Samarinda --- Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sebagai payung hukum masyarakat yang mengalami KDRT.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran rumah tangga.
Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT antara lain adanya faktor balas dendam atau pelampiasan, karena pada masa sebelumnya ia berada di posisi korban.
“Adanya suatu konflik yang tidak diselesaikan melalui metode penyelesaian dan adanya faktor biologi atau turunan emosional,” ujar Soraya baru-baru ini.
Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada tahun 2021 jumlah kasus kekerasan sebanyak 450 kasus dengan 513 korban terdiri dari 174 korban dewasa (34%) dan 339 korban anak (66%).
Sementara data per 1 juli 2022 kasus kekerasan yang terjadi sebanyak 441 kasus dengan 462 korban terdiri dari 245 korban dewasa (53%) dan 217 korban anak (47%).
“Sedangkan data per 1 September kasus kekerasan yang terjadi sebanyak 579 kasus dengan 612 korban terdiri dari 308 korban (49,6%) dan 313 korban anak (50,45),” terang Soraya.
Kasus kekerasan tertinggi terjadi di Kota Samarinda sebanyak 293 kasus. Kekerasan terhadap anak terbanyak terdapat pada kekerasan seksual sebanyak 192 korban sedangkan pada dewasa terdapat pada kekerasan fisik sebesar 211 korban. Kekerasan terhadap anak dan perempuan terbanyak terjadi pada ranah rumah tangga yaitu 124 korban anak dan 184 korban dewasa
“Sementara untuk KDRT berjumlah 203 korban. Paling tinngi di Samarinda berjumlah 99 korban. Bontang 34 korban dan Balikpapan 24 korban,” imbuh Soraya
Peran DKP3A Kaltim sendiri, lanjut Soraya, memberikan dorongan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk lebih intens dalam sosialisasi kepada masyarakat atas bahayanya kekerasan ini. Di Tahun 2022 ini juga, pihaknya telah ke lapangan guna menginvestigasi sumber masalah tingginya kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
“Tim UPTD PPA turun ke lapangan, digali apa yang menjadi masalahnya. Itu yang kami lakukan di 2022,” ujarnya.
Ia juga mengimbau, agar masyarakat yang menyaksikan atau mengalami kekerasan agar berani melaporkan ke lembaga terkait. DKP3A Kaltim saat ini telah memiliki Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Ruhui Rahayu Kaltim dan UPTD PPA.
Puspaga berfungsi sebagai One Stop Service/Layanan Satu Pintu Keluarga Holistik Integratif Berbasis Hak Anak. Jenis layanan Puspaga adalah Layanan Konseling/Konsultasi dan Layanan Informasi. Sementara UPTD PPA Kaltim berfungsi memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami masalah kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus, dan masalah lainnya. (dkp3akaltim/rdg)