Dukung Kebijakan Non-Diskriminatif pada Anak Dalam Lingkungan Pendidikan

Jakarta — Implementasi kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama) terkait pemerintah daerah dan sekolah negeri soal seragam beratribut agama merupakan upaya pemerintah dalam menegakan kebhinnekaan, toleransi, dan melindungi hak-hak warga negara dalam beragama. Pemaksaan penggunaan atribut keagamaan yang tidak dikehendaki di satuan pendidikan kerap memberatkan anak dan perempuan sebagai kelompok yang rentan terhadap diskriminasi. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis baru antar kementerian dan masyarakat dalam mengupayakan kebijakan yang menjunjung toleransi dan non-diskriminasi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengatakan SKB 3 Menteri merupakan penekanan kebebasan warga negara untuk memilih dan mengekspresikan praktek keagamaan di lingkungan pendidikan.

Ia mengatakan tidak boleh ada pemaksaan di dalam unit-unit pendidikan negeri dan pemerintah harus berperan serta melindungi hak setiap anak dan orang tua untuk menentukan bagaimana mereka mempraktekan ajaran agama sesuai keyakinan masing-masing.

Dalam satu bulan periode kebijakan tersebut, sinergi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang inklusif masih membutuhkan dukungan dari masyarakat untuk menginternalisasikan peraturan di semua lapisan masyarakat. “Ini merupakan pekerjaan berat dan tidak akan berhasil kalau hanya pemerintah yang bergerak. Masyarakat, organisasi dan civil society yang mendukung harus membantu menyuarakan dan manyalurkan isu-isu ini. Ketika mungkin ditemukan orang takut melapor, atau tidak nyaman melapor bisa saling memberikan bantuan. Jadi membantu untuk memonitor situasi di lapangan yang berhubungan tentang SKB 3 menteri mengenai seragam ini. Maka dari itu, civil society adalah yang menjadi kunci untuk maju dan menjadikan kebijakan ini sebuah gerakan yang berdampak lebih luas,” tambah Nadiem dalam Dialog Nasional SKB 3 Menteri: Perlindungan Konstitusional Untuk Hak-hak Sipil secara daring, Jumat (19/3/2021).

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Lenny Rosalin mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan 15 Kementerian/Lembaga (K/L), termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama untuk mewujudkan satuan pendidikan di Indonesia yang ramah anak dengan cara menerapkan prinsip-prinsip hak anak di dalamnya. Nilai-nilai toleransi, anti kekerasan, non-dikriminasi, the best interest of our children harus dikedepankan.

“Dalam pelaksanaan SKB 3 Menteri, sangat dibutukan dukungan dari semua pihak untuk bersama-sama mengawal implementasinya sampai dengan tingkat satuan pendidikan, termasuk peran stakeholder di sekolah dan orang tua sehingga hal-hal yang merugikan bagi anak bisa dihindari,” tutur Lenny.

Menteri Agama, Yaqut Cholil Quoumas menjelaskan strategi pemerintah dalam menangani permasalahan diskriminasi berkaitan dengan seragam dan atribut keagamaan di lingkungan pendidikan, antara lain, mengidentifikasi masalah dan cara penangkalannya, resolusi konflik, mengembangkan wacana alternatif, penyesuaian sistem pendidikan agama, dan melakukan gerakan sosial untuk memelihara harmoni sosial dalam menjaga kerukunan umat beragama. (kemenpppa)

Perkuat Perspektif Gender dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Jakarta — Saat ini, strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam proses penanggulangan bencana non alam pandemi Covid-19 masih tergolong lemah. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah perempuan yang terlibat dalam pengambilan kebijakan dan keputusan dalam keluarga, terlebih saat pandemi. Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Pembangunan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati menekankan pentingnya mengedepankan prinsip perspektif gender dalam proses penanganan bencana, khususnya saat pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak luar biasa di berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, kesehatan, hingga ekonomi. Perempuan menjadi kelompok rentan terbesar yang mengalami banyak persoalan mulai dari beban ganda, kehilangan mata pencaharian, menjadi tulang punggung keluarga, hingga mengalami kekerasan berbasis gender.

“Untuk itu, sangat penting mengedepankan prinsip perspektif gender dalam proses penanggulangan bencana, khususnya di masa pandemi ini. Kita harus pastikan agar perempuan mendapat akses dan bisa terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, serta terpenuhinya kebutuhan strategis dan kebutuhan praktis mereka,” ungkap Ratna dalam acara Diskusi Publik dan Media Kebijakan Penanggulangan Dampak Pandemi Covid-19 untuk Perempuan, yang dilaksanakan secara virtual, Jumat (19/03/2021)

Ratna menambahkan penanggulangan bencana yang responsif gender merupakan isu lintas bidang yang melibatkan banyak pihak. Selain itu, semua unsur tersebut, mulai dari pemerintah, dunia usaha, akademisi, media massa, dan masyarakat luas harus memiliki kesadaran gender, memiliki komitmen dan melakukan praktik yang responsif gender.

“Penelitian terkait isu gender juga harus lebih banyak dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai persoalan di masa pandemi ini. Semua bertujuan untuk melindungi kelompok rentan dari kekerasan berbasis gender, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, dan berbagai dampak negatif dari pandemi Covid-19 lainnya,” jelas Ratna.

Pemerintah terus melakukan berbagai upaya dalam menangani dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan seluruh masyarakat, khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan yang paling banyak terdampak. Pada 2020, Kemen PPPA bekerjasama dengan dunia usaha telah memberikan pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak dengan melihat kategorisasi usia pada anak dan kebutuhan khusus bagi perempuan dewasa. Kebutuhan spesifik ini diberikan untuk melengkapi bantuan sosial pemerintah melalui Kementerian Sosial.

Kemen PPPA juga telah berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya dalam menyediakan layanan SEJIWA (Sehat Jiwa) untuk menangani permasalahan yang dialami perempuan dan anak di masa pandemi. Selain itu, mengembangkan gerakan BERJARAK (Bersama Jaga Keluarga Kita), dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat hingga tingkat desa untuk mengoptimalkan peran keluarga dalam pencegahan dan pemulihan dampak pandemi ini.

Terkait regulasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB No.13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana yang melibatkan perempuan dan laki-laki dalam tanggap darurat responsif gender. Namun, dalam penanggulangan bencana di lapangan, peraturan ini masih belum berjalan optimal. Seperti tidak adanya data terpilah korban bencana yang dibutuhkan dalam perencanaan penanganan bencana. Oleh karena itu, Kemen PPPA terus berupaya mendorong ketersediaan data terpilah untuk memastikan bantuan yang diberikan dapat tepat sasaran, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang terdampak pandemi.

“Saya harap, kita semua dapat menjadi garda terdepan untuk mengawal proses pemulihaan, pemenuhan kebutuhan, mendukung pemberdayaan yang adil dan setara, mengadvokasi dan mempromosikan kebijakan publik tidak hanya untuk mengatasi masalah dalam kondisi bencana, tapi juga mempromosikan kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan,” terang Ratna.

Pada acara ini, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina mengungkapkan bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah belum kuat memperhatikan pengarusutamaan gender. Selain itu, masih banyak perempuan rentan yang belum tersentuh bansos dan belum mengetahui cara mendapatkan bansos.

“Untuk itu, perlu ada pelibatan warga yang lebih besar dalam perumusan program bansos agar bantuan lebih tepat menjawab kebutuhan target sasaran. Selain itu, perlu ada sosialisasi lebih masif dan aksesibel perihal informasi rinci mengenai bansos, tata cara pendaftaran, platform dan tata cara pengaduan. Terlebih lagi kelompok perempuan sangat potensial menjadi agen untuk mengawasi program bansos,” terang Almas. (kemenpppa)