Samarinda --- Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan dampak kekerasan dapat terjadi jangka pendek maupun jangka panjang, baik untuk diri anak sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi negara. Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak bervariasi tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, kekerasan yang dialami oleh anak akan mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan fisik anak. Berbagai dampak negatif dapat ditimbulkan akibat kekerasan yang dialami oleh anak, seperti dampak kekerasan fisik, dampak kekerasan psikis dan dampak kekerasan sosial. “Dampak kekerasan fisik, yakni dampak yang dirasakan oleh anak berupa sakit secara fisik, seperti luka-luka atau memar, bahkan sampai mengalami kematian. Dampak fatal dari kekerasan fisik pada anak dapat menyebabkan cacat permanen,” ujarnya. Halda melanjutkan, dampak kekerasan psikis seperti gangguan kejiwaan atau gangguan emosi pada anak. Dampak kekerasan ini sangat berakibat fatal bagi pertumbuhan dan perkembangan mental anak. Bahkan dampak yang sangat fatal dapat berupa percobaan bunuh diri. Sementara dampak kekerasan sosial berupa penelantaran hak-hak anak. Korban kekerasan eksploitasi anak yang dipaksa bekerja atau anak yang dinikahkan pada usia dini akan menghilangkan hak anak untuk tumbuh kembang yang lebih baik dan untuk mendapatkan masa depan yang baik. Terkait kasus kekerasan terhadap anak, Halda menyampaikan merupakan fenomena gunung es. Ketika Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) telah mampu memfasilitasi pelaporan kejadian kekerasan dan masyarakat telah berani melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di wilayahnya, fenomena gunung es ini mulai terkuak. “Tindak kekerasan terhadap anak yang tercatat pada pelaporan SIMFONI-PPA di Kalimantan Timur cukup bervariasi. Yang terbanyak yakni kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Kekerasan terhadap anak banyak terjadi di dalam rumah tangga anak itu sendiri, serta kekerasan yang terjadi di sekolah.” imbuh Halda. Kenaikan jumlah kasus kekerasan menjadi warning bagi Pemerintah Kaltim dalam mengambil langkah strategis untuk mengatasi kekerasan terhadap anak. Berbagai layanan untuk korban kekerasan anak telah diberikan sesuai dengan kasus kekerasan yang dialami, yakni berupa layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, penegakan hukum, reintegrasi sosial, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan pendampingan tokoh agama. Sehingga, lanjut Halda, mengembangkan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) perlu terus di pertahankan yang telahbanyak tersebar di wilayah Kaltim. DKP3A Kaltim juga menggandeng Forum Anak sebagai Agen Pelopor dan Pelapor agar dapat menjembatani berbagai informasin yang ada terutama tentang kekerasan terhadap anak. “Selain itu, perubahan pola pikir mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) khususnya bagi anak perempuan. Sosialisasi untuk mengubah pola pikir sangat diperlukan agar anak dapat menerima pendidikan dan layanan mengenai HKSR, sehingga diharapkan tidak ada lagi kejadian kekerasan seksual terhadap anak,” tegas Halda. Sebagai informasi, berdasarkan data Simfoni-PPA kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2016 sebanyak 185 kasus, 2017 sebanyak 311 kasus, 2018 sebanyak 283 kasus, 2019 sebanyak 366 kasus dan per Oktober 2020 sebanyak 204 kasus. (dkp3akaltim/rdg)