Sangatta --- Kasus perkawinan usia anak di Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan data Kanwil Kementerian Agama Kalimantan Timur tahun 2020 sebanyak 1.159 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 254 orang dan perempuan sebanyak 905 orang. Sementara berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun. Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita, mengatakan perkawinan usia anak berdampak buruk pada kualitas sumber daya manusia Indonesia, memaksa anak putus sekolah serta menjadi pengangguran sehingga menghambat program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah. “Perkawinan anak juga dapat menjadi penghambat agenda-agenda pemerintah hal ini dikarenakan perkawinan anak bisa menyebabkan ledakan penduduk karena tingginya angka kesuburan remaja Indonesia sehingga jika angka kelahiran remaja tidak dikendalikan,” ujar Soraya pada kegiatan Sosialisasi Penurunan Angka Perkawinan Usia, berlangsung di Hotel Royal Victoria Sangatta, Kamis (16/9/2021). Angka perkawinan usia anak di Kaltim selama tahun 2020 tertinggi terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kabupaten Paser, dan Kabupaten Kutai Timur. Sementara untuk kondisi perkawinan usia anak di Kaltim yaitu perempuan masih mendominsasi dalam kasus perkawinan uisa anak. Tahun 2019 kasus perkawinan usia anak mengalami penurunan 11,33% dan pada tahun 2020 mengalami kenaikan 27,09%. “Selain itu, juga dikarenakan kondisi pandemi Covid-19, pembelajaran jarak jauh, aksesbilitas pendidikan belum merata. Remaja rentan putus sekolah, perilaku rema variatif dan masalah pengasuhan dalam keluarga. Ditambah pengembangan KIE terbatas dan kurang optimal dikarenakan PPKM dan kebijakan lainnya,” imbuh Soraya. Soraya juga menyampaikan, bahwa Capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kaltim pada tahun 2020 adalah sebesar 85,70, mengalami penurunan dari pada tahun 2019 yaitu sebesar 85, 98. “Nilai tersebut adalah agregat dari nilai IPG kabupaten/kota. Pada tahun 2020, IPG Kaltim berada pada urutan ke 32 dari 34 provinsi. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya rata-rata lama sekolah anak perempuan, disamping penyebab lainnya yaitu rendahnya kontribusi perempuan pada sektor ekonomi,” terang Soraya. Untuk mencegah dan menyikapi tingginya angka perkawinan usia anak, Pemerintah terus melakukan berbagai upaya, seperti terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 tentang Perkawinan. Secara khusus Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, memandatkan lima arahan salah satunya isu pencegahan perkawinan anak. Kementerian Agama RI telah menerbitkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu batas usia perkawinan diubah menjadi usia 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Pemerintah Provinsi Kaltim terus berupaya melakukan upaya pencegahan dengan menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki sampai tingkat bawah diantaranya, sosialisasi pencegahan perkawinan usia anak melalui Forum Anak, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), 241 sekolah ramah anak, 61 puskesmas ramah anak, 21 tempat ibadah ramah anak, 11 ruang bermain ramah anak, dan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Selanjutnya terbitnya Instruksi gubernur Nomor 483/5665/III/DKP3A/2019 Tentang Pencegahan dan penanganan perkawinan usia anak dan Perda Ketahanan Keluarga pada tahun 2018. Selain itu DKP3A Kaltim juga menggandeng stakerholder terkait, menyediakan akses pada pendidikan formal, dan mempromosikan kesetaraan gender di tingkat akar rumput. “Sedangkan Dinas PPPA provinsi dan kabupaten/kota melakukan upaya-upaya pencegahan diantaranya penguatan pengasuhan dalam keluarga sehingga anak bisa menyaring hal positif dan negatif ketika berada di luar rumah,” terang Soraya. (dkp3akaltim./dell)