Jakarta --- Pencegahan perkawinan anak di Indonesia merupakan percepatan yang tidak bisa ditunda lagi. Perkawinan anak merupakan long lasting issues atau masalah jangka panjang yang harus kita hadapi bersama-sama. Sebab, melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi terutama perkawinan anak merupakan tanggung jawab bersama. “Dalam rangka pencegahan perkawinan anak banyak sekali upaya yang sudah, sedang, dan akan terus kita lakukan, tentunya dengan bersinergi dengan seluruh elemen yang ada termasuk melibatkan anak itu sendiri. Dengan menjadikan anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) diharapkan mereka dapat berperan dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Selain anak, yang juga tidak kalah penting adalah peran keluarga dan masyarakat,” ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin saat membuka Webinar "Suara Anak, Dengarlah Kami" dengan tema “Pencegahan Perkawinan Anak dengan Memahami Dinamika Anak”. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, prevalensi perkawinan anak menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan, yaitu 1 dari 9 atau sekitar 11,21 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak. Sementara itu, sampai dengan 2018 sebanyak 20 provinsi di Indonesia memiliki prevalensi perkawinan usia anak di atas angka nasional, Provinsi Kalimantan Tengah menjadi peringkat kedua tertinggi dengan proporsi 19,13 persen. Lenny menambahkan berdasarkan data Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA) Juni 2020 jumlah perkara yang diterima dan diputus menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. “Banyaknya permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama, dikhawatirkan dapat membuat lonjakan angka perkawinan usia anak di Indonesia. Pada 2019, jumlah perkara yang diterima sebanyak 24.827 perkara angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari 2018 sebanyak 13.815 perkara. Sedangkan untuk perkara yang diputus pada 2019 sebanyak 21.963 perkara dibandingkan sebanyak 12.531 perkara pada 2018. Untuk jumlah perkara yang diputus maksudnya disini adalah diputuskan untuk perkawinannya dilanjutkan atau ditolak. Namun, dari 21.963 pekara ini kami masih menunggu rincian data dari Badilag MA berapa saja perkara yang dilanjutkan dan ditolak.” tambah Lenny. Sementara itu, Perwakilan Jaringan AKSI, Aditya Septiansyah menuturkan dinamika remaja yang ada pada masa transisi atau pubertas juga menjadi dinamika yang harus dihadapi. “Perubahan usia menuju remaja akan mempengaruhi cara berpikir mereka tentang suatu masalah. Oleh karena itu, pada masa ini remaja harus diberikan pendampingan dan advokasi terkait pencegahan perkawinan anak. Jaringan AKSI sendiri sudah mulai bergerak sejak 2017 dan hingga saat ini masih terus memberikan advokasi dan membentuk forum-forum diskusi remaja untuk mengupas tuntas terkait perkawinan anak dari sisi remaja. Selain itu, memberikan edukasi terkait hukum dan kebijakan pemerintah juga menjadi penting agar mereka juga bisa mendukung upaya yang telah dan akan terus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pencegahan perkawinan anak,” ujar Aditya. Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Forum Anak Nasional, Zafira Puan Adelin bercerita mengenai pengalaman dan pendapatnya terkait perkawinan anak dari sisi anak. “Kami dari FAN telah melakukan sebuah survei kecil yang mana secara online dengan hasil sebanyak 243 responden anak dari 251 total responden tidak setuju dan menentang perkawinan anak, sedangkan sisanya sebanyak 8 responden anak mengatakan setuju dengan alasan perkawinan anak untuk menghindari zina. Disinilah kami merasa ada salah persepsi tekait menghindari zina dan perkawinan anak. Untuk itu, ke depannya menjadi tugas kami sebagai anak untuk dapat meluruskan ini semua dengan menggunakan pendekatan berbasis anak dan memposisikan diri kami sebagai teman yang memberikan informasi kepada mereka. Kami yakin dengan kerjasama seluruh pihak pasti kita bisa untuk bersama mencegah perkawinan anak di Indonesia,” ujar Zafira. Hadir pula dalam webinar tersebut Kepala Dinas PPPA, Pengendalian Penduduk dan KB Sulawesi Selatan, Iqbal Suhaeb dan Kepala Dinas PPPAKB Kalimantan Tengah, Ryan Tangkudung. Kedua Kepala Dinas ini menceritakan dan berbagi praktik terbaik yang sudah dan akan mereka lakukan dalam upaya pencegahan perkawinan anak di daerah mereka. Pada 2018, Kalteng menempati posisi kedua tertinggi sedangkan Sulsel menemapati posisi ke dua belas untuk angka perkawinan anak di Indonesia. Iqbal Suhaeb mengatakan perkawinan memang masih menjadi masalah yang kompleks di Sulawesi Selatan, beberapa faktor seperti tradisi dan ekonomi menjadi penyebab terjadinya perkawinan anak. “Kami telah melakukan berbagai upaya diantaranya memperkuat regulasi dan membuat bahan kebijakan terkait pencegahan perkawinan anak, melakukan penguatan kapitas anak melalui forum anak dan musrenbang anak, melakukan kerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk memutus rantai perkawinan anak melalui satuan pendidikan dengan menggunakan surat perjanjian tidak menikah sampai dengan lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), dan penguatan kader desa agar dapat mengontrol keluarga yang ada di pelosok desa,” ujar Iqbal. Lebih lanjut, Kepala Dinas PPPAKB Kalimantan Tengah, Ryan Tangkudung selain melalui Forum Anak Kalteng juga melibatkan tokoh adat dan tokoh agama sebagai agen perubahan yang membawa isu pencegahan perkawinan anak sampai ke tingkat desa, tak ketinggalan kami juga telah memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang cukup disegani dan berkontribusi untuk melindungi perempuan dan anak. Selain itu, kami juga tengah mengejar keterlambatan dalam inisiasi Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) bagi kabupaten/kota yang belum menginisiasi, sebab kami yakin KLA dapat menjadi benteng dalam upaya pencegahan perkawinan anak,” ujar Ryan. Sebagaimana telah diketahui, perkawinan anak berdampak masif diantaranya meningkatnya resiko putus sekolah, pendapatan rendah, kesehatan akibat anak perempuan belum siap hamil dan melahirkan dan ketidaksiapan mental membangun rumah tangga yang memicu kekerasan, pola asuh tidak benar hingga perceraian. Perkawinan anak juga menghambat capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian Bonus Demografi, serta menghambat dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah menjadi komitmen global bersama. Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan karena merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pada akhir kesempatan, Pemerhati Anak, Lies Marcoes menuturkan forum-forum seperti ini menjadi sangat penting untuk dilakukan sebab untuk dapat mencegah perkawinan anak kita juga harus mendengarkan dan memahami makna perkawinan anak dari anak itu sendiri. “Kita sudah melihat apa saja upaya yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah baik dalam hal regulasi, kebijakan, maupun advokasi langsung ke masyarakat. Namun, karena sekarang ini yang kita hadapi merupakan situasi yang berbeda dimana dinamika anak menjadi tantangan tersendiri bagi kita untuk dapat memahami dan mengikuti perkembangan mereka di era sekarang ini. Untuk itu, marilah kita dengarkan suara anak, mari kita pahami apa yang anak ingin sampaikan, agar mereka juga dapat membantu mewujudkan pecepatan pencegahan perkawinan anak di Indonesia