Forum Perangkat Daerah DKP3A Kaltim

Balikpapan — Plt Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Sri Wahyuni mengatakan, tiga mandat urusan DKP3A meliputi urusan Pengendalian Penduduk dan KB, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan urusan Fasilitasi Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil. Sehingga DKP3A memilki target capaian indikator yang beragam. Hal ini menuntut proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta pelaporan  dilaksanakan secara cemat, tepat dan bertanggung jawab.

Ia menyebutkan, Forum Perangkat Daerah DKP3A dilaksanakan sebagai sarana koordinasi kerjasama dan perangkat daerah Kabupaten/Kota guna melaksanakan percepatan capaian indikator kinerja dalam Renja 2021, Renstra dan RPJMD 2019-2023 terutama pada capaian Program Prioritas RPJMD.

“Isu-isu penting dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi DKP3A diantaranya Pengarusutamaan Gender (PUG) belum sepenuhnya diimplementasikan menjadi  strategi pembangunan seluruh sektor, penyediaan data terpilah belum maksimal DAN Meningkatnya jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak termasuk TPPO serta pemanfaatan database kependudukan yang belum optimal,” terang Sri Wahyuni dalam acara Forum Perangkat Daerah DKP3A Kaltim, berlangsung di Hotel Astara Balikpapan, Selasa (30/3/2021).

Sri Wahyuni berharap, kegiatan ini dapat menyelaraskan program dan kegiatan perangkat daerah dengan RPJMD dan Renstra Provinsi serta kabupaten/kota serta mempertajam indikator serta target kinerja program dan kegiatan perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsi perangkat daerah.

Kegiatan ini dilaksanakan satu hari secara online dan offline. Hadir menjadi narasumber Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Rusman Yaqub, Kabid SDM dan Pemerintahan Bappeda Kaltim Hariyo Santoso dan Tim Gubernur Untuk Pengawalan Percepatan Pembangunan (TGUP3) Abdulah Karim. (dkp3akaltim/rdg)

Stop Perkawinan Usia Anak Di Kaltim

Balikpapan — Mewakili Wakil Gubernur Kaltim H Hadi Mulyadi, Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Prov Kaltim Dr. HM Jauhar Efendi menegaskan, Pemprov Kaltim terus berupaya melakukan strategi dalam menurunkan angka pernikahan anak usia dini.

Perkawinan usia anak dinilai banyak memiliki masalah di masa depan. Mulai dari sisi kesehatan hingga ekonomi.

Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya melalui penetapan target penurunan perkawinan anak secara nasional dalam RPJMN 2020-2024 dari 11,2 persen di tahun 2018 menjadi 8,74 di tahun 2024.

“Meskipun dimasa pandemi, Pemprov Kaltim tetap optimis untuk dapat menurunkan angka perkawinan usia anak,” sebut Jauhar Efendi ketika membuka Rapat Koordinasi Daerah Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Rakorda PPPA) tahun 2021 di Hotel Grand Jatra Balikpapan, Senin (29/3/2021).

Menurut Jauhar, upaya ini penting dilakukan. Apalagi Kaltim diatas rata-rata nasional angkanya, sehingga menjadi tanggungjawab bersama terutama orang tua.

Banyak faktor yang menjadikan kondisi ini terjadi dialami anak-anak di bawah umur. Contohnya, permasalahan ekonomi keluarga, budaya daerah tempat tinggal dan minimnya edukasi terkait perkawinan usia anak.

Sementara pandemi Covid-19 membawa masalah baru degan meningkatnya jumlah perkawinana usia anak di Indonesia. Pada Januari-Juni 2020, 34.000 permohonan dispensasi perkawinan usia anak di ajukan 97% diantaranya dikabulkan. Padahal sepanjang 2019 hanya terdapat 23.700 permohonan.

“Kita sangat kaget kondisi ini. Apalagi semasa Pandemi Covid-19. Ternyata, pernikahan anak di daerah kita malah meningkat tajam mencapai 1.159 anak yang menikah. Semoga tahun selanjutnya tidak demikian,” jelasnya.

Sebagai informasi, angka perkawinan usia anak tertinggi terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara sebanyak 268 anak, posisi kedua di Kota Samarinda sebanyak 194 anak dan Kota Balikpapan sebanyak 179 anak.

Langkah-langkah sinergi dan berjenjang perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh lingkungan masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, Forum Pemerhati Anak.

Karena itu, melalui Rakor ini diharapkan dapat merumuskan bagaimana meminimalisir bahkan mencegah terjadinya perkawinan usia anak melalui penguatan pengarusutamaan hak anak.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber Plt Kepala DKP3A Kaltim Sri Wahyuni, Tim Ahli Perlindungan Anak, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia Dr Hamid Patilima, Dokter Spesialis Obgyn dr Aspian Noor, Wakil Ketua I TP-PKK Kaltim Dr Futum Hubaib dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tuty Kusumawati.

Kegiatan dilaksanakan satu hari diikuti peserta 100 orang, terdiri 70 orang peserta online dan 30 orang offline. (dkp3akaltim/rdg)

Kaltim Terus Berupaya Stop Praktik Perkawinan Anak

Samarinda — Plt Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Sri Wahyuni mengatakan, Pemerintah Kaltim sudah dan akan terus berupaya menghentikan praktik perkawinan anak.

Hingga saat ini Kaltim telah memiliki Perda Nomor 12 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak dan Instruksi Gubernur Nomor 463 tahun 2019 tentang Pencegahan dan  Perkawinan Usia Anak.

“Terkait dengan mekanisme  koordinasi pencegahan perkawinan usia anak, sudah terbentuk Pokja P2HA. Kemudian rapat koordinasi dan advokasi,” ujarnya pada Rakor Penguatan Strategi Daerah dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di 22 Provinsi yang diinisiasi Kemen PPPA, berlangsung secara virtual, Selasa (23/3/2021).

Tahun 2020, DKP3A Kaltim telah melakukan beberapa kegiatan antara lain, Sosialisasi bagi Calon Pengantin, Sosialisasi Kesehatan Reproduksi Remaja, Advokasi bagi remaja dan kelompok sebaya, dan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak yang diikuti oleh para pelajar di beberapa kabupaten.

Sebagai tindak lanjut, tahun 2021, DKP3A Kaltim melakukan FGD dengan OPD terkait di 2 kabupaten, Pengembangan KIE melalui Puspaga Ruhui Rahayu Kaltim, Penguatan Jejaring antar lembaga dan advokasi kebijakan.

Kaltim telah memiliki 134 Perlindungan Anak Terpadu Berbasisi Masyarakat (PATBM) gerakan dari jaringan atau kelompok warga pada tingkat masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan perlindungan anak.

“Selain itu, saat ini Kaltim sedang melakukan revisi RMPJD maka isu terkait pencegahan perkawinan anak akan menjadi perhatian kami. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dengan Bappeda, bahwa target penurunan angka perkawinan anak tidak bisa dilakukan sendiri tetapi perlu dukungan, regulasi, kebijakan dan kerjasama dengan stakeholder,” katanya. (dkp3akaltim/rdg)

 

Aktivis PATBM Komitmen Wujudkan Desa Sebuntal Layak Anak

Samarinda — Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim menerima kunjungan Studi Banding Aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Desa Sebuntal Kecamatan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kelurahan Bandara Kota Samarinda, berlangsung di Ruang Rapat Kartini, Senin (22/3/2021).

Kabid PPA Junainah mengatakan, PATBM bertujuan untuk melakukan pencegahan dan respon cepat terjadinya kekerasan terhadap anak di tingkat desa/kelurahan.

“Sasaran utama yang dilindungi adalah anak dengan membangun sistem dukungan dan pengendalian pada tingkat komunitas dan keluarga untuk mewujudkan pengasuhan yang mendukung relasi yang aman untuk mencegah kekerasan,” ujarnya.

Ana sapaan akrabnya menambahkan, dalam mewujudkan perlindungan anak tersebut, diperlukan perubahan-perubahan sistemik, tidak saja pada anak-anak, tetapi juga pada lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan anak-anak. Oleh karena itu, sasaran kegiatan-kegiatan PATBM adalah anak-anak, orang tua, keluarga, dan masyarakat yang ada di wilayah pelaksanaan PATBM.

Pengembangan PATBM saat ini bertujuan menguatkan kapasitas masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan anak dengan mencegah dan memecahkan secara mandiri permasalahan kekerasan terhadap anak yang terjadi di masyarakat.

Data yang dihimpun DKP3A Kaltim, jumlah fasilitator daerah PATBM Kukar sebanyak 5 orang dan 18 orang aktivis di desa/kelurahan.

Sementara, Ketua PATBM Desa Sebuntal M Arsyad mengatakan, Desa Sebuntal berkomitmen untuk menjadi Desa Layak Anak. Berbagai upaya tengah dilakukan untuk membangun tim PATBM yang kompak dan efektif dalam mengelola kegiatan perlindungan anak, salah satunya dengan melakukan studi banding dengan Keurahan Bandara. Sebagai informasi, Kelurahan Bandara menjadi kelurahan terbaik dalam perlindungan anak di Kota Samarinda.

Kegiatan ini dihadiri Fasilitator PATBM Nasional Siti Khotijah, Kasi Perlindungan Perempuan Fachmi Rozano dan Kasi Perlindungan Anak Vepri Haryono. (dkp3akaltim/rdg)

Dukung Kebijakan Non-Diskriminatif pada Anak Dalam Lingkungan Pendidikan

Jakarta — Implementasi kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama) terkait pemerintah daerah dan sekolah negeri soal seragam beratribut agama merupakan upaya pemerintah dalam menegakan kebhinnekaan, toleransi, dan melindungi hak-hak warga negara dalam beragama. Pemaksaan penggunaan atribut keagamaan yang tidak dikehendaki di satuan pendidikan kerap memberatkan anak dan perempuan sebagai kelompok yang rentan terhadap diskriminasi. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis baru antar kementerian dan masyarakat dalam mengupayakan kebijakan yang menjunjung toleransi dan non-diskriminasi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengatakan SKB 3 Menteri merupakan penekanan kebebasan warga negara untuk memilih dan mengekspresikan praktek keagamaan di lingkungan pendidikan.

Ia mengatakan tidak boleh ada pemaksaan di dalam unit-unit pendidikan negeri dan pemerintah harus berperan serta melindungi hak setiap anak dan orang tua untuk menentukan bagaimana mereka mempraktekan ajaran agama sesuai keyakinan masing-masing.

Dalam satu bulan periode kebijakan tersebut, sinergi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang inklusif masih membutuhkan dukungan dari masyarakat untuk menginternalisasikan peraturan di semua lapisan masyarakat. “Ini merupakan pekerjaan berat dan tidak akan berhasil kalau hanya pemerintah yang bergerak. Masyarakat, organisasi dan civil society yang mendukung harus membantu menyuarakan dan manyalurkan isu-isu ini. Ketika mungkin ditemukan orang takut melapor, atau tidak nyaman melapor bisa saling memberikan bantuan. Jadi membantu untuk memonitor situasi di lapangan yang berhubungan tentang SKB 3 menteri mengenai seragam ini. Maka dari itu, civil society adalah yang menjadi kunci untuk maju dan menjadikan kebijakan ini sebuah gerakan yang berdampak lebih luas,” tambah Nadiem dalam Dialog Nasional SKB 3 Menteri: Perlindungan Konstitusional Untuk Hak-hak Sipil secara daring, Jumat (19/3/2021).

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Lenny Rosalin mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan 15 Kementerian/Lembaga (K/L), termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama untuk mewujudkan satuan pendidikan di Indonesia yang ramah anak dengan cara menerapkan prinsip-prinsip hak anak di dalamnya. Nilai-nilai toleransi, anti kekerasan, non-dikriminasi, the best interest of our children harus dikedepankan.

“Dalam pelaksanaan SKB 3 Menteri, sangat dibutukan dukungan dari semua pihak untuk bersama-sama mengawal implementasinya sampai dengan tingkat satuan pendidikan, termasuk peran stakeholder di sekolah dan orang tua sehingga hal-hal yang merugikan bagi anak bisa dihindari,” tutur Lenny.

Menteri Agama, Yaqut Cholil Quoumas menjelaskan strategi pemerintah dalam menangani permasalahan diskriminasi berkaitan dengan seragam dan atribut keagamaan di lingkungan pendidikan, antara lain, mengidentifikasi masalah dan cara penangkalannya, resolusi konflik, mengembangkan wacana alternatif, penyesuaian sistem pendidikan agama, dan melakukan gerakan sosial untuk memelihara harmoni sosial dalam menjaga kerukunan umat beragama. (kemenpppa)

Perkuat Perspektif Gender dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Jakarta — Saat ini, strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam proses penanggulangan bencana non alam pandemi Covid-19 masih tergolong lemah. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah perempuan yang terlibat dalam pengambilan kebijakan dan keputusan dalam keluarga, terlebih saat pandemi. Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Pembangunan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati menekankan pentingnya mengedepankan prinsip perspektif gender dalam proses penanganan bencana, khususnya saat pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak luar biasa di berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, kesehatan, hingga ekonomi. Perempuan menjadi kelompok rentan terbesar yang mengalami banyak persoalan mulai dari beban ganda, kehilangan mata pencaharian, menjadi tulang punggung keluarga, hingga mengalami kekerasan berbasis gender.

“Untuk itu, sangat penting mengedepankan prinsip perspektif gender dalam proses penanggulangan bencana, khususnya di masa pandemi ini. Kita harus pastikan agar perempuan mendapat akses dan bisa terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, serta terpenuhinya kebutuhan strategis dan kebutuhan praktis mereka,” ungkap Ratna dalam acara Diskusi Publik dan Media Kebijakan Penanggulangan Dampak Pandemi Covid-19 untuk Perempuan, yang dilaksanakan secara virtual, Jumat (19/03/2021)

Ratna menambahkan penanggulangan bencana yang responsif gender merupakan isu lintas bidang yang melibatkan banyak pihak. Selain itu, semua unsur tersebut, mulai dari pemerintah, dunia usaha, akademisi, media massa, dan masyarakat luas harus memiliki kesadaran gender, memiliki komitmen dan melakukan praktik yang responsif gender.

“Penelitian terkait isu gender juga harus lebih banyak dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai persoalan di masa pandemi ini. Semua bertujuan untuk melindungi kelompok rentan dari kekerasan berbasis gender, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, dan berbagai dampak negatif dari pandemi Covid-19 lainnya,” jelas Ratna.

Pemerintah terus melakukan berbagai upaya dalam menangani dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan seluruh masyarakat, khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan yang paling banyak terdampak. Pada 2020, Kemen PPPA bekerjasama dengan dunia usaha telah memberikan pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak dengan melihat kategorisasi usia pada anak dan kebutuhan khusus bagi perempuan dewasa. Kebutuhan spesifik ini diberikan untuk melengkapi bantuan sosial pemerintah melalui Kementerian Sosial.

Kemen PPPA juga telah berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya dalam menyediakan layanan SEJIWA (Sehat Jiwa) untuk menangani permasalahan yang dialami perempuan dan anak di masa pandemi. Selain itu, mengembangkan gerakan BERJARAK (Bersama Jaga Keluarga Kita), dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat hingga tingkat desa untuk mengoptimalkan peran keluarga dalam pencegahan dan pemulihan dampak pandemi ini.

Terkait regulasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB No.13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang Penanggulangan Bencana yang melibatkan perempuan dan laki-laki dalam tanggap darurat responsif gender. Namun, dalam penanggulangan bencana di lapangan, peraturan ini masih belum berjalan optimal. Seperti tidak adanya data terpilah korban bencana yang dibutuhkan dalam perencanaan penanganan bencana. Oleh karena itu, Kemen PPPA terus berupaya mendorong ketersediaan data terpilah untuk memastikan bantuan yang diberikan dapat tepat sasaran, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang terdampak pandemi.

“Saya harap, kita semua dapat menjadi garda terdepan untuk mengawal proses pemulihaan, pemenuhan kebutuhan, mendukung pemberdayaan yang adil dan setara, mengadvokasi dan mempromosikan kebijakan publik tidak hanya untuk mengatasi masalah dalam kondisi bencana, tapi juga mempromosikan kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan,” terang Ratna.

Pada acara ini, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina mengungkapkan bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah belum kuat memperhatikan pengarusutamaan gender. Selain itu, masih banyak perempuan rentan yang belum tersentuh bansos dan belum mengetahui cara mendapatkan bansos.

“Untuk itu, perlu ada pelibatan warga yang lebih besar dalam perumusan program bansos agar bantuan lebih tepat menjawab kebutuhan target sasaran. Selain itu, perlu ada sosialisasi lebih masif dan aksesibel perihal informasi rinci mengenai bansos, tata cara pendaftaran, platform dan tata cara pengaduan. Terlebih lagi kelompok perempuan sangat potensial menjadi agen untuk mengawasi program bansos,” terang Almas. (kemenpppa)

MUI dan Pemerintah Deklarasikan Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia

Jakarta — Komitmen pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk terus mencegah perkawinan usia anak tidak berhenti usai revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan disahkan. Meski batas usia minimum perkawinan bagi perempuan telah ditingkatkan menjadi 19 tahun, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meyakini jika upaya pencegahan harus terus digaungkan karena besarnya dampak buruk dari perkawinan usia anak, salah satunya adalah stunting.

“Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi. Bahkan data membuktikan, bahwa stunting terlahir dari ibu yang masih berusia anak. Itulah sebabnya mengapa kita merevisi UU No. 1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019,” jelas Menteri PPPA, Bintang Puspayoga dalam acara Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, (18/03/2021).

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia mulai awal tahun 2020 ternyata juga membawa dampak meningkatnya angka perkawinan usia anak di Indonesia. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.  Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 23.700 permohonan. Permohonan dispensasi dilakukan lantaran salah satu atau kedua calon mempelai belum masuk usia 19 tahun berdasarkan Undang-Undang.

Namun demikian, perkawinan usia anak merupakan persoalan lama yang angkanya masih tergolong tinggi di Indonesia, terlepas dalam situasi pandemi atau bukan. Diperlukan langkah-langkah sinergis antar pemangku kepentingan di negeri ini tanpa harus mengabaikan norma-norma agama dan norma-norma kemasyaratan.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Miftachul Akhyar menyatakan dengan tegas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kemaslahatan keluarga, umat, dan bangsa yang harmoni, yang pada gilirannya akan terwujud generasi Indonesia yang berkualitas pula.

“Intinya perkawinan di samping Sakinah, Mawaddah, Warahmah, tapi dibalik itu ada tugas besar di dalam sebuah perkawinan adalah melahirkan sebuah kehidupan yang harmoni bukan hanya di dunia tetapi sampai nanti di akhirat. Maka tidak serendah pemahaman selama ini asal cocok kawin atau karena batasan usia yang ditetapkan. Tapi kalau belum ada tujuan (harmoni) itu perkawinan yang belum berkualitas” ujar Mifatachul Akhyar.

MUI mengakui jika perkawinan anak marak terjadi karena adanya berbagai faktor. Mifatachul Akhyar menduga banyaknya konten “dewasa” atau pornografi yang membuat anak terpapar konten tersebut menjadi salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, menurut Mifatachul Akhyar pencegahan perkawinan usia anak harus diatasi bersama sebagai tanggung jawab bersama.

“Tentu semua itu ada hal-hal yang menjadi penyebab meningkatnya perkawinan usia anak,  terutama di desa-desa. Ini kewajiban kita bersama, dan kewajiban pemerintah untuk mengamati penyebanya,” tambah Mifatachul Akhyar.

Demi mencapai tujuan tersebut, perlu ada langkah pencegahan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang disebabkan oleh ketidaksiapan dalam perkawinan. Salah satu ikhtiar tersebut adalah mendorong pendewasaan usia perkawinan. Ikhtiar ini memerlukan sinergi seluruh elemen bangsa baik pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga maupun masyarakat, dengan cara meningkatkan edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya kesiapan fisik, mental, spiritual, sosial-budaya, dan ekonomi dalam perkawinan agar tercipta perkawinan yang berkualitas, bahagia, dan kekal.

Berdasarkan hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kemen PPPA RI, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Kementerian Agama RI, Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), berkomitmen untuk bekerja sama dan saling mendukung dalam melakukan berbagai upaya pendewasaan usia perkawinan dan peningkatan kualitas keluarga demi kepentingan terbaik bagi anak Indonesia.

Sinergi dan komitmen tersebut direalisasikan dalam bentuk Deklarasi Gerakan Nasional dan Seminar Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, yang digelar secara virtual dari Kantor Majelis Ulama. Kegiatan juga dihadiri langsung Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin secara virtual.

 

Kaltim Verifikasi PUG

Samarinda — Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi memimpin langsung Verifikasi Lapangan Pengaruutamaan Gender (PUG) yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) secara daring, Selasa sore (16/3/2021).

Pelaksanaan PUG di daerah diapresiasi melalui Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE). Diberikan pada kementerian/lembaga dan daerah yang berhasil mengimplementasikan kegiatan yang responsif gender. Upaya dan hasil yang telah dilakukan terhadap prakarsa dan prestasi yang telah dicapai serta menunjukan kondisi pencapaian PUG, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Wagub Hadi mengatakan, Kaltim telah menuangkan dukungan PUG dalam Misi Satu yaitu Berdaulat Dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia Yang Berakhlak Mulia Dan Berdaya Saing, Terutama Perempuan, Pemuda Dan Penyandang Disabiltas.

“Kebijakan dalam mendukung Misi satu Gubenur Kaltim yaitu dengan terbitnya Perda, Pergub, Surat Edaran, rekomendasi dan kesepakatan bersama,” ujarnya.

Kondisi Makro Kaltim saat ini, lanjut Wagub Hadi, untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim tahun 2020 yaitu 76,24. Sementara untuk Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kaltim tahun tahun 2020 yaitu 85,7 dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yaitu 85,88.

“Dukungan Pemprov Kaltim dalam upaya percepatan PUG di daerah melalui Klinik Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (Klik Peran Si Gen), Pusat Informasi dan Konsultasi Perempuan Penyandang Disabilitas (PIK-P2D) Kaltim, Pemuda Disabilitas Kreatif Kaltim, Aktivitas Ekonomi melalui Wisata Kuliner Samarinda, Pengrajin Tenun Samarinda Seberang, Pelatihan Kewirausahaan Pemuda, dan Kelompok Wanita Tani. Sementara untuk Pembangunan Bidang Pendidikan Kaltim. Melalui Beasiswa Kaltim Tuntas dan Sekolah Inklusi Samarinda,” terang Hadi.

Kaltim juga didukung SDM unggul yakni 20 Perencana Terlatih Bersertifikat, 7 Orang Fasilitaor PUG, 3 Orang Gender Auditor, 13 Orang Gender Champion dan 3 Orang Pakar Gender.

Sebagai informasi, Kaltim juga memiliki 51 Desa Perempuan Indonesia Maju Mandiri (Prima) dan 307,343 UMKM. Pada tahun 2020 Kaltim juga masuk dalam TOP 45 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Ojek Online Bersama Lindungi Anak (Ojol Berlian) sebagai upaya penurunan kekerasan terdahap perempuan dan anak.

Dengan semua kerja keras tersebut, Wagub berharap dapat menjadikan Kaltim naik peringkat pada penghargaan APE dari Madya menjadi Utama.

Hadir pada kegiatan ini, Asisten I Pemerintahan Jauhar Effendi, Kepala BPKAD Kaltim M Sa’duddin, Analis Kebijakan Ardiningsih, Kepala Bappeda Kaltim M Aswin, Kepala Isnpektorat Kaltim Sorayalita, Plt Kepala DKP3A Kaltim Sri Wahyuni, Kepala DKP3A Kaltim periode 2016-2020 Halda Arsyad dan OPD terkait melalui daring. (dkp3akaltim/rdg)

 

Perkuat Kelembagaan Sistem Data dengan Data Terpilah

Samarinda — Sekretaris Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Eka Wahyuni mengatakan, untuk memperkuat dan mendorong kelembagaan sistem data perlu melakukan data terpilah yaitu dengan meningkatkan koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota. Salah satu prasyarat pelaksanaannya adalah ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin.

“Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Data Gender dan Anak,” ujarnya dalam kegiatan FGD Pengumpulan/Pengolahan Data Terpilah Anak Provinsi dan Kabupaten/Kota Kalimantan Timur Tahun 2021, berlangsung di Hotel Selyca Mulia, Selasa (16/3/2021).

Jenis data pemenuhan hak anak mengacu pada Konvensi Hak Anak (KHA), terdiri dari 5 kluster kebutuhan hak anak meliputi Hak sipil dan kebebasan, Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, Kesehatan dasar dan kesejahteraan, Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan Perlindungan khusus.

Eka melanjutkan, pengumpulan/pengolahan data terpilah anak adalah untuk mendapatkan masukan dalam proses pendataan, melakukan kompilasi data terkait indikator data anak yang tersedia di provinsi maupun kabupaten/kota yang sesuai dengan kebutuhan Kalimantan Timur..

“Hal tersebut agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal sehingga dapat di gunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan di berbagai bidang khususnya terkait perlindungan anak,” imbuh Eka.

Selain itu, meningkatkan pemanfaatan data terpilah untuk perencanaan, pemantauan, dan pelaporan hasil kebijakan program/kegiatan pembangunan yang responsif gender dan responsif hak anak.

Kegiatan ini berlangsung selama dua hari dan diikuti oleh OPD Lingkup Pemprov Kaltim. Hadir menjadi narasumber Konsultan Data Terpilah Wildan Surya Nugraha. (dkp3akaltim/rdg)

Brainstorming dan Persiapan Verifikasi PUG

Samarinda — Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melakukan Brainstorming dan Persiapan Verifikasi Online Monev PUG Provinsi Kalimatan Timur, berlangsung secara daring di Ruang Rapat Kadis, Senin siang (15/3/2021).

Kegiatan ini di pimpin langsung oleh Plt Kepala Dinas KP3A Kaltim Sri Wahyuni di dampingi Kabid Kesetaraan Gender Dwi Hartini, Kasi KG Bidang Sosbud Nurindahwati Rahmayanti, Kasi KG Bidang Ekonomi Hasbi Anshari, Kasi Perlindungan Perempuan Fachmi Rozano.

“Agenda hari ini adalah mendengar masukan dari unsur OPD dan lembaga pemerhati perempuan dan anak. Karena besok kita akan melakukan Verifikasi PUG oleh Kementerian PPPA dan dijadwalkan dihadiri oleh Wakil Gubernur Kaltim,” ujar Sri Wahyuni.

Ia melanjutkan, penilaian kinerja program PPPA berdasarkan tujuh prasyarat dasar PUG yaitu komitmen, kelembagaan, data terpilah, sumber daya, alat analisis dan partisipasi masyarakat.

Untuk mendapatkan informasi dan data terkait pelaksanaan PUG, tim driver Pokja PUG Kaltim terdiri dari Bappeda, DKP3A, BPKAD dan Inspektorat melakukan identifikasi pada perangkat daerah yang menjadi anggota Pokja PUG.

“Hasil pemantauan dan evaluasi akan digunakan sebagai salah satu penghargaan bagi Pemerintah Daerah dan kabupaten/kota yang telah melaksanaan PUG secara berkala dalam bentuk Anugerah Parahita Ekapraya (APE),” imbuhnya.

Sri Wahyuni menambahkan, gender sebagai isu lintas sektor dan berpengaruh langsung terhadap capaian pembangunan manusia menjadi tanggungjawab bersama. PUG merupakan strategi yang disepakati, baik di tingkat global, nasional maupun daerah untuk memastikan isu gender masuk pada prioritas pembangunan segala bidang yang dilakukan.

“Harapannya dapat mewujudkan kesetaraan gender dimana perempuan dan laki-laki walau berbeda namun tidak dibeda-bedakan dalam hal partisipasi, akses, kontrol dan memanfaatkan hasil pembangunan,” harap Sri Wahyuni.

Hadir pada kegiatan ini, Kepala BPPKB Kaltim periode 2008-2016 Ardiningsih dan Kepala DKP3A Kaltim periode 2016-2020 Halda Arsyad, Bappeda Kaltim, Inspektorat Kaltim, Dinkes Kaltim, Kesbangpol, Dishut Kaltim, Dispora Kaltim, RSJD Atma Husada, Ketua KPPI Kaltim SB Yaumid, Ketua PPDI Kaltim Ani Juwairiyah, Rumah Bekesah, dan Aisyah. (dkp3akaltim/rdg)