Loading...
PPPA

Hearing Komisi IV dan DKP3A Kaltim Serta Stakeholder Terkait

26 Mei 2019
Detail Berita

Samarinda --- Awal tahun 2019, berbagai kasus pelecehan seksual anak terjadi di sejumlah kabupaten/Kota di Kaltim. Diketahui, kasus kekerasan seksual dan kekerasan pada anak justru kerap dilakukan orang dekat, bahkan orang tua. Hal ini menjadi sorotan pemerintah pusat dan daerah, termasuk Komisi IV DPRD Kaltim. Komisi IV DPRD Kaltim menginisiasi rapat dengar pendapat (hearing) dengan OPD terkait bersama Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Disdikbud Kaltim, KPAI Samarinda, Polda Kaltim, Polresta Samarinda dan TRC Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan Anak (TPPO), Selasa (21/5/2019). Hearing dipimpin langsung oleh Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Rusman Yaqub. Ia mengatakan perlu mendalami faktor-faktor yang dapat mengakibatkan kekerasan seksual kepada anak dapat terjadi. “Iya ini harus dibedah dulu, apa faktor penyebabnya,” ujar Rusman Yakub. Ia berharap hal ini dapat ditekan seminimal mungkin, dan dilakukan pemetaan sehingga 5 tahun kedepan diperoleh potret kekerasan seksual anak di Kaltim. Selain itu, selama ini korban pelecehan seksual anak sering di justifikasi oleh pihak sekolah sehingga beban psikologinya berat bagi sekolah. Sementara itu, Kepala Dinas KP3A Kaltim Hj Halda Arsyad mengatakan, jika pihaknya sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada Komisi IV DPRD Kaltim yang telah peka terhadap kejadian-kejadian beberapa waktu ini yang meningkat, mulai dari KDRT maupun kasus yang terakhir adalah inces di wilayah hukum Polsek Palaran. Halda mengungkapkan, DKP3A Kaltim mencatat kekerasan seksual terhadap anak jumlahnya mencapai ratusan kasus. Data 2016 terjadi 130 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus ini meningkat pada 2017 menjadi 242 kasus. Sedangkan 2018 ada 154 kasus. Menurutnya, kasus kekerasan perempuan dan anak tidak bisa digeneralkan, tetapi harus dipelajari perkasus. Kasus tersebut ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). “seiring terbitnya Permen PPPA Nomor 4 Tahun 2018, maka penanganan kasus ditangani oleh UPTD PPA,” ujarnya. Selain itu, perlu pula disosialisasikan Perda Nomor 6 Tahun 2012 Tentang perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Anak. “Apabila diperlukan, kami siap duduk satu meja merevisi perda tersebut. Juga perlu adanya sosialisasi kegiatan kesehatan reproduksi untuk anjal,” imbuh Halda. Karena permasalahan ini menjadi salah satu perhatian besar DKP3A Kaltim, lanjut Halda, pihaknya telah menjalankan program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan pendekatan terhadap keluarga melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), sebagai kunci sukses dalam pencegahan dan penanganan kasus. “Saat ini telah terbentuk fasilitator dan aktivis PATBM yang tersebar di kabupaten/kota di Kaltim,” katanya. Disisi lain, saat ini Indonesia dihadapkan pada dunia yang sudah tanpa batas melalui penggunaan internet. Namun di sisi negatif, salah satu yang saat ini menjadi kejahatan luar biasa adalah semakin meningkatnya kejahatan seksual melalui media online. “Sehingga perlu juga digalakkan internet aman untuk anak guna melakukan pencegahan dan memberi perlindungan kepada anak,” ujarnya. Halda menekankan, meskipun telah ada undang-undang maupun Pergub sebagai gugus yang menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak tetapi tanpa kerja sama dengan stakeholder terkait tak akan mampu teratasi secara maksimal. Ia juga akan segera menyampaikan usulan kepada DPRD Kaltim khususnya Komisi IV untuk membentuk Perda baru yaitu tentang Ketahanan Keluarga. (DKP3AKaltim/rdg)