Konvensi HaK Anak Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Samarinda — Perubahan banyak terjadi baik sebelum maupun sesudah masa pandemic Covid-19, sehingga kebutuhan anak-anak tak seharusnya menjadi berbeda. Anak-Anak masih butuh dianggap mampu, butuh bersosialisasi dengan teman, butuh tantangan, dan tetap butuh dunia yang memberikan masa depan untuknya.

Sayangnya, kondisi saat ini terjadi pembatasan sosial yang menuntut remaja harus mampu menahan diri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, baik dalam pemenuhan hak bermain maupun belajar.

“Diperlukan kearifan banyak pihak dalam hal ini orang tua, guru, masyarakat dalam menyikapi kondisi yang ada, sehingga apa yang terjadi tidak melanggar ketentuan Konvensi Hak Anak,” ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad pada kegiatan Pelatihan Konvensi Hak Anak Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan se Kaltim, berlangsung di Hotel Grand Victoria Samarinda, Selasa (20/10/2020).

Konvensi Hak Anak (KHA), lanjut Halda, merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, yang artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tersebut terikat pada janji-janji yang ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya. KHA merupakan sebuah perjanjian hukum international tentang hak-hak anak, secara sederhana dapat dikelompokkan kedalam 3 hal, pertama, mengatur tentang pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk dilindungi, dipenuhi dan ditingkatkan.

“Kami sampaikan bahwa saat jumlah Sekolah Ramah Anak di Provinsi Kalimantan Timur telah mencapai 241 sekolah yang tersebar di 9 kabupaten/kota kecuali Kabupaten Mahakam Ulu belum menginisiasi,” terang Halda.

Adapun salah satu prasyarat Sekolah Ramah Anak adalah para guru dan tenaga kependidikan sudah terlatih KHA sehingga mampu mengimplementasikan di sekolah masing-masing. Sehingga, akhirnya sekolah menjadi ramah anak dan bebas kekerasan.

Sebagai informasi, Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) di Kaltim sebanyak 11 RBRA. Saat ini dalam proses standardisasi oleh Kemen PPPA dan Kaltim sebagai Pilot Project RBRA. Sementara Tempat Ibadah Ramah Anak sebanyak 21 MRA dan Pelayanan ramah anak di puskesmas (PRAP) sebanyak 45 PRAP.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 573 partisipan online dan offline terdiri dari Dinas PPPA se Kaltim, tenaga pendidik dan kependidikan tingkat SD/ MI, SMP/MTs, SMA/ SMK/ MAN dan SLB. Hadir menjadi narasumber Fasilitator KLA Pusat Hamid Pattilima. (dkp3akaltim/rdg)

Kekerasan Anak Masih Marak Terjadi, Perkuat SDM Penyedia Layanan

Saat ini, masih banyak anak yang mengalami kekerasan, eksploitasi, hingga stigmatisasi, dan perlakuan salah lainnya.

Banyaknya persoalan yang mengancam 80 juta anak Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pihak dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Oleh karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan rangkaian Pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Manajemen Kasus bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyedia Layanan Perlindungan Anak. Pelatihan ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan, keterampilan, dan sensitifitas mereka dalam menangani kasus anak, sehingga upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) dapat berjalan optimal.

“Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kemen PPPA pada 2 Oktober 2020, terdapat sebanyak 6.051 kasus kekerasan terhadap anak, dengan jumlah korban anak laki-laki sebanyak 1.929 dan anak perempuan sebanyak 4.762. Data ini baru yang terlaporkan saja, masih banyak kasus kekerasan lainnya yang mungkin dialami anak tanpa kita ketahui. Untuk menangani hal ini, diperlukan upaya perlindungan anak yang holistik agar anak dapat terlindungi baik secara fisik dan mental, salah satunya dengan memperkuat koordinasi lintas sektor melalui penyediaan layanan yang ramah anak dan berbasis hak anak,” ungkap Deputi Bidang perlindungan Anak, Nahar dalam sambutannya pada Pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) dan Manajemen Kasus bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Penyedia Layanan Perlindungan Anak yang dilaksanakan secara offline dan online (16/10).

Salah satu upaya Kemen PPPA dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus dan perlakuan salah lainnya di Indonesia adalah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Hingga saat ini, UPTD PPA sudah terbentuk di 28 Provinsi dan 70 Kabupaten/Kota di Indonesia.

Nahar menjelaskan pada praktIknya, UPTD PPA dalam menangani kasus anak, baik anak sebagai korban, pelaku, maupun saksi, tidak bisa berperan sendiri. Dalam menangani kasus tentu para pemberi layanan akan bersinggungan dengan Aparat Penegak Hukum (APH), mulai dari proses penyidikan hingga persidangan. Untuk itu, dibutuhkan kesamaan persepsi antara APH dan petugas UPTD PPA saat menangani kasus bersama, sehingga kasus dapat diselesaikan dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban, pelaku ataupun saksi.

Saat ini, Kemen PPPA telah menyusun desain rencana strategis Penurunan Kekerasan Terhadap Anak tahun 2020-2030. Rencana strategis ini memprioritaskan aksi pencegahan kekerasan pada anak dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat; memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan kasus kekerasan pada anak; dan melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus kekerasan pada anak agar bisa dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komprehensif.

Libatkan Forum Anak Kampanyekan Protokol Kesehatan Keluarga

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak Forum Anak di seluruh Indonesia untuk mengambil peran dalam meminimalisasi penyebaran Covid-19 di kluster keluarga. Menteri Bintang meminta seluruh pihak terlibat dalam sosialisasi dan kampanye secara masif terkait Protokol Kesehatan Keluarga kepada masyarakat disesuaikan dengan kearifan lokal tiap-tiap daerah. Peran Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor dinilai memiliki peran penting di lingkungan sebaya untuk mencegah penyebaran virus.

“Apresiasi setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih bunda sampaikan kepada Forum Anak di seluruh Indonesia atas kerja nyata melalui berbagai kegiatan yang telah kalian lakukan dalam meningkatkan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di masa situasi sulit ini terhadap rekan-rekan sebaya di seluruh Indonesia. Kalian adalah anak-anak yang luar biasa,” tutur Menteri Bintang dalam Dialog dan Sosialisasi Protokol Kesehatan Keluarga Bersama Forum Anak di Seluruh Indonesia (17/10).

Dilibatkannya Forum Anak dalam kampanye sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo kepada Menteri Bintang pada 24 September 2020 untuk kembali gencar melakukan Kampanye 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) khususnya di lingkungan keluarga. Instruksi ini didasarkan pada meningkatnya jumlah klaster keluarga pada September lalu yaitu 1.100 klaster (Data Kementerian Kesehatan). Penyebaran di klaster dalam keluarga ini disebabkan karena adanya anggota keluarga yang terpapar Covid-19 di luar rumah. Jika tidak ditangani segera, klaster ini dikhawatirkan akan mempercepat perluasan klaster Covid-19 di Indonesia.

Presiden Joko Widodo melalui Kemen PPPA untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan wabah Covid-19 pada klaster keluarga. Anak-anak harus mengambil peran untuk mengampanyekan 3M tersebut, yaitu selalu memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. Hal ini bertujuan untuk melindungi seluruh anggota keluarga kita dari penularan Covid-19; memberikan penanganan tepat pada anggota keluarga yang rentan berisiko; serta memastikan setiap anggota keluarga memperoleh informasi yang benar, terkini, dan relevan tentang pencegahan dan penanganan Covid-19.

Lebih lanjut Menteri Bintang juga menyampaikan pentingnya peran serta pemerintah daerah melalui Dinas terkait untuk menyosialisasikan Protokol Kesehatan Keluarga.

”Kami tunggu kerja nyata daerah masing-masing agar bisa menekan keterpaparan Covid-19 di kluster keluarga. Pentingnya upaya dengan bersinergi bersama, untuk bisa memperkuat pencegahan dan penanganan Covid-19 di Indonesia,” tutup Menteri Bintang.

Kemen PPPA bersama Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun Protokol Kesehatan Keluarga sebagai panduan untuk melakukan prinsip pencegahan dan pengendalian penularan Covid-19 dalam keluarga. Protokol ini mengatur 4 (empat) pokok bahasan penting, yaitu Protokol Kesehatan dalam Keluarga Secara Umum, Protokol Kesehatan Ketika ada Anggota yang Terpapar; Protokol Kesehatan Keluarga Ketika Beraktivitas di Luar Rumah, dan Protokol Kesehatan di lingkungan Sekitar Ketika Ada Warga yang Terpapar. Untuk memudahkan masyarakat dalam memahami Protokol Kesehatan Keluarga, Kemen PPPA telah membuat materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) terkait protokol tersebut yang dapat diakses di http://bit.ly/protokolkesehatankeluarga.

Kekerasan Berdampak Terhadap Perkembangan Anak

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan dampak kekerasan dapat terjadi jangka pendek maupun jangka panjang, baik untuk diri anak sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi negara.

Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak bervariasi tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, kekerasan yang dialami oleh anak akan mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan fisik anak. Berbagai dampak negatif dapat ditimbulkan akibat kekerasan yang dialami oleh anak, seperti dampak kekerasan fisik, dampak kekerasan psikis dan dampak kekerasan sosial.

“Dampak kekerasan fisik, yakni dampak yang dirasakan oleh anak berupa sakit secara fisik, seperti luka-luka atau memar, bahkan sampai mengalami kematian. Dampak fatal dari kekerasan fisik pada anak dapat menyebabkan cacat permanen,” ujarnya.

Halda melanjutkan, dampak kekerasan psikis seperti gangguan kejiwaan atau gangguan emosi pada anak. Dampak kekerasan ini sangat berakibat fatal bagi pertumbuhan dan perkembangan mental anak. Bahkan dampak yang sangat fatal dapat berupa percobaan bunuh diri. Sementara dampak kekerasan sosial berupa penelantaran hak-hak anak. Korban kekerasan eksploitasi anak yang dipaksa bekerja atau anak yang dinikahkan pada usia dini akan menghilangkan hak anak untuk tumbuh kembang yang lebih baik dan untuk mendapatkan masa depan yang baik.

Terkait kasus kekerasan terhadap anak, Halda menyampaikan merupakan fenomena gunung es. Ketika Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) telah mampu memfasilitasi pelaporan kejadian kekerasan dan masyarakat telah berani melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di wilayahnya, fenomena gunung es ini mulai terkuak.

“Tindak kekerasan terhadap anak yang tercatat pada pelaporan SIMFONI-PPA di Kalimantan Timur cukup bervariasi. Yang terbanyak yakni kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Kekerasan terhadap anak banyak terjadi di dalam rumah tangga anak itu sendiri, serta kekerasan yang terjadi di sekolah.” imbuh Halda.

Kenaikan jumlah kasus kekerasan menjadi warning bagi Pemerintah Kaltim dalam mengambil langkah strategis untuk mengatasi kekerasan terhadap anak.

Berbagai layanan untuk korban kekerasan anak telah diberikan sesuai dengan kasus kekerasan yang dialami, yakni berupa layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, penegakan hukum, reintegrasi sosial, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan pendampingan tokoh agama.

Sehingga, lanjut Halda, mengembangkan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) perlu terus di pertahankan yang telahbanyak tersebar di wilayah Kaltim. DKP3A Kaltim juga menggandeng Forum Anak sebagai Agen Pelopor dan Pelapor agar dapat menjembatani berbagai informasin yang ada terutama tentang kekerasan terhadap anak.

“Selain itu, perubahan pola pikir mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) khususnya bagi anak perempuan. Sosialisasi untuk mengubah pola pikir sangat diperlukan agar anak dapat menerima pendidikan dan layanan mengenai HKSR, sehingga diharapkan tidak ada lagi kejadian kekerasan seksual terhadap anak,” tegas Halda.

Sebagai informasi, berdasarkan data Simfoni-PPA kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2016 sebanyak 185 kasus, 2017 sebanyak 311 kasus, 2018 sebanyak 283 kasus, 2019 sebanyak 366 kasus dan per Oktober 2020 sebanyak 204 kasus. (dkp3akaltim/rdg)

Transportasi dan Ruang Publik yang Tidak Ramah Anak Picu Kekerasan Pada Anak

Moda transportasi dan ruang publik yang tidak ramah anak dapat memicu kasus kekerasan dan diskriminasi pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus berupaya memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menghadirkan moda transportasi dan ruang publik yang nyaman dan ramah untuk digunakan anak. Setiap anak Indonesia berhak untuk mendapatkan penunjang gerak yang aman dari kekerasan, diskriminasi serta tidak menghambat tumbuh kembangnya.

Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Rohika Kurniadi Sari mengatakan, membangun infrastruktur ramah anak adalah membangun sumber daya manusia (SDM) ke depan, tidak hanya upaya membangun secara fisik, tapi juga membangun kultur sosial yaitu perilaku masyarakat untuk menghargai dan disiplin mengikuti aturan infrastruktur tersebut.

“Hal ini harus dilaksanakan berdasarkan kearifan lokal setiap daerah, dan tentunya memerlukan kolaborasi semua pihak melalui langkah konkrit demi mewujudkan kepentingan terbaik bagi 80 juta anak Indonesia. Membangun moda transportasi dan ruang publik ramah anak merupakan salah satu kontributor dalam mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA 2030),” ujarnya dalam Diskusi Publik Infrastruktur Ramah Anak dengan tema “Moda Transportasi dan Ruang Publik Ramah Anak” yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (13/10/2020).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi contoh praktik baik yang telah menghadirkan moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Prestasi ini diharapkan dapat memotivasi Provinsi lain untuk ikut mereplikasi praktik tersebut demi mengoptimalkan tumbuh kembang seluruh anak Indonesia.

“Praktik ini sangatlah penting dan harus dilaksanakan semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga masyarakat, dunia usaha, dan media massa juga harus turut serta bertanggungjawab menghadirkan infrastruktur yang ramah anak,” ujar Rohika.

Pemprov DKI Jakarta telah menghadirkan enam Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersertifikasi ramah anak. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga berkomitmen bersama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) penyedia transportasi publik untuk menghadirkan pos pencegahan dan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu sebanyak 23 pos di halte Transjakarta, 13 pos di stasiun MRT dan 6 pos di Halte LRT.

Pemprov DKI Jakarta juga telah menyediakan 177 unit bus sekolah yang menayangkan materi KIE terkait stop bullying, menyediakan lebih dari 300 unit bus transjakarta dengan lantai yang rendah (lower tier deck) agar memudahkan ibu hamil, anak, dan lansia saat menggunakannya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI), Luhur Budijarso mengungkapkan bahwa dunia usaha di bawah APSAI terus berupaya memberikan dukungan dalam membangun tumbuh kembang anak melalui infrastruktur ramah anak, khususnya terkait moda transportasi dan ruang publik ramah anak. Adapun salah satu peran dunia usaha dalam mendukung upaya tersebut yaitu menyediakan bisnis berupa alat transportasi atau jasa dan layanan yang ramah anak dengan memegang komitmen 3P, meliputi policy (kebijakan), product (produk), dan program.

Widyaiswara Ahli Utama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Sri Cahaya Khoironi mengungkapkan budaya keamanan cyber belum sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan di ranah publik. Seringkali posisi anak dalam ekosistem layanan publik agak terabaikan. Padahal keamanan cyber adalah hal yang mutlak, mengingat kejahatan di dunia maya terus berkembang sesuai kemajuan teknologi.

Berdasarkan data Kominfo pada September 2020, penanganan konten negatif pada situs internet mencapai 1,3 juta konten. Konten pornografi masih menjadi masalah utama yang menjerat anak di internet yaitu sebanyak satu juta konten, baik anak disasar sebagai pengguna maupun ikut serta dalam konten pornografi tersebut. Hal ini menunjukkan secara infrastruktur masih banyak permasalahan. Untuk itu, diperlukan strategi keamanan siber sebagai kunci perlindungan anak yang harus dibangun berawal dari keluarga dan anak, tentunya harus dikawal secara kolaborasi dengan melibatkan lintas sektor baik pemerintah, dunia usaha, media massa, dan masyarakat.

Keluarga Agen Utama Perubahan Perilaku Mencegah Penularan Covid-19

Sejak merebaknya Covid-19 di klaster keluarga, pemerintah memfokuskan kampanye 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan dan Menjaga Jarak) pada keluarga yang memiliki peran sentral sebagai ujung tombak edukasi perubahan perilaku. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun Protokol Kesehatan Keluarga sekaligus telah merilis materi KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) agar Protokol Kesehatan Keluarga dapat dipahami dengan mudah.

Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA mengatakan, penyebaran virus Corona ini sangat cepat. Setiap anggota keluarga berpotensi menularkan dan tertular karena interaksi secara terus menerus. Kampanye patuh 3M ini harus sering dilakukan karena diakui, mengubah perilaku untuk hidup sehat dan bersih di masyarakat itu tidak mudah.

“Di dalam keluarga itu sendiri, peran Ibu sebagai manajer rumah tangga menjadi sangat penting,” ujar dalam sambutan pada Webinar Peran Sentral Keluarga Dalam Pencegahan Covid-19 di Jakarta, Rabu (14/10/2020).

Sementara itu Juru Bicara Kemen PPPA, Ratna Susianawati menjelaskan edukasi pencegahan penyebaran Covid-19 harus dimulai dari kedisiplinan di dalam rumah, di luar rumah saat beraktifitas hingga saat anggota keluarga tiba kembali di rumah. Peran Ibu disini dapat terlibat untuk memastikan setiap anggota keluarga aman dan tidak terpapar.

“Peran keluarga sangat besar untuk terlibat dalam pencegahan penyebaran virus Corona karena keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial yang diberikan tanggungjawab pertama untuk mengatur perilaku yang dikehendaki pemerintah. Dalam hal ini, keluarga dan anggota di dalam rumah sekaligus menjadi agen utama pelaku sosialisasi agar setiap individu tergerak dan bertanggungjawab menjalankan protokol kesehatan serta saling menjaga satu sama lain. Sosok Ibu dalam keluarga menjadi pengawas yang memastikan keluarga aman,” tegas Ratna Susianawati.

Agar pesan 3M dan Protokol Kesehatan Keluarga ini massif dan diterima dengan baik oleh masyarakat, Kemen PPPA menurut Ratna bersinergi dengan banyak pihak yaitu Organisasi Perempuan seperti OASE, KOWANI , dan PKK , Lembaga Masyarakat, Dinas PPPA di seluruh Indonesia, Forum Anak dan Media Massa. Selain itu, Kemen PPPA juga terus mengaktifkan gerakan BERJARAK (Bersama Jaga Keluarga Kita) yang sudah dilakukan sejak bulan April lalu. KIE Protokol Kesehatan Keluarga dapat diakses di portal berjarak.kemenpppa.go.id dan di akun media sosial Kemen PPPA. Mengingat masyarakat Indonesia yang sangat heterogen maka setiap daerah dapat menyesuaikan KIE yang tersedia disesuaikan dengan bahasa dan kearifan lokal.

“Dimulai dari diri sendiri harus sehat, bila tidak sehat harap tidak bepergian. Orang yang sehat dan beraktifitas di luar harus memakai masker, membawa hand sanitizer dan jaga jarak minimal 1 meter. Ketika tiba di rumah, orang bersangkutan harus mempertimbangkan anggota keluarga di rumah sehingga seperti tercantum di Protokol untuk segera mandi sebelum berinteraksi,” ujar Kasubdit Kapasitas Kerja di Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga, Kementerian Kesehatan Rusmiyati.

Menjaga jarak diakui Rusmiyati banyak dilanggar masyarakat. Dari Hasil Survei Kepatuhan Masyarakat oleh Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Litbangkes, meskipun 96,6% dari 19.654 responden paham untuk menjaga jarak, namun prakteknya hanya 54,29% responden yang taat. Itu sebabnya Rusmiyati berpendapat, kampanye harus semakin massif dilakukan.

 

Komisi VIII DPR Kunker ke PKM Damai Khusus ABK

Balikpapan — Komisi VIII DPR RI melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) di Puskesmas Damai Khusus Layanan Anak Berkebutuhan Khusus, Balikpapan, Jumat (9/10/2020).

Kunker dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VIII Ihsan Yunus didampingi Tim Kementrian PPPA terdiri dari Asdep PHA Atas Kesehatan dan Kesejahteraan Hendra Jamal dan Asdep Ketenagakerjaan Perempuan Deputi Perlindungan Hak Perempuan. Rombongan diterima oleh Asisten II Sekkot Balikpapan M Noor, Kepala DKP3A Kaltim Halda Arsyad, Perwakilan Biro Kesra Setda Kaltim Sofia Rahmi, Kepala DP3AKB Balikpapan Sri Wahjuningsih, Kepala Dinas Kesehatan Andi Sri Juliarty, dan Kepala PKM Damai beserta jajaran Drg. Sekar.

Ihsan Yunus mengapresiasi kelengkapan sarpras dan tenaga medis / terapi yang tersedia Puskesmas  Damai Khusus Layanan Anak Berkebutuhan Khusus. Selanjutnya rombongan meninjau ruang layanan lantai 1 sampai dengan lantai 3.

“Jika ada hal urgent yang mendesak terkait kebutuhan sarpras di Pusat Kesehatan Layanan Khusus ABK, disilahkan untuk membuat proposal  permohonan anggaran  disertakan dengan alasan dan data dukung lainnya,” ujar Ihsan Yunus.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI juga telah bertemu dengan Gubernur Kaltim untuk menyerahkan bantuan 1,3 Milyar bagi 53 Pondok Pesantren Se-Kaltim. kegiatan tersebut berlangsung di Asrama Haji Kota Balikpapan.

Sebagai informasi, Puskesmas  Damai Khusus Layanan Anak Berkebutuhan Khusus merupakan  layanankesehatan masyarakat yang pertama di Balikpapan bahkan di Kaltim, melayani rujukan kesehatan ABK di Balikpapan mulai usia 0 bulan sampai dengan 12 tahun. Gedung pelayanan kesehatan ini terdiri dari 3 lantai dengan 8 layanan terdiri dari ruang fisioterapi, okupasi terapi, sensori integrasi,  terapi wicara, behaviour therapy, brain gym, terapi snoezelen, dan assesment.

Selain itu, Asdep PHA Atas Kesehatan dan Kesejahteraan, Deputi TumbuhKembang Anak Hendra Jamal memberikan buku-buku edukasi dan alat permainan edukasi berupa ular tangga. (dkp3akaltim/rdg)

Kemen PPPA Launching Protokol Kesehatan Keluarga

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) merilis Protokol Kesehatan Keluarga sebagai panduan bagaimana melakukan prinsip pencegahan dan pengendalian penularan Covid-19 di keluarga. Kemen PPPA bersama Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun Keputusan Bersama tentang Protokol Kesehatan Keluarga Pada Masa Pandemi Covid-19 berdasarkan arahan Presiden RI, Joko Widodo pada September 2020 lalu.

Juru Bicara Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengatakan, Protokol Kesehatan Keluarga disusun menyusul meningkatnya kasus positif di klaster keluarga. Hal ini tentu harus diwaspadai dan antisipasi bersama mengingat ada kelompok rentan dalam keluarga yang harus dilindungi.

“Protokol ini mencakup empat hal, yaitu protokol kesehatan dalam keluarga secara umum; protokol kesehatan ketika ada anggota keluarga yang terpapar; protokol kesehatan keluarga ketika beraktivitas di luar rumah; dan protokol kesehatan di lingkungan sekitar ketika ada warga terpapar,” ungkap Ratna Susianawati pada Rilis Protokol Kesehatan Keluarga yang dilakukan secara virtual melalui Kanal Youtube Kemen PPPA, Sabtu (9/10/2020).

Masyarakat dapat mengunduh materi terkait Protokol Kesehatan Keluarga pada laman resmi Kemen PPPA (https://www.kemenpppa.go.id/).
Ratna berharap media massa juga dapat ikut melakukan sosialisasi Protokol Kesehatan keluarga, sehingga dapat memunculkan pemahaman dan kesadaran di masyarakat.

“Kami berharap rekan-rekan media bersama kami dapat melakukan berbagai upaya untuk melakukan sosialisasi Protokol Kesehatan Keluarga yang telah disusun, dimulai dari pribadi dan keluarga masing-masing di rumah.,” tutur Ratna.

Dalam kesempatan ini, Ratna mengatakan perempuan sebagai manajer keluarga sangat berperan sebagai benteng pertahanan untuk memutus rantai penularan Covid-19. Oleh karenanya, ia mengajak perempuan Indonesia untuk bersatu dan bergerak bersama untuk melewati masa sulit ini.

Selain menyusun Protokol Kesehatan Keluarga bersama Kementerian/Lembaga terkait, Kemen PPPA juga telah menyusun sekaligus telah menyebarluaskan materi KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) serta melakukan kampanye dan sosialisasi terkait Protokol Kesehatan Keluarga secara masif kepada masyarakat, termasuk di dalamnya kampanye 3M (Memakai masker, Mencuci tangan, dan Menjaga Jarak).

Dalam upaya penyebaran materi KIE tersebut, menggandeng seluruh mitra, yaitu Organisasi Perempuan, seperti Organisasi Aksi Solidaritas Era (OASE), Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK), Dharma Pertiwi, Dharma Wanita Persatuan, Bhayangkari, Organisasi/Lembaga Masyarakat, Forum Anak, dan media massa. Demikian juga di tingkat daerah bersama dengan Dinas PPPA provinsi/kabupaten/kota.

Selain itu, Kemen PPPA juga tetap melanjutkan program pencegahan dan penanganan akibat pandemi Covid -19 yang telah diinisiasi selama pandemi Covid -19, seperti konseling dan layanan psikologi kepada perempuan dan anak dengan protokol kesehatan yang ketat. Kemen PPPA juga akan terus berkolaborasi dan bersinergi dengan kementerian/lembaga terkait untuk mendukung program penguatan ekonomi keluarga, sehingga membantu ibu-ibu dan perempuan mengatasi dampak sosial ekonomi di masa pandemi Covid-19 ini.

Daycare Ramah Anak Untuk Produktifitas Pekerja dan Pengasuhan Optimal

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus berupaya meningkatkan kualitas keluarga yang jumlahnya hampir 81 juta keluarga dengan strategi membangun kualitas hidup anak sebagai SDM Unggul dan berdaya saing termasuk anak dalam Taman Pengasuhan Anak Sementara atau Daycare.

Kebutuhan daycare saat ini menjadi penting karena tuntutan perempuan pekerja mengingat pengasuhan usia balita sulit dilepaskan dari peran ibu/perempuan.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin menyampaikan untuk memastikan tumbuh kembang anak dalam pengasuhan alternatif pada Daycare diperlukan Pedoman Taman Pengasuhan Anak Berbasis Hak Anak/Daycare Ramah Anak (Bagi Pekerja Di Perusahaan) sebagai respon cepat untuk menindaklanjuti arahan khusus Presiden kepada Menteri PPPA dalam mengkoordinasikan Penyediaan Taman Pengasuhan Anak/Daycare Ramah Anak bagi perempuan pekerja di daerah.

“Informasi terkait kebijakan Daycare Ramah Anak ini harus segera didiseminasikan kepada stakeholder mulai dari pemerintah pusat, daerah, dunia, usaha, media, dan masyarakat. Besar harapan kami agar kebijakan tentang pengembangan Daycare Ramah Anak dapat diimplementasikan baik di lingkungan Kementerian/lembaga, dunia usaha, media, dan di masyarakat bagi kepentingan terbaik anak dan pemenuhan hak anak sehingga mereka dapat menjadi SDM unggul, berkualitas, dan berdaya saing sebagai generasi penerus bangsa,” ujar Lenny.

Lebih lanjut Lenny menuturkan, dalam pedoman Daycare Ramah Anak terdapat komponen yang harus dipenuhi yakni penyelenggaraan, sumber daya, sarana dan prasarana, perangkat manajemen, protokol penanganan, resiko bencana dan new normal. Daycare Ramah Anak diharapkan menjadi lembaga yang dapat memberikan layanan pengasuhan alternatif selain di rumah bersama keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak, seperti layanan penyelenggaraan makan, layanan pendidikan perilaku hidup sehat, serta layanan pendampingan kegiatan bermain untuk menstimulasi tumbuh kembang anak.

“Pengasuh di Daycare Ramah Anak dapat memegang peranan penting dalam proses perkembangan anak, peran pengasuh bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik, akan tetapi mencakup pemenuhan kebutuhan psikis dan pemberian stimulasi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal,” tutur Lenny.

Selain itu, keberadaan Daycare Ramah Anak dalam sebuah perusahaan juga dapat menjadi faktor pendukung dalam mengoptimalisasi produktivitas kerja dari perempuan pekerja yang sudah mempunyai anak. Ketika orangtua merasa anaknya aman dan nyaman dalam fasilitas daycare maka akan berpengaruh terhadap kualitas kinerja mereka dan loyalitas terhadap perusahaan. Permasalahan utama dari perempuan pekerja yang mempunyai anak adalah mempertimbangkan terkait pengasuhan balita menjadi tanggung jawab Ibu, kebutuhan pengasuhan anak sementara saat mereka bekerja, dan keberadaan serta fungsi daycare yang dapat menjamin memberikan pengasuhan berbasis hak anak.

“Oleh sebab itu, pedoman Daycare Ramah Anak ini bisa memperkuat terbentuknya daycare di perusahaan yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat penitipan anak tetapi juga tempat pengasuhan anak saat orangtuanya bekerja,” ujar Lenny.

Pentingnya keberadaan Daycare Ramah Anak dalam sebuah perusahaan guna menunjang produktivitas kerja dari perempuan pekerja di perusahaan tersebut. Akan tetapi, keberadaan daycare yang diharapkan tidak semata-mata hanya sebagai tempat pengasuhan anak sementara bagi perempuan pegawai yang bekerja saja, namun juga menjadi tempat pengasuhan alternatif bagi anak saat orangtua mereka bekerja. Untuk mewujudkan Daycare Ramah Anak sebagai tempat pengasuhan anak, dibutuhkan sinergi dari seluruh pihak dan adanya payung hukum yang kuat untuk mendasari kebijakan tersebut. Keberadaan payung hukum yang kuat tentang kebijakan penyediaan Daycare Ramah Anak di setiap perusahaan akan menjadi kunci utama dalam menjalankan kebijakan ini. Sejalan dengan itu, Pemerintah juga dapat memberikan pemahaman kepada seluruh perusahaan bahwa menyediakan Daycare Ramah Anak bukan semata-mata memenuhi kebutuhan pegawai akan tetapi merupakan benefit bagi perusahaan yang akan berdampak terhadap optimalisasi kerja pegawai di perusahaan tersebut.

PISA Hadir Lindungi Anak dari Paparan Informasi Tidak Layak di Tengah Pandemi

Di tengah pandemi Covid-19, anak memiliki intensitas yang cukup tinggi dalam mengakses informasi baik melalui media sosial, media massa dan lain-lain karena anak memiliki banyak waktu untuk mengakses gadget semenjak diberlakukannya kebijakan pemerintah untuk belajar di rumah secara daring. Hal ini tentu menyebabkan anak rentan terpapar informasi negatif, anak juga bingung memastikan kelayakan informasi yang mereka dapat, serta tidak tahu harus kemana untuk mendapatkan informasi yang layak. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menginisiasi pengembangan Pusat Layanan Infomasi Sahabat Anak (PISA) sebagai wadah untuk memenuhi hak-hak anak agar bisa mendapatkan informasi yang layak.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Lenny N. Rosalin mengatakan hadirnya PISA diharapkan dapat menjadi wadah bagi anak untuk mendapatkan informasi sehat yang layak anak. Hal ini penting dilaksanakan mengingat setiap anak berhak untuk menerima, mencari, dan memberikan informasi yang harus disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan usianya.

“Kami harap dengan adanya PISA, semakin banyak anak mencari informasi yang mereka butuhkan dan memanfaatkan layanan PISA dengan maksimal,” ungkap Lenny dalam acara Uji Publik Pedoman PISA yang dilaksanakan secara virtual (6/10/2020).

Lenny menambahkan untuk mengukur efektivitas dan manfaat PISA, dapat dilihat melalui bertambahnya jumlah layanan PISA yang terbentuk di berbagai daerah, jumlah anak yang memanfaatkan PISA, dan informasi apa yang paling banyak dicari dan dibutuhkan anak untuk meningkatkan layanan tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu sejauh mana sumber daya manusia (SDM) pengelola PISA bisa memenuhi standar, mampu memilah dan mengolah informasi agar betul-betul bermanfaat dan layak dikonsumsi anak.

“kami meminta masukan dan dukungan dari seluruh perwakilan kementerian/lembaga dan daerah untuk mengintegrasikan PISA dengan pelayanan ramah anak lainnya, seperti perpustakaan sekolah, pojok baca di madrasah, ruang bermain ramah anak (RBRA), pusat kreativitas anak (PKA), dan perpustakaan daerah,” ujar Lenny.

Jika daerah tidak memiliki cukup anggaran, bisa tetap menyinergikan PISA dengan pelayanan ramah anak lainnya dimana saja. Upaya tersebut merupakan embrio yang bisa dihubungkan untuk meningkatkan pemenuhan hak anak dengan melibatkan seluruh stakeholder. Adapun berbagai tujuan dari pedoman PISA, diantaranya yaitu sebagai pedoman bagi siapaun untuk mengembangkan PISA, menyediakan indikator pelayanan ramah anak pada PISA, menjadi persyaratan standar penilaian pelayanan ramah anak pada PISA.

“PISA merupakan suatu pondasi penting untuk mengawal agar anak menjadi berkualitas ke depan, salah satunya melalui informasi yang mereka peroleh. PISA harus bisa menjadi pusat informasi yang dapat anak andalkan. Mari kita lakukan upaya terbaik bagi anak Indonesia, salah satunya dengan menghadirkan informasi yang layak bagi anak melalui PISA,” tegas Lenny.

Saat ini, PISA diketahui telah terbentuk di 7 kabupaten/kota, di antaranya yaitu Kabupaten Dairi, Kota Sawahlunto, Kabupaten Tangerang, Kota Mataram, Kota Kotamobagu, Kabupaten Biak, Kota Ternate. Selain itu, ada 2 daerah yang sedang dalam tahap inisiasi pembentukan PISA, yaitu Kabupaten Agam dan Kota Surakarta.