Loading...
PPPA

Kemen PPPA Terapkan Lima Strategi Pencegahan Perkawinan Anak

17 Juni 2021
Detail Berita

Bali --- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menerapkan lima strategi pencegahan perkawinan anak sebagai upaya menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia sekaligus mengantisipasi dampak negatif akibat perkawinan di bawah umur. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Agustina Erni mengatakan lima strategi untuk mencegah perkawinan anak di Indonesia meliputi optimalisasi kapasitas anak, menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pencegahan perkawinan anak, serta meningkatkan aksesibilitas dan perluasan layanan. Kemudian penguatan regulasi dan kelembagaan serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan. “Dengan mengoptimalisasikan kapasitas anak, kita memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan,” katanya dalam Rapat Koordinasi PPPA di Bali, Rabu, (16/6/2021). Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan ketahanan keluarga dan mengubah nilai dan norma perkawinan. Di sisi lain lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak dapat diciptakan dengan menguatkan peran orang tua, keluarga, organisasi sosial/masyarakat, sekolah, dan pesantren untuk mencegah perkawinan anak. “Untuk aksesibilitas dan perluasan layanan, kita berfokus pada strategi pelayanan untuk mencegah perkawinan anak dan pelayanan untuk penguatan anak pasca-perkawinan,” kata Agustina Erni. Ia juga menekankan pentingnya untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menguatkan kapasitas kelembagaan peradilan agama, KUA, dan satuan pendidikan. Termasuk penguatan proses pembuatan dan perbaikan regulasi, hingga penegakan regulasi. “Yang tidak kalah penting adalah meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak,” katanya. Kemen PPPA telah melakukan sejumlah langkah dalam upaya mencegah perkawinan anak antara lain revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 dengan UU Nomor 16 Tahun 2019, penyusunan RPP UU Nomor 16 Tahun 2019, menyusun RAN/Stranas pencegahan perkawinan anak, aktivasi Geber PPA (Kampanye Stop Perkawinan Anak), dan memberikan apresiasi pada gubernur dalam PPA. Selain itu juga menginisiasi penandatanganan pakta integritas 20 provinsi dengan angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional, integrasi kebijakan PPA dalam kebijakan KLA, koordinasi stranas PPA, penyusunan roadmap PPA bersama K/L, penyusunan peraturan desa PPA, dan pelatihan pembekalan paralegal berbasis komunitas dalam PPA. Agustina Erni mengatakan signifikansi pencegahan perkawinan anak mengingat pada 2018, Indonesia berada dalam 10 daftar negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia, berdasarkan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda (2020). Tercatat satu dari 9 anak menikah di Indonesia. Berdasarkan data Bappenas, BPS, sebanyak 47,90 persen, perempuan berusia 20-24 tahun putus sekolah karena menikah pada usia di bawah 18 tahun. “Di Indonesia perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun diperkirakan mencapai 1.220.900. Dan ini mencatatkan Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia,” katanya. Agustina Erni menambahkan, perkawinan anak mendatangkan dampak yang serius dari sisi kesehatan anak termasuk meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental, stunting, KDRT, hingga risiko perceraian yang meningkat. Sebagaimana data PUSKAPA UI menunjukkan pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Analisis data perkawinan anak dengan melihat perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum mereka berusia 15 dan 18 tahun dan juga perkawinan anak laki-laki. (birohukumdanhumaskpppa)