Loading...
PPPA

Kemen PPPA dan BPS Bahas Persiapan SPHPN, SNPHAR dan IPA Tahun 2021

29 Januari 2021
Detail Berita

Jakarta --- Upaya dan perencanaan yang berkualitas untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta meningkatkan capaian pembangunan perlindungan anak membutuhkan ketersediaan data dan informasi statistik yang berkualitas pula. Oleh karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan Persiapan Pelaksanaan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) dan Pengembangan Indeks Perlindungan Anak (IPA) Tahun 2021 secara virtual, Jumat (29/1/2021). “Memang tidak mudah mendapatkan data kekerasan yang secara representatif bisa menggambarkan kasus kekerasan yang terjadi. Ada banyak kendala yang kita hadapi, antara lain budaya yang menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah aib. Masih ada istri yang menganggap Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah hal yang biasa, sehingga ia enggan melapor,” terang Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu. Pribudiarta melanjutkan untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kemen PPPA melakukan beberapa upaya. Pertama, menyediakan aplikasi SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak). SIMFONI PPA adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) untuk memfasilitasi pengintegrasian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Data SIMFONI PPA juga rencananya akan dikembangkan agar tidak hanya menggambarkan data kekerasan, namun juga dapat menggambarkan pengelolaan dan manajemen kasusnya, sehingga kita dapat mengetahui kondisi korban. Kedua, melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Kekerasan terhadap perempuan memang merupakan isu sensitif yang sulit diperoleh datanya. Oleh karenanya, kuesioner yang digunakan dalam survei ini sudah menggunakan standar internasional dengan mengadopsi kuesioner World Health Organization (WHO) “Women’s Health and Life Experiences”, yang didesain khusus untuk menggali informasi kekerasan terhadap perempuan. Sebelumnya, SPHPN 2016 sudah dianggap berhasil dengan respon rate mencapai 8.757 rumah tangga dari 9.000 rumah tangga sampel atau sekitar 97,3 persen. Ketiga, melakukan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) pada tahun 2018. Selain itu, pada 2019 BPS dan Kemen PPPA juga sudah mengembangkan indikator yang dapat menunjukkan capaian pembangunan perlindungan anak melalui Indeks Perlindungan Anak (IPA). Pribudiarta berharap ketersediaan data terkait IPA dapat ditindaklanjut hingga tingkat kabupaten/kota. Pribudiarta mengapresiasi upaya BPS yang turut menyukseskan SPHPN, SNPHAR, dan IPA Tahun 2021 dan berharap BPS tetap menjalankan fungsi pembinaan dan fasilitasi terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang kegiatan statistik. “Prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta IPA telah menjadi indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang harus kita evaluasi capaiannya, agar dapat mengukur keberhasilan dalam menurunkan angka kekerasan dan meningkatkan capaian pembangunan perlindungan anak,” terang Pribudiarta. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono mengatakan dalam pelaksanaan survei SPHPN yang telah dilakukan sebelumnya terdapat beberapa tantangan. Hal tersebut diantaranya terkait penolakan dalam rumah tangga untuk diwawancara, responden merasa takut untuk menceritakan kasusnya, selain itu responden merasa sensitif membicarakan kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangganya. Ateng mengatakan beberapa jenis pertanyaan pada survei SPHPN memang sangat sensitif karena menggali kekerasan seksual, emosional atau psikologi, fisik, dan ekonomi. “Berdasarkan pengalaman tersebut ada beberapa hal yang kami lakukan dan kami terapkan pada Sensus Penduduk 2020. Pertama, petugas wawancara merupakan mitra kami yang memiliki pemahaman terhadap materi dan memiliki pengalaman saat menghadapi kasus di lapangan, sehingga mereka memiliki strategi untuk mewawancarai responden. Salah satu petugas wawancara juga dikenal oleh masyarakat sekitar serta memahami medan lapangan. Wawancara juga dilakukan secara tertutup dan kerahasiaannya terjaga. Kedua, melakukan pelatihan agar petugas wawancara dapat melakukan mitigasi terhadap gangguan selama wawancara. Ternyata, ketika di lapangan terdapat keadaan yang memaksa petugas wawancara untuk menghentikan proses wawancaranya, baik dari sisi responden maupun dari pihak lain. Ketiga, terkait keselamatan petugas kami mengusahakan agar dalam satu hari mereka berada dalam satu lokasi atau blok sensus. Selain itu, adanya koordinasi yang baik dalam satu tim survei,” tutur Ateng.