinan yang ideal, lanjut Halda, tidak mudah digapai karena banyak kendala atau permasalahan yang menuntut setiap pasangan harus lebih arif menyikapinya tidak menyalahkan satu dengan lainnya.

Selain itu, keterbatasan ruang gerak anggota keluarga di masa pandemic Covid-19 akan menimbulkan kejenuhan yang berujung pada ketidakharmonisan rumah tangga jangan sampai pandeminya berlalu keluarga meninggalkan masalah yaitu banyaknya yang bercerai.

Kasus perceraian dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang Kompleks seperti masalah ekonomi  dan orang ketiga (another woman or man) serta KDRT.

Halda menambahkan, di Kaltim pada tahun 2018 kasus perceraian tercatat sebanyak 2249 kasus Kemudian pada tahun 2019 jumlahnya meningkat menjadi 7803 kasus.

“Kasus perceraian di Kota Samarinda adalah yang tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya yaitu sebanyak 2665 kasus dimana 70% kasus karena gugat cerai dari istri dan 30% talak cerai dari suami dan kasus perceraian kebanyakan di usia 40 tahun ke bawah,” terang Halda.

Melihat data ini, Pemerintah Provinsi Kaltim berupaya untuk mencari solusi untuk menekan angka perceraian tersebut salah satunya adalah kegiatan Advokasi/Konseling bagi Catin.

Halda juga berpesan, saat mengarungi bahtera rumah tangga beberapa kunci ketahanan dalam membina rumah tangga adalah sabar, hidup sederhana, gotong royong dalam rumah tangga, adanya komunikasi antar anggota keluarga dan komitmen suami dan istri.

Kegiatan ini diikuti 20 pasang catin. Hadir menjadi narasumber Kepala KUA Samarinda Ilir Imtiqa dan Psikolog Yayasan Sinar Talenta Widarti.(dkp3akaltim/rdg)

Konvensi HaK Anak Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Samarinda — Perubahan banyak terjadi baik sebelum maupun sesudah masa pandemic Covid-19, sehingga kebutuhan anak-anak tak seharusnya menjadi berbeda. Anak-Anak masih butuh dianggap mampu, butuh bersosialisasi dengan teman, butuh tantangan, dan tetap butuh dunia yang memberikan masa depan untuknya.

Sayangnya, kondisi saat ini terjadi pembatasan sosial yang menuntut remaja harus mampu menahan diri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, baik dalam pemenuhan hak bermain maupun belajar.

“Diperlukan kearifan banyak pihak dalam hal ini orang tua, guru, masyarakat dalam menyikapi kondisi yang ada, sehingga apa yang terjadi tidak melanggar ketentuan Konvensi Hak Anak,” ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad pada kegiatan Pelatihan Konvensi Hak Anak Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan se Kaltim, berlangsung di Hotel Grand Victoria Samarinda, Selasa (20/10/2020).

Konvensi Hak Anak (KHA), lanjut Halda, merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, yang artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tersebut terikat pada janji-janji yang ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya. KHA merupakan sebuah perjanjian hukum international tentang hak-hak anak, secara sederhana dapat dikelompokkan kedalam 3 hal, pertama, mengatur tentang pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk dilindungi, dipenuhi dan ditingkatkan.

“Kami sampaikan bahwa saat jumlah Sekolah Ramah Anak di Provinsi Kalimantan Timur telah mencapai 241 sekolah yang tersebar di 9 kabupaten/kota kecuali Kabupaten Mahakam Ulu belum menginisiasi,” terang Halda.

Adapun salah satu prasyarat Sekolah Ramah Anak adalah para guru dan tenaga kependidikan sudah terlatih KHA sehingga mampu mengimplementasikan di sekolah masing-masing. Sehingga, akhirnya sekolah menjadi ramah anak dan bebas kekerasan.

Sebagai informasi, Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) di Kaltim sebanyak 11 RBRA. Saat ini dalam proses standardisasi oleh Kemen PPPA dan Kaltim sebagai Pilot Project RBRA. Sementara Tempat Ibadah Ramah Anak sebanyak 21 MRA dan Pelayanan ramah anak di puskesmas (PRAP) sebanyak 45 PRAP.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 573 partisipan online dan offline terdiri dari Dinas PPPA se Kaltim, tenaga pendidik dan kependidikan tingkat SD/ MI, SMP/MTs, SMA/ SMK/ MAN dan SLB. Hadir menjadi narasumber Fasilitator KLA Pusat Hamid Pattilima. (dkp3akaltim/rdg)

Kekerasan Anak Masih Marak Terjadi, Perkuat SDM Penyedia Layanan

Saat ini, masih banyak anak yang mengalami kekerasan, eksploitasi, hingga stigmatisasi, dan perlakuan salah lainnya.

Banyaknya persoalan yang mengancam 80 juta anak Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pihak dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Oleh karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan rangkaian Pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Manajemen Kasus bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyedia Layanan Perlindungan Anak. Pelatihan ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan, keterampilan, dan sensitifitas mereka dalam menangani kasus anak, sehingga upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) dapat berjalan optimal.

“Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kemen PPPA pada 2 Oktober 2020, terdapat sebanyak 6.051 kasus kekerasan terhadap anak, dengan jumlah korban anak laki-laki sebanyak 1.929 dan anak perempuan sebanyak 4.762. Data ini baru yang terlaporkan saja, masih banyak kasus kekerasan lainnya yang mungkin dialami anak tanpa kita ketahui. Untuk menangani hal ini, diperlukan upaya perlindungan anak yang holistik agar anak dapat terlindungi baik secara fisik dan mental, salah satunya dengan memperkuat koordinasi lintas sektor melalui penyediaan layanan yang ramah anak dan berbasis hak anak,” ungkap Deputi Bidang perlindungan Anak, Nahar dalam sambutannya pada Pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Manajemen Kasus bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyedia Layanan Perlindungan Anak yang dilaksanakan secara offline dan online (16/10).

Salah satu upaya Kemen PPPA dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus dan perlakuan salah lainnya di Indonesia adalah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Hingga saat ini, UPTD PPA sudah terbentuk di 28 Provinsi dan 70 Kabupaten/Kota di Indonesia.

Nahar menjelaskan pada praktIknya, UPTD PPA dalam menangani kasus anak, baik anak sebagai korban, pelaku, maupun saksi, tidak bisa berperan sendiri. Dalam menangani kasus tentu para pemberi layanan akan bersinggungan dengan Aparat Penegak Hukum (APH), mulai dari proses penyidikan hingga persidangan. Untuk itu, dibutuhkan kesamaan persepsi antara APH dan petugas UPTD PPA saat menangani kasus bersama, sehingga kasus dapat diselesaikan dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban, pelaku ataupun saksi.

Saat ini, Kemen PPPA telah menyusun desain rencana strategis Penurunan Kekerasan Terhadap Anak tahun 2020-2030. Rencana strategis ini memprioritaskan aksi pencegahan kekerasan pada anak dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat; memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan kasus kekerasan pada anak; dan melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus kekerasan pada anak agar bisa dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komprehensif.

Libatkan Forum Anak Kampanyekan Protokol Kesehatan Keluarga

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak Forum Anak di seluruh Indonesia untuk mengambil peran dalam meminimalisasi penyebaran Covid-19 di kluster keluarga. Menteri Bintang meminta seluruh pihak terlibat dalam sosialisasi dan kampanye secara masif terkait Protokol Kesehatan Keluarga kepada masyarakat disesuaikan dengan kearifan lokal tiap-tiap daerah. Peran Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor dinilai memiliki peran penting di lingkungan sebaya untuk mencegah penyebaran virus.

“Apresiasi setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih bunda sampaikan kepada Forum Anak di seluruh Indonesia atas kerja nyata melalui berbagai kegiatan yang telah kalian lakukan dalam meningkatkan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di masa situasi sulit ini terhadap rekan-rekan sebaya di seluruh Indonesia. Kalian adalah anak-anak yang luar biasa,” tutur Menteri Bintang dalam Dialog dan Sosialisasi Protokol Kesehatan Keluarga Bersama Forum Anak di Seluruh Indonesia (17/10).

Dilibatkannya Forum Anak dalam kampanye sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo kepada Menteri Bintang pada 24 September 2020 untuk kembali gencar melakukan Kampanye 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) khususnya di lingkungan keluarga. Instruksi ini didasarkan pada meningkatnya jumlah klaster keluarga pada September lalu yaitu 1.100 klaster (Data Kementerian Kesehatan). Penyebaran di klaster dalam keluarga ini disebabkan karena adanya anggota keluarga yang terpapar Covid-19 di luar rumah. Jika tidak ditangani segera, klaster ini dikhawatirkan akan mempercepat perluasan klaster Covid-19 di Indonesia.

Presiden Joko Widodo melalui Kemen PPPA untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan wabah Covid-19 pada klaster keluarga. Anak-anak harus mengambil peran untuk mengampanyekan 3M tersebut, yaitu selalu memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. Hal ini bertujuan untuk melindungi seluruh anggota keluarga kita dari penularan Covid-19; memberikan penanganan tepat pada anggota keluarga yang rentan berisiko; serta memastikan setiap anggota keluarga memperoleh informasi yang benar, terkini, dan relevan tentang pencegahan dan penanganan Covid-19.

Lebih lanjut Menteri Bintang juga menyampaikan pentingnya peran serta pemerintah daerah melalui Dinas terkait untuk menyosialisasikan Protokol Kesehatan Keluarga.

”Kami tunggu kerja nyata daerah masing-masing agar bisa menekan keterpaparan Covid-19 di kluster keluarga. Pentingnya upaya dengan bersinergi bersama, untuk bisa memperkuat pencegahan dan penanganan Covid-19 di Indonesia,” tutup Menteri Bintang.

Kemen PPPA bersama Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun Protokol Kesehatan Keluarga sebagai panduan untuk melakukan prinsip pencegahan dan pengendalian penularan Covid-19 dalam keluarga. Protokol ini mengatur 4 (empat) pokok bahasan penting, yaitu Protokol Kesehatan dalam Keluarga Secara Umum, Protokol Kesehatan Ketika ada Anggota yang Terpapar; Protokol Kesehatan Keluarga Ketika Beraktivitas di Luar Rumah, dan Protokol Kesehatan di lingkungan Sekitar Ketika Ada Warga yang Terpapar. Untuk memudahkan masyarakat dalam memahami Protokol Kesehatan Keluarga, Kemen PPPA telah membuat materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) terkait protokol tersebut yang dapat diakses di http://bit.ly/protokolkesehatankeluarga.

Kekerasan Berdampak Terhadap Perkembangan Anak

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan dampak kekerasan dapat terjadi jangka pendek maupun jangka panjang, baik untuk diri anak sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi negara.

Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak bervariasi tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, kekerasan yang dialami oleh anak akan mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan fisik anak. Berbagai dampak negatif dapat ditimbulkan akibat kekerasan yang dialami oleh anak, seperti dampak kekerasan fisik, dampak kekerasan psikis dan dampak kekerasan sosial.

“Dampak kekerasan fisik, yakni dampak yang dirasakan oleh anak berupa sakit secara fisik, seperti luka-luka atau memar, bahkan sampai mengalami kematian. Dampak fatal dari kekerasan fisik pada anak dapat menyebabkan cacat permanen,” ujarnya.

Halda melanjutkan, dampak kekerasan psikis seperti gangguan kejiwaan atau gangguan emosi pada anak. Dampak kekerasan ini sangat berakibat fatal bagi pertumbuhan dan perkembangan mental anak. Bahkan dampak yang sangat fatal dapat berupa percobaan bunuh diri. Sementara dampak kekerasan sosial berupa penelantaran hak-hak anak. Korban kekerasan eksploitasi anak yang dipaksa bekerja atau anak yang dinikahkan pada usia dini akan menghilangkan hak anak untuk tumbuh kembang yang lebih baik dan untuk mendapatkan masa depan yang baik.

Terkait kasus kekerasan terhadap anak, Halda menyampaikan merupakan fenomena gunung es. Ketika Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) telah mampu memfasilitasi pelaporan kejadian kekerasan dan masyarakat telah berani melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di wilayahnya, fenomena gunung es ini mulai terkuak.

“Tindak kekerasan terhadap anak yang tercatat pada pelaporan SIMFONI-PPA di Kalimantan Timur cukup bervariasi. Yang terbanyak yakni kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Kekerasan terhadap anak banyak terjadi di dalam rumah tangga anak itu sendiri, serta kekerasan yang terjadi di sekolah.” imbuh Halda.

Kenaikan jumlah kasus kekerasan menjadi warning bagi Pemerintah Kaltim dalam mengambil langkah strategis untuk mengatasi kekerasan terhadap anak.

Berbagai layanan untuk korban kekerasan anak telah diberikan sesuai dengan kasus kekerasan yang dialami, yakni berupa layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, penegakan hukum, reintegrasi sosial, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan pendampingan tokoh agama.

Sehingga, lanjut Halda, mengembangkan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) perlu terus di pertahankan yang telahbanyak tersebar di wilayah Kaltim. DKP3A Kaltim juga menggandeng Forum Anak sebagai Agen Pelopor dan Pelapor agar dapat menjembatani berbagai informasin yang ada terutama tentang kekerasan terhadap anak.

“Selain itu, perubahan pola pikir mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) khususnya bagi anak perempuan. Sosialisasi untuk mengubah pola pikir sangat diperlukan agar anak dapat menerima pendidikan dan layanan mengenai HKSR, sehingga diharapkan tidak ada lagi kejadian kekerasan seksual terhadap anak,” tegas Halda.

Sebagai informasi, berdasarkan data Simfoni-PPA kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2016 sebanyak 185 kasus, 2017 sebanyak 311 kasus, 2018 sebanyak 283 kasus, 2019 sebanyak 366 kasus dan per Oktober 2020 sebanyak 204 kasus. (dkp3akaltim/rdg)

Pengolahan Analisis Data Kekerasan Terhadap Anak

Samarinda — Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melaksanakan kegiatan Pengolahan Analisis Data Kekerasan Terhadap Anak, Jumat (16/10/2020).

Kepala Bidang Sistem Informasi Gender dan Anak Iwan Heriawan mengatakan, negara memiliki kewajiban untuk menjamin agar setiap anak memiliki peluang terbaik untuk tumbuh sehat memperoleh akses pendidikan yang layak yang nantinya akan menjadi warga negara yang produktif di masa depan. Negara harus mampu melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak memiliki hak dasar,  yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk dilindungi baik dari sisi kekerasan, eksploitasi maupun perlakuan lainnya dan hak untuk partisipasi.

Kekerasan terhadap anak menjadi perhatian di seluruh negara karena kasus tersebut memang tidak terjadi di negara berkembang saja tetapi juga di negara maju. Bahkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs)  secara khusus telah memasukkan aspek mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap anak menjadi target yang harus dicapai pada tahun 2030.

“Hal ini tertuang pada tujuan 5 dari TPB yakni meraih kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dan anak-anak perempuan dan tujuan 16 yakni menguatkan masyarakat inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif akuntabel dan inklusif untuk semua tingkatan,” ujarnya.

Iwan melanjutkan, Pemerintah berkomitmen untuk melindungi anak dari segala kekerasan sehingga melalui kegiatan ini diharapkan dapat diperoleh profil anak di Kaltim, mengetahui perkembangan kasus dan gambaran tentang kekerasan terhadap anak di Kaltim dan memberikan masukan kebijakan dalam sistem pelaporan kasus kekerasan terhadap anak. (dkp3akaltim/rdg)

Transportasi dan Ruang Publik yang Tidak Ramah Anak Picu Kekerasan Pada Anak

Moda transportasi dan ruang publik yang tidak ramah anak dapat memicu kasus kekerasan dan diskriminasi pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus berupaya memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menghadirkan moda transportasi dan ruang publik yang nyaman dan ramah untuk digunakan anak. Setiap anak Indonesia berhak untuk mendapatkan penunjang gerak yang aman dari kekerasan, diskriminasi serta tidak menghambat tumbuh kembangnya.

Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Rohika Kurniadi Sari mengatakan, membangun infrastruktur ramah anak adalah membangun sumber daya manusia (SDM) ke depan, tidak hanya upaya membangun secara fisik, tapi juga membangun kultur sosial yaitu perilaku masyarakat untuk menghargai dan disiplin mengikuti aturan infrastruktur tersebut.

“Hal ini harus dilaksanakan berdasarkan kearifan lokal setiap daerah, dan tentunya memerlukan kolaborasi semua pihak melalui langkah konkrit demi mewujudkan kepentingan terbaik bagi 80 juta anak Indonesia. Membangun moda transportasi dan ruang publik ramah anak merupakan salah satu kontributor dalam mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA 2030),” ujarnya dalam Diskusi Publik Infrastruktur Ramah Anak dengan tema “Moda Transportasi dan Ruang Publik Ramah Anak” yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (13/10/2020).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi contoh praktik baik yang telah menghadirkan moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Prestasi ini diharapkan dapat memotivasi Provinsi lain untuk ikut mereplikasi praktik tersebut demi mengoptimalkan tumbuh kembang seluruh anak Indonesia.

“Praktik ini sangatlah penting dan harus dilaksanakan semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media massa juga harus turut serta bertanggungjawab menghadirkan infrastruktur yang ramah anak,” ujar Rohika.

Pemprov DKI Jakarta telah menghadirkan enam Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersertifikasi ramah anak. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga berkomitmen bersama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyedia transportasi publik untuk menghadirkan pos pencegahan dan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu sebanyak 23 pos di halte Transjakarta, 13 pos di stasiun MRT dan 6 pos di Halte LRT.

Pemprov DKI Jakarta juga telah menyediakan 177 unit bus sekolah yang menayangkan materi KIE terkait stop bullying, menyediakan lebih dari 300 unit bus transjakarta dengan lantai yang rendah (lower tier deck) agar memudahkan ibu hamil, anak, dan lansia saat menggunakannya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI), Luhur Budijarso mengungkapkan bahwa dunia usaha di bawah APSAI terus berupaya memberikan dukungan dalam membangun tumbuh kembang anak melalui infrastruktur ramah anak, khususnya terkait moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Adapun salah satu peran dunia usaha dalam mendukung upaya tersebut yaitu menyediakan bisnis berupa alat transportasi atau jasa dan layanan yang ramah anak dengan memegang komitmen 3P, meliputi policy (kebijakan), product (produk), dan program.

Widyaiswara Ahli Utama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Sri Cahaya Khoironi mengungkapkan budaya keamanan cyber belum sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan di ranah publik. Seringkali posisi anak dalam ekosistem layanan publik agak terabaikan. Padahal keamanan cyber adalah hal yang mutlak, mengingat kejahatan di dunia maya terus berkembang sesuai kemajuan teknologi.

Berdasarkan data Kominfo pada September 2020, penanganan konten negatif pada situs internet mencapai 1,3 juta konten. Konten pornografi masih menjadi masalah utama yang menjerat anak di internet yaitu sebanyak satu juta konten, baik anak disasar sebagai pengguna maupun ikut serta dalam konten pornografi tersebut. Hal ini menunjukkan secara infrastruktur masih banyak permasalahan. Untuk itu, diperlukan strategi keamanan siber sebagai kunci perlindungan anak yang harus dibangun berawal dari keluarga dan anak, tentunya harus dikawal secara kolaborasi dengan melibatkan lintas sektor baik pemerintah, dunia usaha, media massa, dan masyarakat.

Keluarga Agen Utama Perubahan Perilaku Mencegah Penularan Covid-19

Sejak merebaknya Covid-19 di klaster keluarga, pemerintah memfokuskan kampanye 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan dan Menjaga Jarak) pada keluarga yang memiliki peran sentral sebagai ujung tombak edukasi perubahan perilaku. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun Protokol Kesehatan Keluarga sekaligus telah merilis materi KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) agar Protokol Kesehatan Keluarga dapat dipahami dengan mudah.

Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA mengatakan, penyebaran virus Corona ini sangat cepat. Setiap anggota keluarga berpotensi menularkan dan tertular karena interaksi secara terus menerus. Kampanye patuh 3M ini harus sering dilakukan karena diakui, mengubah perilaku untuk hidup sehat dan bersih di masyarakat itu tidak mudah.

“Di dalam keluarga itu sendiri, peran Ibu sebagai manajer rumah tangga menjadi sangat penting,” ujar dalam sambutan pada Webinar Peran Sentral Keluarga Dalam Pencegahan Covid-19 di Jakarta, Rabu (14/10/2020).

Sementara itu Juru Bicara Kemen PPPA, Ratna Susianawati menjelaskan edukasi pencegahan penyebaran Covid-19 harus dimulai dari kedisiplinan di dalam rumah, di luar rumah saat beraktifitas hingga saat anggota keluarga tiba kembali di rumah. Peran Ibu disini dapat terlibat untuk memastikan setiap anggota keluarga aman dan tidak terpapar.

“Peran keluarga sangat besar untuk terlibat dalam pencegahan penyebaran virus Corona karena keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial yang diberikan tanggungjawab pertama untuk mengatur perilaku yang dikehendaki pemerintah. Dalam hal ini, keluarga dan anggota di dalam rumah sekaligus menjadi agen utama pelaku sosialisasi agar setiap individu tergerak dan bertanggungjawab menjalankan protokol kesehatan serta saling menjaga satu sama lain. Sosok Ibu dalam keluarga menjadi pengawas yang memastikan keluarga aman,” tegas Ratna Susianawati.

Agar pesan 3M dan Protokol Kesehatan Keluarga ini massif dan diterima dengan baik oleh masyarakat, Kemen PPPA menurut Ratna bersinergi dengan banyak pihak yaitu Organisasi Perempuan seperti OASE, KOWANI , dan PKK , Lembaga Masyarakat, Dinas PPPA di seluruh Indonesia, Forum Anak dan Media Massa. Selain itu, Kemen PPPA juga terus mengaktifkan gerakan BERJARAK (Bersama Jaga Keluarga Kita) yang sudah dilakukan sejak bulan April lalu. KIE Protokol Kesehatan Keluarga dapat diakses di portal berjarak.kemenpppa.go.id dan di akun media sosial Kemen PPPA. Mengingat masyarakat Indonesia yang sangat heterogen maka setiap daerah dapat menyesuaikan KIE yang tersedia disesuaikan dengan bahasa dan kearifan lokal.

“Dimulai dari diri sendiri harus sehat, bila tidak sehat harap tidak bepergian. Orang yang sehat dan beraktifitas di luar harus memakai masker, membawa hand sanitizer dan jaga jarak minimal 1 meter. Ketika tiba di rumah, orang bersangkutan harus mempertimbangkan anggota keluarga di rumah sehingga seperti tercantum di Protokol untuk segera mandi sebelum berinteraksi,” ujar Kasubdit Kapasitas Kerja di Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga, Kementerian Kesehatan Rusmiyati.

Menjaga jarak diakui Rusmiyati banyak dilanggar masyarakat. Dari Hasil Survei Kepatuhan Masyarakat oleh Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Litbangkes, meskipun 96,6% dari 19.654 responden paham untuk menjaga jarak, namun prakteknya hanya 54,29% responden yang taat. Itu sebabnya Rusmiyati berpendapat, kampanye harus semakin massif dilakukan.

 

DKP3A Kaltim Dorong Percepatan Pembangunan Dengan SIGA

Samarinda — Dalam rangka percepatan pembangunan daerah memanfaatkan data, informasi gender dan anak merupakan salah satu instrumen penting dalam melaksanakan perencanaan maupun evaluasi program/kegiatan pembangunan di daerah.

Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan, data gender dan anak dapat membantu para pengambil keputusan untuk mengidentifikasi kondisi perkembangan laki-laki dan perempuan, mengevaluasi dampak dari intervensi pembangunan, mengidentifikasi masalah, membangun dan memilih opsi yang paling efektif untuk kemaslahatan perempuan dan laki-laki.

Agar pengelolaan database lebih optimal perlu didukung suatu aplikasi yang dapat menyimpan, menambah, mengubah, menghapus maupun mengaksesnya. Menyadari pentingnya data terpilah maka perlu adanya pengembangan aplikasi Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) di Kaltim.

Dengan adanya aplikasi SIGA sehingga dapat mempermudah dalam penyusunan kebijakan, program dan kegiatan,” ujar Halda saat menjadi narasumber pada kegiatan Pengumpulan Data Terpilah berlangsung secara virtual, Kamis (15/10/2020).
Halda menambahkan, data terpilah gender dan anak sangat penting untuk digunakan sebagai bahan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian kegiatan bagi OPD. Disamping itu juga perlunya menyusun analisis gender dalam perencanaan dan penganggaran responsif gender.

Data terpilah berdasarkan jenis kelamin menjadi inti dalam menghasilkan statistik gender (pedoman data gender) yaitu informasi yang mengandung isu gender termasuk di dalamnya isu anak, sebagai hasil analisis gender.

Halda melanjutkan, gender dan anak merupakan isu lintas sektor yang melibatkan stakeholder berbagai bidang pembangunan. Saat ini struktur pengelolaan data terkait gender dan anak belum terdata dengan baik serta kondisi SDM yang masih perlu ditingkatkan. Banyaknya sumber data yang tersedia dan tidak terpusat menjadi salah satu tantangan dalam menyediakan bahan penyusunan kebijakan program dan kegiatan.

“Karena data gender dan anak menjadi elemen pokok bagi terselenggaranya PUG dan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA),” imbuh Halda.
Halda berharap adanya peningkatan koordinasi antar pengelola data, untuk mewujudkan suatu sistem pengelolaan data dan informasi gender dan anak yang bersinergi dan berintegrasi serta tersedianya data terpilah yang akurat.

Selain itu harus didukung oleh SDM yang paham terkait pentingnya data terpilah dan terampil dalam pengelolaan dan harus di dukung oleh ketersedian sarana dan prasarana. Peningkatan kapasitas SDM dapat dilakukan melalui diklat, pemanfaatan forum diskusi, raker teknis, kerjasama dan penguatan jejaring untuk meningkatkan. (dkp3akaltim/rdg)

Potensi Penularan Covid-19 di Kaltim Masih Tinggi

Samarinda — Hingga Selasa 13 Oktober 2020, perkembangan kasus konfirmasi positif virus Corona (Covid-19) di wilayah Kaltim masih menunjukkan angka peningkatan yang signifikan.

Diungkapkan Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kaltim Andi Muhammad Ishak, bahwa terkonfirmasi positif Covid-19 ada penambahan 108 kasus dari Kukar 24, Kutim 11, Paser 11, Bontang 35, Samarinda 27, sehingga total sebanyak 10.837 kassus.
Sementara itu yang sembuh ada penambahan 31 kasus dari Kular 20, Kutim.5, Paser 3, PPU 1, Bontang 2, sehigga total sembu 7.655 kasus dan yang meninggal dunia ada penambahan 2 kasus dari PPU 1dan Balikpapan 1 sehingga total meninggal 419 kasus, dan yang masih dirawat 2.763 kasus.

Melihat data perkembangan Covid-19 di Kaltim menandahkan bahwa penularan terus terjadi dan kecendrungannya juga masih terus ada, oleh karena itu masyarakat perlu memahami bahwa potensi penularan masih sangat tinggi, sehingga kebijakan untuk meningkatkan kesadaran untuk disiplin melaksanakan protokol kesehatan dari seluruh komponen masyarakat.

“Mari kita terus tingkatkan kesadaran dalam melaksanakan protokol kesehatan dengan benar dimanapun kita berada dan apapun aktivitas yang dilakukan,” kata Andi Muhammad Ishak. Selasa (13/10/2020).

Menurutnya, dengan meningkatkan kesadaran semua pihak dan seluruh lapisan masyarakat dengan ketat melaksanakan protokol kesehatan dengan baik, maka pencengahan penularan Covid-19 dapat ditekan.

“Oleh karena itu, kesadaran seluruh lapisan masyakat untuk taat dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan, akan menjadi penentu apabila kita ingin menurunkan tingkat positif di Kaltim,” pesannya.

Yang perlu dilakukan saat ini lanjut Andi adalah bagaimana bersama-sama ikuti anjuran pemerintah dan ikuti protokol kesehatan. Mulai jauhi berkumpul banyak orang hingga larut malam. Gunakan masker keluar rumah. Rajin mencuci tangan dengan sabun atau handsanitizer.
Jika masyarakat mengabaikan itu semua, maka secara tidak langsung berupaya menularkan virus tersebut kepada sesama.

“Angka perkembangan konfirmasi Covid kita di Kaltim sudah sangat mengkhawatirkan setiap hari diatas 100 lebih setiap hari, Makanya, saat ini mari bersama mencegah penularan dan terus berupaya menjaga kesehatan kita maupun keluarga. Sehingga tak tertular, dengan selalu menerapkan protokol kesehatan dengan baik,” kata Andi Muhammad Ishak.