Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Bangun Indonesia dari Desa

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan membangun Indonesia dari desa untuk menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing sangat tepat dilakukan bersama agar tidak ada satu orang pun yang tertinggal (no one left behind).

Membangun desa dalam berbagai bentuk inovasi dapat berkontribusi positif bagi perempuan dan anak karena sekitar dua-pertiga penduduk desa adalah perempuan dan anak, serta menjadi strategi untuk mencapai akselerasi pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di seluruh desa di Indonesia.

Jumlah penduduk Indonesia sebesar 270 juta jiwa, 43% tinggal di desa (BPS, 2020), sekitar 49,5% adalah perempuan, dan sekitar 30,1% adalah usia anak (di bawah usia 18 tahun), maka mereka, dengan total 65% akan menjadi modal besar dalam pencapaian kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, termasuk SDGs.

Oleh karena itu, atas dukungan Kementerian Dalam Negeri dan Perpustakaan Nasional, Kemen PPPA bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) melakukan Rapat Koordinasi Nasional Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) sebagai tindak lanjut Deklarasi DRPPA yang telah dilakukan pada November 2020. Rakornas diikuti seluruh Dinas PPPA, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, dan Dinas Perpustakaan di provinsi dan kabupaten/kota, dan seluruh Kepala Desa di Indonesia, khususnya 3.886 Kepala Desa Perempuan, dan juga pendamping desa.

DRPPA merupakan desa yang mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak ke dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, berkelanjutan. Desa harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakatnya khususnya perempuan dan anak, memenuhi hak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, serta tersedia sarana dan prasarana publik yang ramah perempuan dan anak.

“DRPPA merupakan model desa yang dikembangkan oleh Kemen PPPA untuk dapat menjawab lima arahan Presiden RI yang dimulai dari tingkat desa. Selain untuk mewujudkan lima arahan Presiden, DRPPA juga diharapkan dapat memperkecil kesenjangan gender, serta meningkatkan peran aktif perempuan terutama dalam bidang politik, pengambilan keputusan, dan ekonomi” jelas Menteri Bintang.

Menteri Bintang juga menjelaskan terkait ukuran keberhasilan dari pembangunan dan pengembangan DRPPA, antara lain sejauh mana kebijakan di desa mengatur tentang implementasi DRPPA, meningkatnya perempuan wirausaha di desa, meningkatnya keterwakilan perempuan di struktur desa maupun Badan Permusyawaratan Desa (BPD), meningkatnya partisipasi perempuan dan anak dalam proses pembangunan desa, meningkatnya peran ibu dan keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan anak, tidak ada anak yang bekerja, tidak ada anak yang menikah di bawah usia 18 tahun, serta tidak ada kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jika terjadi kekerasan, maka perempuan dan anak korban kekerasan mendapatkan layanan yang komprehensif.

Menteri Desa-PDTT, Abdul Halim Iskandar atau akrab disapa Gus Menteri mengatakan, sekitar 43% penduduk Indonesia tinggal di desa. Dengan menyelesaikan permasalahan perempuan dan anak di desa, berarti kita sudah menyelesaikan 43% permasalahan perempuan dan anak di Indonesia

Menteri Abdul Halim Iskandar juga mendorong para Kepala Desa untuk melakukan Pemutakhiran Data Desa Berbasis SDGs Desa agar lebih mempermudah memetakan permasalahan dan potensi suatu desa. Menurutnya, selama ini biasanya kita hanya mencari potensi desa, tapi tidak menggali permasalahan desa.

“Dengan SDGs Desa memberikan ruang yang seimbang bagi desa untuk menggali permasalahan desa dan mengukur potensi desa. Pemanfaatan Pemetaan data berbasis SDGs Desa saat musyarawah juga dapat mempermudah warga desa dalam menyusun prioritas desa. Ke depan, diharapkan pembangunan desa berbasis masalah, bukan berbasis keinginan,” terang Menteri Abdul Halim Iskandar.

Sementara Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah yang hadir secara virtual menyampaikan apresiasinya kepada para Kepala Desa Perempuan yang memiliki peran vital sebagai agen perubahan masyarakat desa, khususnya terkait pemberdayaan perempuan di desa.

“Kepala Desa Perempuan adalah agen perubahan yang paling dekat dengan masyarakat. Peran mereka sangat vital, karena tahu persis kondisi dan kebutuhan perempuan di lingkungannya. Dengan memberikan pemberdayaan yang tepat, maka Kepala Desa Perempuan telah berkontribusi dalam pemberdayaan perempuan negara dan bangsa. Para Kepala Desa Perempuan teruslah mengasah dan mengembangkan diri agar memiliki jiwa kepemimpinan yang semakin berkualitas, profesional, dan semangat untuk membangun negeri,” pesan Menteri Ida Fauziyah.

Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando mengatakan mendukung DRPPA yang dideklarasikan oleh Kemen PPPA dan Kemendesa-PDTT, utamanya dalam mengedukasi, meningkatkan literasi, dan memberdayakan perempuan di desa. Dukungan ini telah diupayakan melalui penyediaan mobil, motor, dan kapal perpustakaan keliling yang tersebar di seluruh provinsi. Muhammad Syarif juga yakin peran ibu sangat besar dalam membangun literasi generasi bangsa.

Dalam kegiatan ini, Menteri Bintang juga mengukuhkan Pengurus Ikatan Pimpinan Tinggi Perempuan Indonesia. Para Pimpinan Tinggi Perempuan memiliki peran yang strategis dalam tata kelola pemerintahan dan memastikan regulasi dan kebijakan pemerintah dapat berjalan sesuai dengan visi dan misi Presiden. Forum ini memiliki visi yang mengedepankan peran strategis kaum perempuan dan terus mengupayakan percepatan untuk mewujudkan perempuan yang berdaya, mandiri, dan mampu bekerja cerdas dengan tetap mengedepankan semangat kolaboratif.

Dengan pengukuhan tersebut, Menteri Bintang berharap sinergi dan kolaborasi Ikatan Pimpinan Tinggi Perempuan Indonesia semakin kuat untuk mendukung upaya Negara dalam Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk dalam pembangunan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak.   (birohukumdanhumaskemenpppa)

Sinergi Lintas Sektor Percepat Kepemilikan Akta Kelahiran Anak

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendukung percepatan kepemilikan akta kelahiran sebagai upaya pemerintah melaksanakan pemenuhan hak dasar anak, yakni hak sipil yang harus dipenuhi sejak seorang anak lahir. Untuk itu, Kemen PPPA terus mendorong sinergi antar pemerintah, baik Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan Pemerintah Pusat maupun antar OPD di daerah dalam mewujudkan percepatan kepemilikan akta kelahiran.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, Informasi dan Partisipasi Anak, Endah Sri Rejeki mengatakan, salah satu tujuan pembangunan nasional maupun daerah adalah terwujudnya SDM Indonesia yang unggul, berkualitas dan berdaya saing. Untuk mencapai tujuan itu, tentunya anak-anak Indonesia harus berpendidikan yang baik, tidak dinikahkan ketika masih anak-anak, tidak diperdagangkan atau dipekerjakan ketika masih anak-anak.

“Salah satu faktor yang dapat meminimalisir resiko-resiko tersebut, dan untuk memudahkan mereka mengakses pendidikan dengan baik adalah dimilikinya identitas yang jelas dalam bentuk akta kelahiran. Di sini-lah peran kita sebagai pemerintah untuk menjalin kerja sama, peran lintas sektor antara pusat dan daerah sesuai tugasnya masing-masing, karena masih terdapat kurang lebih 6 persen anak yang belum memiliki akta kelahiran. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama,” tutur Endah dalam Rapat Koordinasi Akta Kelahiran di Daerah (Wilayah II) yang diselenggarakan oleh Kemen PPPA bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri secara daring (8/6/2021).

Endah menambahkan semua anak tanpa terkecuali berhak mendapatkan haknya untuk memperoleh akta kelahiran. Untuk itu, koordinasi lintas pemerintah daerah dan pusat, dunia usaha, lembaga masyarakat dan pelibatan anak melalui Forum Anak sebagai pelapor dan pelopor perlu dilakukan sebagai upaya bersama dalam mencegah terjadinya permasalahan anak jika mereka tidak memiliki akta kelahiran.

Sementara berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), presentase kepemilikan akta kelahiran anak pada Desember 2020 mencapai angka 93,78%. Artinya masih ada 6,22%, atau sekitar 5 juta dari 84,4 juta anak Indonesia belum memiliki akta kelahiran. Dalam mengidentifikasi kelompok anak yang belum memperoleh akta kelahiran, perlu melihat anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) atau anak-anak yang berada dalam kondisi yang kurang beruntung, seperti anak jalanan, anak di panti asuhan, dan anak dengan kondisi khusus lain yang harus menjadi perhatian bersama.

Kepala Subdirektorat Fasilitasi Pencatatan Kelahiran dan Kematian, Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sakaria memaparkan empat status hukum anak pada akta kelahiran yang dapat mempermudah proses pencatatan sipil bagi anak-anak yang lahir dalam kondisi di luar perkawinan atau tidak memiliki orang tua untuk dicatatkan ke dalam akta kelahiran.

“Pertama, anak yang dilahirkan dalam perkawinan sah yang dapat dibuktikan. Kedua, anak yang lahir namun perkawinannya belum tercatat atau orang tua tidak memiliki buku nikah/akta perkawinan, maka akan ditambahkan frasa “perkawinannya belum tercatat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” dan akan dibuktikan melalui menunjukan Kartu Keluarga orang tua sebagai pasangan suami istri. Ketiga, anak dari ibu jika dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Keempat, anak tanpa nama orang tua jika anak tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya,” tutur Sakaria.

Strategi peningkatan akta kelahiran yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), antara lain dengan menerapkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak dapat memenuhi persyaratan dokumen pembuatan akta kelahiran.

Sakaria juga menambahkan koordinasi antar instansi juga sangat penting dilakukan karena dalam pelaksanaan penerbitan akta kelahiran melibatkan pihak-pihak lain, seperti Dinas Kesehatan, rumah sakit atau bidan desa. Kerjasama dengan Dinas Sosial juga perlu dibangun dalam penanganan anak terlantar atau anak yang ditelantarkan, serta Dinas Pendidikan atau sekolah yang mengetahui dan mendata apakah murid-murid di sekolah tersebut telah memiliki akta.

Sejalan dengan itu, upaya percepatan kepemilikan akta kelahiran juga telah diterapkan oleh masing-masing daerah.

Rapat Koordinasi Akta Kelahiran di Daerah (Wilayah II) diselenggarakan secara daring dihadiri dinas-dinas dari wilayah Maluku Utara, Papua, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Bangka Belitung, Lampung, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu. (birohukumdanpublikasikemenpppa)

Menteri Bintang dan Lembaga Masyarakat Rapatkan Barisan Cegah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga melakukan pertemuan dengan sejumlah perwakilan lembaga masyarakat untuk berkoordinasi terkait penanganan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Hal ini dilakukan guna menguatkan upaya untuk mengatasi dan mengantisipasi kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan menggandeng stakeholder terkait.

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) saat ini telah menyediakan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus. Dalam pelaksanaannya, tentu memerlukan sinergi dan peran berbagai pihak, termasuk lembaga masyarakat yang selama ini telah terjun langsung dalam upaya tersebut,” ujar Menteri Bintang.

Menteri Bintang menyatakan langkah ini dilakukan menyusul kegelisahannya yang memuncak tatkala kasus-kasus terhadap perempuan dan anak terus terjadi, terutama di masa pandemi Covid-19.

“Setiap pagi saya mendapatkan informasi, tidak ada hari tanpa kasus kekerasan dan kasus kekerasannya juga terjadi tidak masuk di logika. Dampak pandemi Covid-19, banyak yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata Menteri Bintang.

Menteri Bintang menjelaskan pemerintah melalui Kemen PPPA pada 2021 telah menyalurkan Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik khusus kepada daerah. Menteri Bintang berharap bantuan tersebut dapat mengoptimalkan penanganan dan pendampingan korban, serta kasus-kasus terkait perempuan dan anak.

Tidak hanya fokus pada penanganan kasus, Menteri Bintang juga berharap agar pemerintah, pemerintah daerah, organisasi, dan lembaga masyarakat juga dapat fokus pada penguatan pencegahan.

 

“Kita harus bersama-sama melakukan langkah-langkah penanganan, tapi dari hulunya juga kita harus lakukan pencegahan isu-isu kekerasan secara komprehensif. Kemen PPPA tidak bisa melakukannya sendiri, sinergi, kolaborasi, dan diskusi diperlukan untuk bisa mencari praktik baik yang dapat dilakukan. Kita harus bergandengan tangan untuk menyelesaikan kasus-kasus ini sebagai salah satu dampak dari pandemi,” ajak Menteri Bintang.

Menteri Bintang berharap agar media tidak hanya fokus melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tetapi juga edukasi langkah-langkah preventif bagi masyarakat terutama keluarga dan mengangkat prestasi-prestasi anak bangsa.

Ketua LPAI, Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto mengusulkan beberapa rekomendasi. Salah satunya tentang perlunya pertemuan tatap muka dan dialog antara Kemen PPPA, khususnya Menteri Bintang dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim guna membahas tentang sekolah daring dan rencana sekolah tatap muka.

“Kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan selama pandemi ini cukup memprihatinkan. Laporan yang kami dapatkan, 13% anak depresi belajar daring. Ada juga mengalami sakit mata akibat menatap layar terlalu lama. Peran serta Kemen PPPA juga perlu untuk berdialog dengan Kemendikbud agar hak hidup dan berkembang anak bisa dilakukan dan kesehatan anak diutamakan,” jelas Kak Seto.

Sepakat dengan pernyataan Menteri Bintang, Pengurus LBH APIK, Ratna Batara Murti mendukung penguatan peran dan upaya pencegahan kekerasan.

“Hingga saat ini pencegahan masih belum maksimal dan berjalan sesuai yang diharapkan. Selain itu, upaya penegakan hukum dan pemulihan korban juga harus terus dimaksimalkan. Oleh karena itu, kami mendorong agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) juga segera disahkan,” ujar Ratna.

Dalam pertemuan tersebut, hadir diantaranya Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ketua lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Andik Matulessy, LBH APIK, Ratna Batara Murti, Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, Advokat, Sri Nurherawati, ECPAT Indonesia, P2TP2A DKI Jakarta, Margaretha Hanita, dan Save The Children, Andri Yoga Utami.