Jakarta (31/01) --- Saat ini praktik perkawinan anak di Indonesia sudah mengkhawatirkan. Di ASEAN, Indonesia menempati urutan ke – 2 untuk perkawinan anak. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo mengamanahkan 5 (lima) isu prioritas kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), diantaranya adalah pencegahan perkawinan anak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan sekitar 11,2% perempuan berusia 20-24 tahun yang telah menikah, melaksanakan pernikahan pada usia anak (di bawah 18 tahun). 20 provinsi di Indonesia memiliki angka perkawinan yang lebih tinggi dari angka rata-rata nasional 11,2%, diantaranya Provinsi Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Untuk mengejar target yang diberikan Presiden agar angka perkawinan anak turun menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024, Kemen PPPA merangkul seluruh pihak, utamanya pimpinan daerah untuk memperkuat Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA) melalui Penandatanganan Pakta Integritas Pencegahan Perkawinan Anak oleh 20 Provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi dan di atas angka rata-rata nasional. “Praktik perkawinan anak memiliki dampak jangka panjang terhadap anak, keluarga, masyarakat, dan generasi masa depan. Anak perempuan secara fisik belum siap untuk mengandung dan melahirkan, sehingga meningkatkan risiko angka kematian ibu dan anak, komplikasi kehamilan, keguguran, dan kelahiran bayi dengan berat badan rendah. Ketidaksiapan mental karena usia yang masih muda juga meningkatkan risiko perceraian dan pemberian pola asuh yang tidak tepat pada anak,” tutur Menteri PPPA, Bintang Puspayoga. Menteri Bintang Puspayoga berharap penandatanganan pakta integritas ini bukan sebatas komitmen di atas kertas. “Dari sebuah komitmen yang dilakukan oleh pemerintah daerah, lembaga masyarakat, perguruan tinggi, pakar, dunia usaha, dan media untuk mencegah perkawinan anak, kami mengharapkan lahirnya sebuah implementasi yang ada di masyarakat untuk mencegah perkawinan anak. Mari kita bersinergi bersama untuk memperkuat GEBER PPA sehingga dapat mewujudkan generasi penerus bangsa yang berkualitas,” tegasnya. Sementara itu, Asisten Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung, Syaiful Majid menjelaskan bahwa beberapa faktor yang banyak diajukan dalam dispensasi kawin diantaranya kekhawatiran orang tua terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan anak hamil di luar nikah, anak telah hamil di luar nikah, putus sekolah, dan rendahnya ekonomi keluarga. Dispensasi kawin sendiri masih menjadi polemik besar paska disahkannya Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan Pakta Integritas ini diharapkan dapat mendorong daerah dalam penetapan regulasi pencegahan perkawinan anak yang terintegrasi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), serta penyusunan dan pelaksanaan Rencana Aksi Daerah (RAD) pencegahan perkawinan anak.