Jakarta --- Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kemen PPPA, Valentina Gintings mengatakan Pada 2020, kemiskinan diproyeksi meningkat menjadi 12,4%, maka sekitar 11 juta anak dari rumah tangga rentan berpotensi menjadi pekerja anak (The SMERU Reserch Institute). Hal ini merupakan persoalan serius, mengingat pada 2030, sebanyak 70% anak generasi penerus ditargetkan menjadi generasi produktif yang bekerja di sektor sesuai minat masing-masing. Namun saat ini, khususnya di masa pandemi, masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi dan perdagangan anak. Masalah ini timbul bukan hanya karena dampak dari bencana non alam saja, tapi juga berimplikasi pada masalah ekonomi dan sosial pada anak Data Profil Anak Indonesia pada 2019, menunjukan ada 10 provinsi di Indonesia yang memiliki angka pekerja anak di atas rata-rata nasional, di antaranya yaitu Sulawesi Barat sejumlah 16,76%, Sulawesi Tenggara 15,28%, Papua 14,46%, Nusa Tenggara Timur 13,33%, Sumatera Utara 13,38%, Sulawesi Tengah 12,74%, Sulawesi Selatan 12,45%, Bali 11,57%, Nusa Tenggara Barat 11%, dan Gorontalo 10,97%. “Provinsi-provinsi ini juga memiliki jumlah anak putus sekolah yang cukup besar. Hal tersebut menunjukan anak yang putus sekolah sangat rentan dipekerjakan, sebaliknya, anak yang dipekerjakan juga rentan mengalami putus sekolah,” jelas Valentina dalam acara Webinar Pencegahan Eksploitasi Ekonomi pada Anak di Masa Pandemi Covid-19 (28/7). Di samping itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak, Nahar menyampaikan melalui pertemuan tersebut, diharapkan dapat mendorong upaya untuk mendeteksi dini, mengidentifikasi, serta memperkuat sinergi dalam mencegah dan menangani kasus eksploitasi terhadap anak, khususnya dalam aspek ekonomi terkait pekerja anak dan bentuk pekerjaan buruk anak. “Hal ini tidak bisa kami lakukan sendiri karena melibatkan berbagai aspek. Untuk itu, kami mengajak seluruh pihak untuk selain menjaga keluarga masing-masing, juga tetap fokus melindungi anak indonesia dari eksploitasi di berbagai aspek yang mengancam anak,” tegas Nahar. Sesuai arahan Presiden RI, Joko Widodo, pencegahan dan penghapusan pekerja anak menjadi salah satu tugas prioritas Kemen PPPA, yang diimplementasikan dalam Desain Rencana Strategis Penurunan Pekerja Anak 2020-2024, dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk mengevaluasi kebijakan yang ada, memainstreamkan kebijakan kepada kementerian/lembaga terkait, membangun kemitraan, meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya sekolah bagi anak, meningkatkan pendidikan keterampilan anak, mengembangkan program jaminan sosial bagi anak dan keluarganya, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap nilai dan norma baru terkait pekerja anak; memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan yang terpadu, responsif, dan adanya sinergi dalam penanganan kasus; serta melakukan reformasi besar-besaran dalam manajemen penanganan kasus pekerja anak agar bisa dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komperehensif. Pada rangkaian acara ini, Kasubdit Pengawasan Norma Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Tundjung Rijanto mengungkapkan pada dasarnya anak ingin sekolah bukan bekerja, hanya saja mereka berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan. Untuk itu, pihaknya terus berupaya dan berkomitmen menargetkan penghapusan pekerja anak, khususnya terkait bentuk pekerjaan terburuk anak demi mendukung upaya mewujudkan Indonesia bebas pekerja anak pada 2022. Berbagai upaya yang dilakukan Kemenaker untuk menghapus pekerja anak dan BPTA yaitu melaksanakan Program PPA-PKH pada 2008, dengan menarik pekerja anak dari rumah tangga sangat miskin dan putus sekolah untuk dikembalikan ke satuan pendidikan melalui pemberian pendampingan di shelter. Hingga 2019, PPA-PKH telah menarik sebanyak 134.456 pekerja anak. “Pada 2020 ini, kami bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, LSM pemerhati pekerja anak dan dunia usaha, dengan menargetkan menarik 9.000 pekerja anak dari tempat kerja mereka,” ujar Tundjung. Pada kesempatan yang sama, National Programme Officer International Labour Organization (ILO), Irham Saifuddin menuturkan dari laporan singkat “Covid-19 and child labour : A time of crisis, a time to act” terungkap bahwa dunia telah mencapai keberhasilan bersama dengan berkurangnya pekerja anak sebanyak 94 juta lebih selama 2 dekade terakhir. Tetapi, adanya pandemi Covid-19 bukan saja membalikkan keberhasilan yang dicapai selama ini, bahkan jutaan anak berisiko kembali bekerja dalam kondisi pandemi yang membahayakan dirinya. “Komitmen di tingkat global sejauh ini sudah sangat tinggi. Untuk memberikan kontribusi besar sebagai anggota ILO, kita memiliki tanggungjawab dengan melaporkan persoalan ini di tingkat global. ILO berkolaborasi dengan UNICEF merekomendasikan beberapa hal untuk dimasukan dalam kebijakan pemerintah, yaitu perlu adanya respon yang terkoordinasi dengan baik sebagai komitmen pencegahan dan penghapusan pekerja anak di masa pandemi; penghapusan kemiskinan melalui akses kredit dan bantuan tunai kepada keluarga miskin; mendorong penerapan penghapusan biaya sekolah, diberikan biaya belajar tambahan dan subsidi seragam, buku, transportasi; perlindungan sosial kepada kelompok paling rentan, melakukan pengawasan ketenagakerjaan dan penegakan hukum dalam pencegahan terhadap pekerja anak; serta melaksanakan dialog sosial antara pemerintah, organisasi pengusaha dan organisasi pekerja, dan anak-anak,” ungkap Irham.