Samarinda --- Dua permasalahan kesehatan yang harus segera diatasi adalah kasus AIDS dan TB. Kedua penyakit tersebut menjadi komitmen global dalam Sustainability Development Goals (SDGs) untuk pengendaliannya. Baik HIV-AIDS maupun TB merupakan penyakit menular yang jumlah kasusnya cenderung semakin bertambah. Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, pada Bimtek PPRG Dalam Pencegahan dan Pengendalian HIV-AIDS dan TB Paru, mengatakan berdasarkan data dari WHO penyakit TBC sebagai kedaruratan global. Pada saat ini menyebabkan 3 juta kematian dan 9 juta penderita baru setiap tahunnya. “Data Kementerian Kesehatan RI, Indonesia termasuk nomor 2 terbanyak di dunia setelah India dan China. Mengacu pada angka estimasi insidens oleh Kementerian Kesehatan yaitu 0,6 % dari jumlah penduduk di Kaltim saat ini kurang lebih 3,5 juta jiwa, diperkirakan terdapat 7800 penderita TB dengan BTA (+) pemeriksaan bakteri tahan asam,” ujarnya. Selanjutnya, pertambahan penderita setiap tahunnya sebesar 0,15% atau 3.850 penderita TB, sedangkan penemuan penderita setiap tahunnya hanya sebanyak 2.200 orang atau 42,5%. Artinya masih banyak lagi penderita TBC di masyarakat yang belum diketahui. Dari kondisi seperti ini diperkirakan jumlah penderita TB di Kaltim akan meningkat 2 kali lipat dari tahun 21, padahal lebih dari 75% penderita TB menyerang usia produktif sehingga akan menjadi ancaman terhadap pembangunan bangsa khususnya di Kaltim. “Ancaman ini nampaknya akan lebih besar lagi apabila kita memasukkan faktor epidemik HIV/AIDS, yang kini mulai meningkat di Kaltim,” katanya. Salah satu upaya Kementerian PPPA dalam pencegahan dan pengendalian penyakit TBC dan HIV/AIDS adalah menyusun pedoman pengarusutamaan gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran Rresponsif Gender (PPRG) ke dalam program dan pelaksanaan yang dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan penganggaran, monitoring dan evaluasi harus merefleksikan perspektif gender. Lanjutnya, perbandingan proporsi penderita laki-laki dan perempuan dua banding satu. Selain itu didukung salah satu faktor resiko tinggi mayoritas terjadi pada laki-laki melalui lelaki sex lelaki (LSL) 21%, serta heteroseksual 13%. Meskipun secara keseluruhan dalam rentang 2005-2019 perempuan cenderung lebih kecil proporsi kasusnya, terlihat peningkatan yang cukup signifikan. Penderita HIV dari kasus ibu rumah tangga pada tahun 2019 sebesar 16.618 orang, angka tersebut menduduki kasus terbesar setelah karyawan. Selain IRT, ibu hamil melalui 88 buah layanan pencegahan penularan ibu ke anak Kemenkes terdata 10.235 orang positif HIV pada rentan 2017-2019, hanya 488 diantaranya menjalani pengobatan anti retrovirat treatment (ART) dan 3.971 baru akan memulai ART. “ini memperlihatkan bahwa perempuan banyak terpapar resiko meskipun berprilaku aman dan sehat,” imbh Halda. Dari data diatas, ada isu gender yang perlu mendapat perhatian dalam upaya penanggulangan TBC dan HIV/AIDS. Dari aspek epidemiologi TBC dan HIV/AIDS perempuan lebih rentan untuk terkena TBC dan HIV/AIDS dibanding laki-laki. Untuk mengatasi permasalahan HIV/AIDS dan TB paru perlu dilakukan secara komprehensif, kebersamaan, keterpaduan antara satu institusi dengan yang lainnya guna mencapi hasil yang optimal menuju Indonesia bebas TBC pada tahun 2050 dan menurunkan angka penderita HIV/AIDS. (DKP3AKaltim/rdg)