Peran Media Massa Dalam Pemberitaan Berperspektif Gender

Dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dimulai sejak 25 November, media massa sebagai “watch dog” diharapkan dapat berperan dalam mengedukasi masyarakat terkait apa yang dialami dan dirasakan perempuan korban kekerasan dengan tepat, serta mengedepankan jurnalisme damai dalam mengangkat isu konflik.

tutur Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R Danes mengatakan, di tengah-tengah kondisi dimana masih banyak korban kekerasan yang masih takut melapor, keterbatasan literasi masyarakat, dan keterbatasan ketersediaan gawai untuk melapor secara online, peran media massa sangat membantu dalam memberikan informasi terkait kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Oleh karenanya, kami juga berharap dalam mengangkat isu terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, media dapat mengangkat sisi edukasi kepada masyarakat. Selain itu, diharapkan semakin banyak wartawan menulis terkait isu kekerasan terhadap perempuan dan anak yang memiliki sensitifitas atau perspektif korban dalam mengangkat isu ini,” tutur Vennetia R Danes pada Media Talk Kemen PPPA yang bertajuk Membuka Selubung Kekerasan Terhadap Perempuan (27/11/2020).

Kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan pelaporan yang masuk ke SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) pada 1 Januari – 6 November 2020 tercatat ada 5.573 kasus kekerasan pada perempuan dewasa. Berdasarkan Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) yang dilaksanakan pada 9 Januari 2020 lalu, Presiden Joko Widodo telah mengamanahkan untuk menambah fungsi Kemen PPPA terkait penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Dengan demikian, jika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di kabupaten/kota atau provinsi yang benar-benar tidak bisa diselesaikan di tingkat daerah dan memerlukan atensi pemerintah pusat, maka akan ditangani oleh pemerintah pusat. Namun, Vennetia menambahkan sebelum ditangani pemerintah pusat agar pemerintah daerah melaksanakan tugas seluas-luasnya dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa perempuan dan anak merupakan urusan wajib non pelayanan dasar dan konkuren.