Samarinda --- Kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami peningkatan, korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa namun sekarang sudah merambah ke remaja, anak-anak bahkan balita.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan dalam upaya menghadapi kekarasan seksual maka pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduks (sex education) sudah seharusnya diberikan sejak usia anak-anak hingga beranjak remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal.
Melihat berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih pro kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih berpandangan stereotype dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.
"Adapun bahwa pendidikan seksual idealnya diberikan secara bertahap, perlahan-lahan sesuai umur dan kebutuhan," ujar Soraya pada kegiatan Seminar Sex Education For Kids, berlangsung di Hotel Mercure Samarinda, Senin (22/4/2024).
Tindakan kekerasan seksual tentunya membawa dampak emosional dan fisik pada korbannya. Faktor penyebab kekerasan seksual ini antara lain bisa dari faktor keluarga. Maksudnya anak dari korban perceraian, atau berasal dari keluarga yang tidak utuh, kondisi emosi timbul akibat rasa sakit yang timbul akibat perceraian. rasa sakit yang ada pada diri individulah yang kemudian menjadi pemicu ketidakstabilan emosi.
"Selanjutnya faktor lingkungan. Faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau rawan, dapat menjadi pemicu bagi anak/remaja untuk berperilaku tidak wajar," imbuh Soraya. Faktor lainnya yaitu faktor nilai, seperti pernikahan usia anak yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, telah berlangsung sejak lama dan masih bertahan sampai sekarang. Selain karena alasan ekonomi, dorongan ingin menikah, dan rendahnya pendidikan orang tua, pernikahan usia anak banyak disebabkan karena pergaulan bebas yang berakibat terjadinya hamil sebelum nikah.
Berdasarkan sumber data Kanwil Kemenag, pada tahun 2023 angka pernikahan usia anak di Provinsi Kalimantan Timur cukup tinggi yakni sebesar 685 anak, terdiri dari 141 anak laki-laki dan 544 anak perempuan.
Sementara berdasarkan data Sistem Informasi Online perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per Maret 2024, jumlah korban kekerasan sebanyak 185 anak sedangkan 94 orang dewasa.
"Tertinggi di Kota Samarinda sebanyak 75 kasus, Kabupaten Kutai Kartanegara 52 kasus, Balikpapan 32 kasus, Bontang 29 kasus, Kutai Timur 27 kasus, Kutai Barat 14 kasus, Berau 11 kasus, Paser 5 kasus, Penajam Paser Utara 2 kasus dan Mahakam Ulu 0," terang Soraya.
Untuk persentase dari jumlah korban kekerasan berdasarkan bentuk kekerasan yang tertinggi yakni kekerasan seksual 43,7%, kekerasan fisik 28,1%, dan kekerasan psikis 15,6%. Sedangkan berdasarkan pekerjaan maka persentase dari jumlah kekerasan tertinggi terjadi pada pelajar 47%.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, lanjut Soraya, berkomitmen dalam mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sebagai bagian dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak untuk mencegah dan mengatasi permasalahan kekerasan pada anak.
Upaya Perlindungan dan pemenuhaan hak-hak anak sebagai perwujudan Kabupaten/Kota Layak Anak tentunya tidak terlepas dari peran serta Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor yang diwadahi dalam Forum Anak.
Soraya berharap, melalui kegiatan ini dapat mengenal pentingnya batasan-batasan dalam hubungan antar manusia dan bahaya-bahaya yang ada di lingkungan luar. Tujuannya agar anak-anak mengetahui apa saja pengetahuan yang patut didapatkan di usianya dan mencegah anak melakukan aktivitas seksual yang tidak benar, serta mengimplementasikan dalam perannya sebagai Pelopor dan Pelapor (2P) dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak.
Kegiatan ini diikuti oleh pelajar SMA sederajat lingkup KOta Samarinda. forum Anak Samarinda dan Forum Anak Kaltim. (dkp3akaltim/rdg)