Loading...
PPPA

Masyarakat dan Anak Bergerak Bersama Lindungi Anak Korban Terorisme

19 April 2021
Detail Berita

Jakarta --- Sesuai Konvensi Hak Anak, setiap anak di Indonesia memiliki hak untuk bertumbuh dengan baik, didengarkan pendapatnya dan memiliki hak untuk menyampaikan informasi yang bermanfaat tidak terkecuali kepada sesama teman sebaya. Melalui Forum Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berharap anak dapat dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan, program, dan kegiatan mulai dari tingkat RT, desa hingga nasional, terkait isu apapun yang berdampak pada anak, salah satunya adalah isu terorisme. Anak dapat dilibatkan dalam isu terorisme mengingat aksi terorisme mulai mengincar generasi muda khususnya milenial dan Gen Z. Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak Kemen PPPA, Endah Sri Rejeki mengatakan dalam aksi terorisme, anak adalah korban sehingga masuk dalam kelompok rentan. Itu sebabnya Kemen PPPA melihat anak justru dapat dilibatkan sebagai agen perubahan untuk mengajak dan melakukan edukasi kepada teman sebayanya agar tidak terpapar paham radikalisme dan mencegah aksi terorisme. “Melalui Talkshow hari ini, kita bisa mendengarkan suara anak terkait isu terorisme di sekitarnya. Dengan begitu, saya berharap kita dapat memahami perspektif anak tentang isu terorisme dan mengembangkan peran mereka sebagai agen perubahan untuk menangani persoalan terorisme di Indonesia. Anak dan juga organisasi Forum Anak, memiliki hak yang harus di penuhi oleh seluruh pihak, salah satunya hak berpartisipasi dalam segala proses kehidupan di masyarakat. Untuk itu, Pemerintah membentuk Forum Anak sebagai wadah partisipasi anak di 34 provinsi, 458 kabupaten/kota, 1.625 kecamatan, dan 2.694 desa/kelurahan,” terang Endah Sri Rejeki dalam Talkshow Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme Menurut Pandangan Anak yang dilaksanakan secara daring. Jumat (16/04/2021). Kemen PPPA terus berupaya menyuarakan pentingnya pemenuhan hak anak untuk bersuara dan berpartisipasi. Untuk menjalankan hal tersebut, tentu perlu dukungan dan perhatian dari seluruh pihak khususnya K/L, demi mengoptimalkan potensi anak sebagai agen perubahan dengan memahami keberagaman, menghindari paham radikalisme, berkontribusi mencegah aksi terorisme, serta menciptakan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dalam Kondisi Khusus, Elvi Hendrani menegaskan anak yang terjerat tindakan terorisme sesungguhnya merupakan korban dari pengasuhan maupun lingkungan yang salah. “Banyak anak yang sebenarnya tidak terlibat dalam aksi teror, namun karena mereka merupakan anak dari pelaku, maka mereka akan sulit diterima kembali di masyarakat. Anak pelaku tindak terorisme merupakan korban yang harus dibina. Seringkali mereka dianggap sebagai manusia tak berguna, membuat sengsara, dan harus dibinasakan. Bahkan harus berganti identitas agar mereka mendapatkan haknya kembali,” ujar Elvi. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Negara memiliki tugas penting untuk melindungi anak-anak korban terorisme, di antaranya dengan melakukan edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, konseling tentang bahaya terorisme; rehabilitasi sosial; dan pendampingan sosial. “Mari bersama ubah cara pandang kita bahwa diluar sana ada anak-anak yang harus kita selamatkan, mereka adalah generasi penerus bangsa. Baik anak pelaku, anak korban, maupun anak saksi, sesungguhnya mereka adalah korban. Singkirkan stigma yang kejam dari mereka,” tegas Elvi. Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Polri, Moh Djafar Shodiq yang juga hadir sebagai narasumber menegaskan, anak yang terjerat tindak terorisme merupakan korban dari lingkungan maupun orangtua yang salah, biarpun masuk dalam tatanan unsur perbuatan melawan hukum tapi mereka merupakan korban yang harus diberikan pendekatan secara komprehensif. Djafar Shodiq menambahkan Densus 88 telah melakukan langkah terbatas dalam memutus mata rantai generasi terorisme melalui pendekatan humanis dan soft approach terhadap anak, istri maupun keluarga pelaku aksi teror. “Kami memisahkan anak pelaku dari keluarganya untuk mencegah mereka terpapar paham ekstrem, kemudian memberikan assement pendampingan psikologis, serta menyekolahkan mereka di sekolah dengan pendidikan moderat. Hal ini diharapkan dapat membuat mereka menjadi agen perubahan dari generasi muda untuk membangun anak-anak yang berpikir moderat dan terlindungi dari paham radikal dan aksi terorisme,” tutur Djafar Shodiq. Psikolog Anak, Seto Mulyadi mendukung pendekatan humanis yang dilakukan Densus 88, ia meminta agar dalam proses penangkapan pelaku tidak dilakukan di hadapan anak untuk mencegah timbulnya rasa dendam yang dapat menumbuhkan bibit terorisme. “Anak sejatinya merupakan peniru, jika anak berada dalam lingkungan yang penuh kedamaian, maka karakter itulah yang terbentuk. Tapi jika penuh kekerasan, hal itulah yang akan dibentuk dalam diri anak. Keluarga harus menerapkan pengasuhan dan pendidikan yang damai, menghargai perbedaan, tanpa kekerasan, dan adanya komunikasi terbuka. Namun harus kontrol dari warga sekitar. Untuk itu perlu dibentuk seksi perlindungan anak di tingkat RT,” tutup Seto.