Cegah Stunting Dengan SDM Berkualitas

Penajam — Stunting merupakan masalah gizi kronis yang ditandai dengan kegagalan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang optimal. Hal tersebut merupakan dampak dari kekurangan gizi secara komulatif, sehingga pertumbuhan anak terlalu pendek untuk usianya dan diikuti dengan penurunan kemampuan kognitif serta biasanya disertai pula dengan berbagai penyakit bawaan lainnya.

“Ini mengakibatkan resiko tinggi jangka panjang dan di masa depan akan menghasilkan sumber daya manusia yang kurang mempunyai daya saing atau kurang kompetitif,” ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Prempuan dan Perindungan Anak (DKP3A Kaltim pada kegiatan Pengembangan Desain Program, Pengelolaan dan Pelaksanaan Advokasi, Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Pengendalian Penduduk dan KB Sesuai Kearifan Budaya Lokal Dalam Pencegahan Stunting, berlangsung di Balai Penyuluhan KB Penajam Paser Utara, Rabu (30/6/2021).

Soraya mengatakan, menurut data Riskesdas Kementerian Kesehatan, angka stunting nasional mengalami penurunan dari 37,2 % pada 2013 menjadi 30,8% pada 2018. Sementara menurut survei status gizi balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019 menjadi 27,7%. Sedangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) standar level indeks keparahan stunting disebut krisis jika angkanya lebih atau sama dengan 15%.

“Sedangkan data Stunting di Kalimantan Timur pada saat ini masih sebesar 26%, sementara program di Kementerian Kesehatan diharapkan angka stunting di Kalimantan Timur bisa turun sampai 14 % pada tahun 2024,” imbuh Soraya.

Melalui strategi nasional penanggulangan stunting 2018-2024, pemerintah sudah mengupayakan konvergensi dengan mengintegrasikan dan menyelaraskan berbagai sumber daya untuk pencegahan dan penurunan stunting, mulai dari perencanan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi melalui Instruksi Gubernur Kalimantan Timur Nomor 5 Tahun 2021 tentang Percepalatan Penurunan Stunting.

Soraya menambahkan, angka kelahiran diprediksi akan mengalami lonjakan khususnya pada masa pandemi Covid-19 tahun 2021 ini.

“Sehingga kiranya perlu diberikan perhatian khusus karena bayi yang lahir pada tahun tersebut akan menjadi penduduk berusia produktif pada 2045 mendatang,” katanya.

Soraya juga mengingatkan, Kabupaten Penajam Paser Utara akan menjadi Ibu Kota Negara yang dicanangkan oleh pemerintah. Maka perlu upaya peningkatan kapasitas masyarakat atau sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan dan tantangan agar dapat ikut berperan aktif di dalam sektor pembangunan dengan mempersiapkan generasi yang sehat dan tangguh.

“Karena pembangunan memerlukan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, kuat dan tangguh dalam menghadapi segala tantangan dinamika kehidupan,” tutu Soraya. (dkp3akaltim/dell)

Cegah Stunting, Libatkan Ayah dalam Proses Pengasuhan Anak

Jakarta (29/06) — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong pembangunan ketahanan keluarga yang responsif gender sebagai upaya pencegahan stunting dan membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Hal tersebut dapat diupayakan, salah satunya melalui pengasuhan dan pemberian gizi yang optimal pada periode emas anak yang dilakukan oleh keluarga.

Deputi Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA, Vennetia R Danes mengatakan, anak sebagai SDM masa depan suatu bangsa, tentu tumbuh kembangnya haruslah menjadi perhatian kita bersama. Khususnya pada periode 0-4 tahun, anak mengalami perkembangan yang sangat pesat baik secara fisik, kognitif, maupun sosio-emosional yang akan menjadi fondasi kuat bagi masa depan mereka.

“Sayangnya, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, 30% balita di Indonesia masih mengalami stunting,” jelas Vennetia dalam Webinar “Membangun Kualitas Ketahanan Keluarga yang Responsif Gender dan Responsif Hak Anak dalam rangka Mencegah Stunting.”

Vennetia melanjutkan kondisi Pandemi Covid-19 juga turut mempengaruhi masalah stunting yang ada di Indonesia. Ia juga mengingatkan bahwa permasalahan stunting tidak hanya berkaitan dengan masalah kesehatan, namun berhubungan dengan faktor lain seperti yang berkaitan dengan isu gender dan anak.

“Penyebab stunting perlu ditelusuri dan dilihat apakah berkaitan dengan gender. Apakah terdapat persoalan pada perempuan dalam memperoleh akses? Apakah perempuan dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan dan kontrol serta menerima manfaat yang setara dan adil, baik saat perempuan sedang dalam masa hamil dan menyusui, atau mulai dari saat pra konsepsi bahkan saat perempuan itu masih remaja?” ujar Vennetia.

Oleh sebab itu, Vennetia menekankan pentingnya penguatan fungsi keluarga, baik melalui kemitraan dan memperhatikan relasi gender. Selain itu, butuh kerja sama berbagai sektor guna menyelesaikan isu ketidaksetaraan gender, isu perempuan dan anak yang saling berkaitan dalam mengatasi masalah stunting.

Menanggapi hal tersebut, dokter RS Siloam Purwakarta, Anggia Farrah menjelaskan dampak-dampak stunting pada anak yang bukan hanya berdampak jangka pendek pada pertumbuhan fisik anak terganggu, melainkan efek jangka panjang yang mempengaruhi kecerdasan anak khususnya prestasi belajar tidak masksimal. Untuk itu, Anggia menekankan pentingnya memperhatikan pertumbuhan anak pada periode emas seribu hari pertama. Apabila asupan gizi yang diberikan pada periode tersebut tidak maksimal, maka akan sulit diintervensi ketika sudah mengalami stunting.

“Asupan kunci pada periode emas seribu hari pertama anak perlu diperhatikan orang tua. Pertama, memastikan kecukupan gizi anak melalui Inisiasi Menyusui Dini (IMD) setelah bayi lahir, selanjutnya pemberian asi eksklusif dari 6 bulan yang berlanjut hingga 2 tahun, dan MPASI (Makanan Pendamping ASI) bila anak sudah berusia 6 bulan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan dari keluarga karena keluarga merupakan wahana utama dan pertama untuk mengembangkan potensi anak dan memberikan kasih sayang,” jelas Anggia.

Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Bidang Kemasyarakatan, Khotimun Sutanti menjelaskan faktor-faktor penyebab stunting. Selain terdiri dari faktor langsung yang berhubungan dengan asupan gizi dan status kesehatan, faktor tidak langsung seperti kesenjangan ekonomi, sosial, dan pemberdayaan perempuan menjadi hal yang mempengaruhi kondisi anak.

“Laki-laki biasanya memiliki privilege dalam masyarakat dan berperan lebih besar dalam pengambilan keputusan di keluarga. Misalnya keputusan kehamilan dan penggunaan kontrasepsi masih banyak diputuskan oleh laki-laki. Padahal seharusnya diambil keputusan bersama yang mempertimbangkan aspek kesehatan dan psikologis sang ibu. Selain itu kalau jarak kehamilannya dekat biasanya pengasuhan anaknya juga menjadi sulit dan gizi ibu dan anaknya menjadi kurang diperhatikan. Faktor-faktor tersebutlah yang bisa menyebabkan stunting pada anak,” ujar Khotimun.

Khotimun menambahkan tanggung jawab gizi dan pengasuhan anak saat ini masih dianggap hanya menjadi masalah perempuan, sedangkan laki-laki tidak dilatih untuk memahami. Masalah tersebut berpengaruh terhadap pola pengasuhan anak karena para ayah menjadi tidak memahami dan merasa pengasuhan anak bukan menjadi bagian dari tanggung jawabnya.

Menanggapi permasalahan peningkatan partisipasi ayah dalam membangun ketahanan keluarga, Co-founder Ayah Asi, Rahmat Hidayat menekankan pentingnya peran laki-laki dalam keluarga dan mencegah stunting sebagai pendukung nomor satu istri.

“Ayah sebagai pendukung utama ibu menyusui perlu dilibatkan dalam program pencegahan stunting, karena pengasuhan bukan tanggung jawab ibu saja. Masyarakat lebih sering mengarahkan masalah anak, menyusui dan gizi itu hanya tanggung jawab ibu semata sehingga kadang akses ayah untuk ikut berpartisipasi masih kurang. Padahal melalui peran ayah, inisiasi menyusui dini bisa ditingkatkan hingga 81,2 persen dan berpengaruh terhadap pencegahan stunting,” ungkap Rahmat. (birohukumdanhumaskpppa)

Penguatan Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi Covid-19

Samarinda — Pembangunan Keluarga merupakan salah satu isu tematik dalam pembangunan nasional karena kekuatan pembangunan nasional berakar pada elemen keluarga sebagai komunitas mikro di dalam masyarakat.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, keluarga merupakan pondasi dasar bagi keutuhan, kekuatan dan keberlanjutan pembangunan.

Selain itu melalui keluarga pula pondasi awal membentuk kualitas sumber daya manusia baik fisik maupun non fisik dimana hal ini telah menjadi indikator ketercapaian pembangunan yaitu Indeks Pembangunan manusia (IPM).

“Penguatan Ketahanan Keluarga sangat diperlukan karena banyak masalah – masalah sosial seperti, kekerasan dalam rumah tangga, trafficking, pornografi, pornoaksi, infeksi penyakit menular, HIV/AIDS, narkoba, kriminalitas dan lain sebagainya karena akibat dari runtuhnya pondasi ketahanan keluarga,” ujarnya pada Workshop Ketahanan Keluarga dengan tema “Penguatan Ketahanan Keluarga Dalam Aspek Ekonomi dan Mental Spiritual di Masa Pandemi Covid 19“, berlangsung di Balai Penyuluhan KB Kabupaten Penajam Paser Utara, Selasa, (29/6/2021).

Soraya menambahkan, ketahanan keluarga memiliki lima aspek/dimensi diantaranya, dimensi legalitas dan keutuhan keluarga, aspek ketahanan fisik, dimensi ketahanan ekonomi, dimensi ketahanan sosial psikologis dan dimensi ketahanan sosial budaya.

Dalam pelaksanaan pembinaan ketahanan keluarga, lanjut Soraya, DKP3A Kaltim telah melaksanakan aspek-aspek tersebut antara lain, untuk memenuhi aspek legalitas, DKP3A Kaltim telah melampaui target nasional pada tahun 2020 untuk pembuatan akta kelahiran. Pada aspek ekonomi telah dilaksanakan penyuluhan ekonomi bagi kelompok UPPKS, Perempuan Kepala Keluarga, Anggota kelompok Desa Prima  dan kelompok binaan Pusat Informasi dan Konsultasi Perempuan Penyandang Disabilitas (PIK-P2D), Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) bagi Calon Pengantin, KIE kesehatan reproduksi remaja, KIE tentang stunting dan pendirian Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) sebagai tempat konsultasi tentang permasalahan keluarga.

“Sedangkan Raperda tentang Ketahanan Keluarga masih dalam proses melalui inisiatif DPRD Provinsi Kalimantan Timur,” katanya.

Menyadari betapa besar beban keluarga pada masa pandemi Covid 19 ini, pentingnya memberikan wawasan, pengetahuan serta bagaimana anggota keluarga menjalankan peran dan fungsinya dalam penguatan ketahanan keluarga di bidang ekonomi maupun mental spiritualnya.

Soraya juga mengimbau, agar masyarakat tetap disiplin protokol kesehatan dengan selalu mencuci tangan dengan sabun, rajin berolah raga, makan makanan yang bergizi, menggunakan masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan. (dkp3akaltim/dell)

Menteri PPPA: Vaksinasi Covid-19 untuk Anak Bentuk Perlindungan Nyata bagi Anak Indonesia

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan keputusan Pemerintah untuk segera melakukan vaksinasi Covid-19 bagi anak-anak berusia 12-17 tahun merupakan bentuk perlindungan nyata bagi anak Indonesia.

“Langkah ini juga untuk merespons semakin tingginya angka penularan dan kasus Covid-19 kepada anak di Indonesia sehingga harus diambil langkah nyata sebagai bentuk perlindungan negara,” kata Menteri Bintang Puspayoga dalam keterangannya, Senin, 28 Juni 2021.

Presiden Joko Widodo dalam keterangannya di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 28 Juni 2021 secara resmi sudah mengumumkan kebijakan vaksinasi Covid-19 bagi anak-anak berusia 12-17 tahun seiring dengan terbitnya izin penggunaan darurat atau emergency use of authorization dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk vaksin Sinovac.

BPOM tercatat telah mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use of authorization (EUA) untuk vaksin Sinovac yang dinyatakan aman digunakan anak usia 12 sampai 17 Tahun. Sehingga vaksinasi untuk anak-anak usia tersebut bisa segera dimulai.

Bintang Puspayoga menyatakan akan segera menindaklanjuti kebijakan tersebut dengan berkoordinasi dan bersinergi dengan pihak terkait agar program tersebut bisa segera terlaksana dan tersosialisasikan secara luas. “Ini penting agar kebijakan bisa segera diterapkan dan vaksinasi bagi anak bisa terlaksana secara luas,” katanya.

Data nasional saat ini menunjukkan proporsi kasus konfirmasi positif COVID-19 pada anak usia 0-18 tahun 12,5 persen. Artinya, 1 dari 8 kasus konfirmasi itu adalah anak dengan 50 persen kasus kematian COVID-19 anak adalah balita.

“Fokus kami adalah melindungi anak dan meyakinkan kalau hak-hak anak terpenuhi secara baik, meskipun dalam suasana pandemi Covid-19. Kepentingan terbaik anak adalah prioritas di tengah pandemi ini,” katanya.

Program vaksinasi Covid-19 nasional sendiri telah mencapai angka 1,3 juta suntikan sampai dengan Sabtu, 26 Juni 2021. Pencapaian ini tercatat lebih cepat dari target yang ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah, yakni 1 juta suntikan perhari mulai Juli 2021.

Semua pihak dilibatkan untuk bekerja keras dan bergotong royong terutama Kementerian Kesehatan, TNI-Polri, pemda, BUMN, dan pihak swasta yang turut membantu, serta masyarakat yang bersedia divaksin.

KemenPPPA sampai sejauh ini telah memberikan layanan perlindungan perempuan dan anak yang aman dengan memberikan vaksinasi bagi para pendamping perempuan dan anak penyintas kekerasan dan serta pendamping AMPK.

Sebelumnya pula sebanyak 890 pendamping perempuan dan anak penyintas kekerasan serta pendamping anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK), menjalani vaksinasi COVID-19 pada 24 Mei 2021.

Menteri Bintang menekankan semua pihak untuk tidak ragu divaksinasi dan mengajak anak untuk divaksin bila saatnya tiba nanti. Dan yang tak kalah penting tetap berdisiplin menjalankan protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

“Dan tetap tinggallah di rumah selama tidak ada kebutuhan yang mendesak. Ajaklah anak melakukan kegiatan positif agat tidak bosan, jangan mengajak anak ke tempat kerumunan atau tempat rawan penularan,” kata Bintang. (birohukumdanhumaskpppa)

Pengasuhan Memegang Peran Yang Sangat Penting Dalam Sebuah Keluarga

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita mengungkapkan dimasa pandemi Covid-19 mengubah banyak hal dalam kehidupan anak mulai belajar dirumah dan terbatasnya akses untuk beraktifitas diluar.

Ada 5 resiko yang rentan dialami anak akibat Covid-19, pertama terkait meningkatnya kekerasan di rumah tangga, kedua berhubungan dengan psikososial anak, ketiga hilangnya pengasuhan, keempat meningkatnya tantangan untuk mengakses layanan bagi anak dan kelima stigmatisasi pada anak-anak terdampak dan keluarganya.

“Maka disini peran keluarga juga menjadi pertahanan utama yang dapat menangkal berbagai pengaruh negatif dari dinamika sosial yang ada,” ujar Soraya dalam acara Puspaga Sharing Session dengan tema “Permasalahan Anak di Layanan Rujukan dan Penanganannya”, berlangsung di Ruang Rapat Kartini DKP3A Kaltim, Kamis (24/6/2021).

Soraya melanjutkan, keluarga diharapkan mampu menjadi lingkungan sosial pertama yang memperkenalkan cinta kasih, moral, keagamaan, sosial budaya dan sebagainya. Karena keluarga sebagai sebuah sistem sosial terkecil mempunyai peranan penting dalam mencapai kesejahteraan penduduk yang menjadi cita-cita pembangunan.

Menurutnya kegagalan keluarga dalam melaksanakan tanggung jawab pengasuhan disertai lemahnya program pemerintah dalam membantu/memberdayakan keluarga tersebut untuk mengasuh dan melindungi anak, dikhawatirkan akan menyebabkan anak berada dalam kondisi rentan dan beresiko mengalami kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya.

“Sehingga pengasuhan memegang peran yang sangat penting dalam sebuah keluarga dan akan menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak,” imbuhnya.

Dengan hadirnya Pelayanan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) menjadi bagian dari upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan, anak dan penyandang disabilitas.

Hal ini, lanjut Soraya, merupakan salah satu unsur prioritas dalam pelaksanaan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).

Melalui kegiatan ini, ia berharap peserta dapat lebih mengenal peran Puspaga yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara gratis tanpa dipungut biaya jika ingin berkonsultasi terkait permasalahan keluarga. (dkp3akaltim/rdg)

Norbaiti Serahkan KTP-el dan KIA di LPKA

Samarinda — Ketua TP PKK Kaltim Hj Norbaiti Isran Noor didampingi Kepala Dinas Kependudukan, Pemberayaan Perempuan dan Perlidungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita dan Kepala Kanwil Kemenkumham Kaltim Sofyan menyerahkan kartu identitas anak (KIA) dan kartu tanda penduduk (KTP) kepada anak yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Samarinda di Tenggarong, Rabu (23/6/2021).

Norbaiti mengatakan, Kartu Identitas Anak (KIA) merupakan identitas resmi anak sebagai bukti diri anak yang berusia kurang dari 17 tahun dan belum menikah yang diterbitkan oleh Disdukcapil.

“KIA ini wajib dimiliki oleh setiap anak sebelum memiliki KTP dengan tujuan meningkatkan pendataan, perlindungan, dan pelayanan publik bagi anak,” ujar Norbaiti dalam acara Pelayanan Terpadu Penerbitan KTP-el dan KIA Pada LPKA Kelas II Samarinda.

Bagi penduduk yang berusia 17 tahun lebih atau belum berusia 17 tahun, tetapi sudah menikah maka wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk atau yang sekarang kita kenal dengan KTP-el.

“Dengan memiliki KIA dan KTP ini, artinya sudah sah atau resmi menjadi warga negara Indonesia secara legal,” tutur Norbaiti.

Selain itu, lanjut Norbaiti, KIA sebagai upaya memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara, KIA juga bisa digunakan untuk mengakses pendidikan, membuka tabungan di bank dengan rekening atas namanya sendiri serta yang tidak kalah pentingnya KIA bermanfaat mencegah terjadinya perdagangan anak.

“Anak berhadapan hukum (ABH) perlu mendapatkan pendampingan agar terhindar dari diskriminasi, stigmatisasi, dikucilkan, atau bahkan diusir dari lingkungannya,” ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, ABH harus mendapatkan hak perlindungan hukum dan tetap dipenuhi hak tumbuh kembangnya seperti yang telah dilakukan oleh LPK Anak dalam melakukan pembinaan terhadap ABH dengan memenuhi hak-hak mereka seperti memperoleh pendidikan, mendapatkan latihan dan keterampilan serta waktu untuk anak selain bersosialisasi dan bermain.

Sementara Kepala Dinas KP3A Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, DKP3A Kaltim dan lima Dinad Dukcapil Se Kaltim telah melaksanakan perekaman KTP-el di LPKA Kelas II Samarinda sebanyak 29 Anak pada Selasa 22 Juni 2021.

“Untuk penyerahan KTP-el dan KIA hari ini yaitu sebanyak 21 keping KTP-el dan 7 Keping KIA,” ujar Soraya.

Soraya mengatakan, hal ini untuk memenuhi hak konstitusional Warga Negara Indonesia untuk memperoleh identitas sebagai bukti keabsahan diri dan memberikan layanan dokumen kependudukan tanpa diskriminasi dalam rangka mewujudkan layanan yang membahagiakan masyarakat.

“Selain itu, meningkatkan kualitas layanan dan kuantitas cakupan kepemilikan KTP dan KIA di Provinsi Kalimantan Timur,” tutup Soraya.

Turut hadir dalam kegiatan ini Kepala Disukcapil Samarinda Abdullah, Kepala Disdukcapil Kukar M Iryanto, Kepala Lapas Perempuan Kelas IIA Samarinda Sri Astiana, dan Wakil TPP-PKK Kaltim Erni Makmur Hadi Mulyadi. (dkp3akaltim/rdg)

 

Data Terpilah Gender Untuk Wujudkan Pembangunan Responsif Gender

Samarinda — Demi mewujudkan pembangunan responsif gender di Kaltim perlu tersedianya data pilah gender menjadi hal yang penting.

Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, kebijakan pemerintah di bidang pengarustaman gender (PUG) tidak dapat di pisahkan dari upaya secara keseluruhan yakni untuk mewujudkan visi kesetaraan dan keadilan gender.

“Sayangnya ini belum terealisasi secara maksimal,” ujar Soraya pada Kegiatan Informasi dan Data Gender Tahun 2021, berlangsung di Ruang Rapat Tepian II Kantor Gubernur Kaltim, Rabu (23/6/2021).

Padahal pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang Penyusunan Anggaran Responsif Gender antara lain, Peraturan Mendagri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah.

Sementara, untuk memperkuat dan mendorong kelembagaan sistem data, perlu melakukan data terpilah yaitu dengan meningkatkan Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota.

“Salah satu prasyarat pelaksanaannya adalah ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin,” imbuhnya.

Dalam Pengumpulan/Pengolahan Data Terpilah Gender diperlukan suatu indikator komposit agar mendapatkan hasil untuk mengukur keberhasilan pembangunan di berbagai bidang.

Sebagaimana kita ketahui bahwa untuk mencapai suatu tujuan pembangunan diperlukan informasi sebagai data pendukung baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Pengumpulan data tersebut akan mudah terjalin bila komponen-komponen yang ada mempunyai kesamaan pandangan.

“Oleh karena itu seluruh komponen masyarakat dan pemerintah diharapkan bersinergi agar tercapai kesejahteraan gender,” tutur Soraya. (dkp3akaltim/rdg)

10 Puspaga Sudah Terbentuk Di Kaltim

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan hingga akhir tahun 2020 sudah 9 kabupaten/kota yang sudah membentuk Pelayanan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga).

Untuk 9 Kabupaten/kota yang sudah terbentuk Puspaga adalah Berau, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Paser, Balikpapan, Bontang, Samarinda dan Penajam Paser Utara dalam proses pembentukan.

“Tingkat provinsi telah terbentuk pada tahun 2019, lalu untuk Kabupaten Mahakam Ulu dalam tahap advokasi,” ujarnya dalam Seminar Parenting Peran Pengasuhan Bagi Tumbuh Kembang Anak, berlangsung di Ruang Rapat Kartni DKP3A Kaltim, Rabu (23/6/2021).

Soraya menjelaskan, Puspaga merupakan one stop service atau Layanan Satu Pintu Keluarga Berbasis Hak Anak untuk memberikan solusi atau jalan keluar bagi orang tua, anak dan keluarga dalam menghadapi permasalahan pada langkah pertama pencegahan kekerasan.

Puspaga, lanjut Soraya, merupakan bentuk layanan pencegahan dibawah koordinator DKP3A Kaltim sebagai wujud kepedulian Negara dalam meningkatkan kehidupan keluarga dan ketahanan keluarga melalui program pendidikan/pengasuhan, ketrampilan menjadi orangtua, keterampilan melindungi anak, kemampuan meningkatkan partisipasi anak dalam keluarga maupun penyelenggaraan program konseling bagi anak dan keluarga. Dilakukan oleh tenaga profesional seperti tenaga konselor, baik psikolog atau sarjana profesi bidang psikologi, Bimbingan Konseling atau Pekerja Sosial yang telah memahami Konvensi Hak Anak (KHA), melalui peningkatan kapasitas orang tua/keluarga yang bertanggung jawab terhadap anak dalam mengasuh dan melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran.

“Hal ini merupakan salah satu unsur prioritas dalam pelaksanaan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA),” terang Soraya.

Selain itu, pengasuhan memegang peran yang sangat penting dalam sebuah keluarga dan akan menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak.

Sehingga strategi maupun kebijakan telah disiapkan pemerintah, salah satunya adalah melalui Puspaga, sebagai upaya pencegahan kekerasan dan terhadap perempuan, anak dan penyandang disabilitas.

Dengan Hadirnya Puspaga, ia berharap masyarakat dapat bersama-sama melakukan pembelajaran terkait bagaimana mengasuh anak dengan tepat sehingga mampu menjaga ketahanan keluarga. (dkp3akaltim/rdg)

DKP3A Kaltim Gelar Advokasi Untuk Perkecil Kesenjangan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan

Samarinda — Dalam rangka optimalisasi upaya pemberdayaan perempuan pada bidang ekonomi, maka perlu strategi dan kebijakan meliputi perluasan kesempatan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas dan perlindungan sosial. Pada dasarnya kebijakan di bidang ekonomi, sosial budaya dan politik tidak bisa dipisahkan.

Oleh karena itu, pengembangan program pemberdayaan perempuan harus konsisten dengan kebijakan-kebijakan di tingkat makro. Sebab dengan mengacu kepada kebijakan makro operasional, maka kebijakan mikro strategis akan mampu mendukung program-program sektoral.

Asisten 1 Pemerintah Kota Samarinda Tejo Sutanoto mengatakan, pendampingan kepada lembaga penyedia layanan pemberdayaan perempuan ini sejalan dengan program unggulan Pemkot Samarinda yakni, Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (PRO-BEBAYA).

“Untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat, diarahkan untuk penciptaan wirausaha baru minimal 2-3 orang per RT,” ujar Tejo pada kegiatan Advokasi Kebijakan dan Pendampingan kepada Lembaga Penyedia Layanan Pemberdayaan Perempuan, berlangsung di Rumah Jabatan Walikota Samarinda, Selasa (22/6/2021).

Sementara Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan berdasarkan data BPS tahun 2020 terdapat kesenjangan pada capaian pembangunan dalam  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) laki-laki dan perempuan Provinsi Kalimantan Timur.

Untuk IPM laki-laki Kalimantan Timur ada pada indeks 81,32 menempati posisi ke tiga  dari 34 Provinsi se Indonesia dan IPM Perempuan ada pada posisi ke 7 dari 34 Provinsi se Indonesia.

Sementara untuk capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) ada pada posisi 32 dari 34 Provinsi se Indonesia. Komposit yang sangat mempengaruhi terhadap kesenjangan ini adalah pada bidang ekonomi yaitu Pengeluaran Perkapita sebagai Komposit IPG dan IPM Kaltim.

“Pengeluaran perkapita berada pada angka 6.943.000/tahun untuk perempuan dan 17.958.000/tahun untuk laki laki. Sedangkan capaian Indonesia sebesar 9.004. 000/tahun. Sektor ekonomi lainnya adalah Sumbangan Pendapatan Perkapita Perempuan Kaltim  24.17 persen  menglami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu 24.06 persen,” ujar Soraya.

Ini menunjukkan kualitas hidup perempuan Kalimantan Timur masih rendah khususnya pada sektor ekonomi bahkan berpotensi menjadi beban pembangunan.

Terlebih lagi dihadapkan dengan masa pandemi Covid-19, terjadi penurunan pencapaian pembangunan di segala sektor, kehilangan pendapatan dan terputusnya hubungan Kerja.

Serangan pandemi pada anggota keluarga menjadi kendala yang cukup berat bagi perempuan dalam mengelola peran dan tugasnya terutama dalam mengelola usaha ekonomi.

“Padahal perempuan yang berkualitas hidup prima dapat menjadi aset pembangunan yang memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap proses pembangunan yang berkesetaraan dan berkeadilan,” imbuh Soraya.

Soraya menambahkan, perangkat daerah selaku penyelenggara negara berkewajiban melaksanakan berbagai upaya dalam menghadapi kesenjangan pembangunan khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi perempuan.

Melalui berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang strategis diharapkan dapat membangun motivasi perempuan untuk maju, mengembangkan potensi perempuan dari semula belum berkembang menjadi berkembang.

“Kami yakin bahwa Kota Samarinda melalui perangkat daerah dapat memperkecil kesenjangan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan khusunya bidang ekonomi,” tutup Soraya. (dkp3akaltim/rdg)

Mari Bersinergi Wujudkan Komitmen Bersama Untuk Indonesia Ramah Perempuan dan Layak Anak

Denpasar — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menutup secara resmi Rapat Koordinasi Nasional Pembangunan PPPA Tahun 2021 dengan tema “Sinergi Pusat dan Daerah dalam Mewujudkan Indonesia Ramah Perempuan dan Layak Anak”.
Menteri Bintang menyampaikan penutupan Rakornas Pembangunan PPPA Tahun 2021 telah menghasilkan kesepakatan bersama (Komitmen Bali) antara Menteri PPPA dan Kepala Dinas yang membidangi urusan PPPA di Provinsi.
“Setelah berdiskusi dan berbagi praktik terbaik selama 2 hari, baik secara online maupun offline yang semata-mata bertujuan untuk memperkuat koordinasi dan membangun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam urusan PPPA. Hasil dari Rakornas Pembangunan PPPA ini menghasilkan kesepakatan bersama yang menjadi komitmen pusat dan daerah. Besar harapan saya agar kita semua memiliki semangat yang sama untuk mewujudkan dan menindaklanjuti rekomendasi yang sudah kita sepakati melalui aksi nyata program dan kegiatan koordinasi dan sinergitas PPPA pusat dan daerah yang lebih baik lagi ke depan,” ungkap Menteri Bintang.
Menteri Bintang menambahkan pelaksanaan Rakornas Pembangunan PPPA Tahun 2021 ini semata-mata diselenggarakan untuk menjadikan perempuan dan anak Indonesia lebih maju lagi dan berkualitas.
“Kami berharap juga apa yang kita sepakati ini juga dapat dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk melihat kemajuan-kemajuannya yang sudah dicapai dan juga kendala-kendalanya. Komitmen bersama ini jangan hanya berhenti sebagai dokumen semata namun harus kita implementasikan melalui sinergi dan kolaborasi demi mewujudkan Perempuan Berdaya, Anak Terlindungi, Indonesia Maju!,” imbuh Menteri Bintang.
Pembahasan dalam Rakornas Pembangunan PPPA Tahun 2021 yakni kondisi perempuan dan anak, kebijakan kesetaraan gender PPPA dalam Rencana Strategis Kemen PPPA 2020-2024 dan Rencana Kerja 2022, dan Rencana Dana Alokasi Khusus Non-Fisik (DAK NF PPA) 2022. Selain itu, pembahasan juga terkait implementasi sinergi pusat – daerah tentang pelaksanaan 5 Arahan Presiden. Indikator dan penerapan Daerah Ramah Perempuan dan Layak Anak dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Layanan terpadu dan komprehensif bagi perempuan korban kekerasan dan TPPO dan AMPK, sinergi pemerintah daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Keagamaan dalam pemberian layanan bagi korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dan TPPO yang bersumber dari DAK NF PPA, dan pencatatan dan pelaporan, serta manajemen kasus KtPA dan TPPO Melalui SIMFONI PPA serta penyampaian Best Practices dari daerah.
Adapun hasil dari komitmen bersama dari Rakornas PPPA Tahun 2021 rekomendasi yang dihasilkan adalah:
1. Melaksanakan sinkronisasi kebijakan PPPA antara pusat dan daerah untuk mengefektifkan pelaksanaan urusan PPPA di daerah;
2. Menguatkan koordinasi, sinergi, dan kerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan termasuk Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan, Perguruan Tinggi, Lembaga Profesi, Dunia Usaha, dan Media, dengan melaksanakan:
a. Peningkatan pemberdayaan perempuan di bidang kewirausahaan, khususnya perempuan penyintas kekerasan dan bencana, perempuan kepala keluarga, dan perempuan rentan lainnya;
b. Peningkatan kualitas pengasuhan anak baik dalam keluarga, keluarga pengganti, maupun institusi (lembaga pengasuhan alternatif) berbasis hak anak;
c. Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak;
d. Penghapusan pekerja anak melalui upaya pencegahan dan penarikan anak dari pekerjaan terburuk bagi anak dengan melibatkan berbagai pihak, serta memastikan anak yang bekerja dapat terpenuhi hak-haknya; dan
e. Penurunan perkawinan anak dengan berpedoman pada Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA);

3. Menguatkan sinergi potensi dan sumber Pendanaan dalam pelaksanaan kegiatan terkait 5 (lima) isu PPPA yang menjadi arahan Presiden (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dana Alokasi Khusus (DAK), Hibah, dan sumber lainnya);
4. Memastikan partisipasi anak secara bermakna dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi pembangunan PPPA di pusat dan daerah;
5. Penguatan pendataan urusan PPPA di pusat dan daerah, melalui:
a. Dukungan berjalannya sistem data pencatatan dan pelaporan kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtP/A) dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) serta manajemen kasus KtP/A dan TPPO secara terpadu melalui Simfoni PPA untuk memastikan korban mendapatkan layanan komprehensif;
b. Penyediaan dan pemanfaatan data PPPA termasuk AMPK sebagai dasar perencanaan dan penganggaran yang berbasis bukti (termasuk data terkait 5 AP);
6. Menguatkan upaya penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak (AP 3), melalui :
a. Optimalisasi upaya Pencegahan KtP/A dan TPPO melalui berbagai media;
b. Mengawal dan mendorong Percepatan Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum membentuk UPTD PPA;
c. Mengoptimalkan fungsi UPTD PPA dalam penanganan perempuan dan anak korban kekerasan dan TPPO;
d. Koordinasi dan kerja sama antara pusat dan daerah dan antar daerah dalam upaya penanganan KtP/A dan TPPO (kasus kekerasan lintas wilayah, lintas negara, dan yang menjadi perhatian nasional);
e. Penguatan sistem layanan terpadu penanganan korban KtP/A dan TPPO;
f. Peningkatan kapasitas SDM yang memberikan pelayanan penanganan korban KtP/A dan TPPO;
g. Penguatan kapasitas layanan SAPA 129 di Daerah; dan
h. Optimalisasi pelaksanaan DAK Non Fisik PPA, antara lain :
– DAK Non Fisik PPA akan mengisi gap pembiayaan layanan perlindungan perempuan dan anak di daerah dan tidak untuk menggantikan APBD;
– Memperkuat peran provinsi dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan DAK Non Fisik PPA tahun 2021 di kabupaten/kota;
– Mengoptimalkan pemanfaatan DAK Non Fisik PPA untuk memperkuat layanan perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan dan TPPO di daerah. Keberlanjutan DAK Non Fisik PPA sangat tergantung dari keberhasilan daerah dalam mengimplementasikannya, yaitu: (1) apakah dana yang dialokasikan terserap dengan baik; dan (2) apakah pemanfaatannya dinilai efektif sesuai tujuan yang telah dirumuskan;
– Senantiasa bersinergi dengan lembaga Layanan masyarakat yang sudah berperan besar dalam penjangkauan dan pemberian layanan kepada korban KtP/A dan TPPO;
7. Menguatkan kebijakan dan program untuk pengembangan model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang fokus pada pencegahan dan penanganan 5 isu prioritas PPPA yang menjadi Arahan Presiden, dalam rangka mewujudkan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) Ramah Perempuan dan Layak Anak; dan
8. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi kemajuan pelaksanaan kesepakatan bersama RAKORNAS Pembangunan PPPA 2021 Bali. (birohukumdanhumaskpppa)