Kaltim – Kaltara Jadi Pilot Project Standardisasi dan Sertifikasi RBRA

Samarinda — Bermain adalah hak anak. Di ruang bermain, harusnya anak-anak bisa bermain dengan gembira, bukan justru mengalami cerita sedih, seperti mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual. Oleh karenanya, standardisasi dan sertifikasi Ruang Bermain Anak (RBA) menjadi penting dilakukan untuk menjamin proses pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak benar-benar terwujud di dalam ruang bermain. Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh lapisan masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA).

“RBRA merupakan salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dan Provinsi Layak Anak (PROVILA). Namun, cerita-cerita sedih terkait kekerasan terhadap anak yang terjadi di ruang bermain juga masih menghiasi pemberitaan di media kita. Padahal, tujuan akhir dari ruang bermain adalah untuk membuat mereka bahagia dan mewujudkan terjadinya proses perlindungan anak saat mereka bermain. Oleh karenanya, semua ruang bermain anak harus terstandardisasi dan tersertifikasi.,” ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin pada Rapat Koordinasi Awal (Rakorwal) I Standardisasi RBRA di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara yang dilakukan secara virtual, Selasa (28/7/2020).

Lenny menjelaskan, prinsip RBRA adalah gratis, non diskriminasi, kepentingan terbaik untuk anak, partisipasi anak, aman dan selamat, nyaman dan sehat, serta kreatif dan inovatif.

Ketua Tim RBRA, Rino Wicaksono mengatakan unsur utama RBRA ada empat, yakni ruang terbuka hijau publik, perabot bermain, perabot lingkungan, serta sarana dan prasarana pendukung, seperti pos keamanan, puskesmas, kantin, dan lapangan parkir. Selain itu, alangkah baiknya jika ruang bermain dilengkapi dengan pagar transparan pada perabot permainan untuk menghindarkan anak dari kekerasan, dan papan pengumuman. Bermain merupakan hal yang penting bagi anak. Kami siap mendukung standardisasi dan sertifikasi RBA menjadi RBRA.

Kepala Dinas Kependudukan, PPPA Kaltim, Halda Arsyad mengatakan bahwa hingga 2020, Kaltim telah memiliki 18 Ruang Bermain Anak (RBA). Ruang bermain ini merupakan ruang terbuka hijau yang dimodifikasi menjadi RBA. Pihaknya berharap agar RBA tersebut terstandardisasi dan tersertifikasi menjadi RBRA.

“Selain itu, Kaltim meiliki 21 tempat ibadah ramah anak, 241 sekolah ramah anak (SRA), 55 pelayanan ramah anak di puskesmas (PRAP), 98 aktivis PATBM dan 8 Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang tetap melayani keluarga baik online maupun offline dalam masa pandemi Covid-19,” ujar Halda.

Halda menambahkan, 8 kabupaten/kota telah mendapatkan penghargaan KLA. Sementara 2 kabupaten yaitu Kubar dan Mahulu sedang diupayakan dengan melakukan advokasi dan pembinaan secara intens agar Kaltim menjadi Provinsi Layak Anak.

“Yang terbaru, Ojek Online Bersama Lindungi Anak 9Ojol Berlian) masuk dalam TOP 45 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) tahun 2020 sebagai mekanisme pencegahan tindak kekerasan terhadap anak, perempuan dan penyandang disabilitas pada layanan transportasi Online,” imbuhnya.

Kepala Sub Bidang Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Andrie Asdi mengatakan bahwa program perlindungan perempuan dan anak memang sudah masuk ke RPJMD 2019-2023 dan RKPD 2021. Hal ini termasuk penyediaan sarana dan prasarana untuk anak. Program dan kegiatan pembangunan daerah yang dilakukan juga mengacu pada pengarusutamaan hak anak. Hal ini tentu harus didukung oleh seluruh masyarakat dan perangkat daerah.

Sementara itu, aspek keselamatan dan keamanan masih menjadi permasalahan bagi pembangunan RBRA di Kaltara. Plt. Kepala Bidang Sosial Budaya dan Pemerintahan Bappeda Litbang Kaltara, Syamsaimun berharap agar Kaltara bisa mewujudkan RBRA, termasuk memfasilitasi taman yang dibangun oleh masyarakat agar menjadi RBRA.

Kaltara sedang mengupayakan terwujudnya RBRA. Dari beberapa ruang bermain yang dibangun, keselamatan dan keamanan masih menjadi permasalahan karena beberapa ruang bermain yang ada di wilayah Kaltarai berada di sekitar jalan raya atau alun-alun kota, sungai, dan danau.

Perbaikan Manajemen Shelter Untuk Peningkatan Layanan Bagi Korban TPPO

Samarinda — Rumah aman dan shelter (penampungan) memiliki peran penting dalam memberi perlindungan terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Menurut Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Destri Handayani, pengelolaan layanan rumah aman atau shelter di Indonesia saat ini masih lebih menitik beratkan pada sisi keamanan korban.

“Secara tidak langsung pelayanan yang menitikberatkan pada sisi keamanan korban ini menimbulkan dampak lain, seperti keluarga atau pendamping korban kesulitan berkomunikasi dengan korban karena adanya aturan yang ditetapkan oleh manajemen shelter,” ujar Destri dalam Webinar Manajemen : Memahami Prinsip Perlindungan dan Penanganan Berbasis Korban, Selasa (28/07).

Ia menjelaskan, laporan situasi perdagangan orang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika pada Juli lalu salah satunya mengkritisi manajemen shelter yang dianggap kurang ramah. Sebab, dianggap melanggar hak kebebasan bergerak korban.

“Kritik ini menjadi catatan sendiri bagi Gugus Tugas TPPO agar dalam pelaksanaan tugasnya menekankan pada penghormatan dan pemenuhan hak-hak korban. Isu lain yang juga jadi catatan adalah standar layanan dan manajemen rumah aman, ini penting dibahas supaya layanan shelter kita ke depan menjadi lebih baik,” tambah Destri.

Peningkatan pengelolaan shelter menurut perwakilan Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang Kementerian Sosial, Dian Bulan Sari, dapat dilakukan dengan memperkuat sistem dan standar operasional prosedur (SOP). Misalnya menerapkan SOP Kunjungan Klien, baik untuk keluarga dan instansi terkait, serta persyaratan khusus untuk kondisi pandemi Covid-19. Terkait hal ini, Dian mengimbau agar penerapan SOP harus diperketat.

“Kita harus mengedepankan hak korban dengan membuka komunikasi antara klien dengan keluarga klien. Namun mereka juga harus mengikuti SOP, karena banyak kasus pengunjung mengaku keluarga tapi ternyata agen yang datang untuk mencoba mengintimidasi para korban. Ada juga mengaku dari instansi ternyata Id Card dipalsukan. Pelaksanaan SOP untuk kunjungan harus lebih ketat lagi,” tutur Dian.

Di sisi lain Ahli Manajemen Shelter, Margaretha Hanita memberikan perspektif yang berbeda tentang manajemen shelter. Margaretha menekankan pentingnya persepsi yang benar tentang perbedaan antara shelter dan rumah aman.

“Shelter berbeda dengan rumah aman, ini yang harus kita sepakati dulu karena penanganan rumah aman dan juga shelter sering sekali memiliki persepsi yang tidak sama. Di Indonesia itu tidak mudah menyediakan rumah aman. Namanya rumah aman itu ya betul-betul untuk mengamankan saksi dan korban, dalam konteks keamanan korban jangan lupa apa status korban di situ,” kata Margaretha.

Margaretha juga menghimbau agar ketika mengamankan korban sebaiknya pengelola melakukan analisis ancaman. Hal ini berguna untuk melihat sejauh mana ancaman yang diterima korban, karena status korban biasanya adalah saksi kunci yang akan memberikan keterangan di polisi.

“Kita mau menyelamatkan korban untuk penegakan hukum, makanya harus ada koordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Minimal LPSK tahu bahwa bapak dan ibu melindungi korban, supaya bisa berkoordinasi baik dengan APH (aparat penegak hukum). Makanya kami sangat menyarankan jangan asal melindungi korban tanpa adanya surat rujukan dari penegak hukum. Pendamping dan pengelola shelter dan rumah aman juga harus terlatih mengamankan korban,” jelas Margaretha.

Upaya peningkatan pengelolaan shelter dilakukan KemenPPPA melalui webinar bekerja sama dengan IOM (International Organization for Migration) dengan peserta dari lembaga maupun mitra jejaring pengada layanan TPPO di daerah. Webinar kedua ini merupakan rangkaian kegiatan dalam memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang, serta upaya pemenuhan hak-hak korban khususnya dalam konteks perbaikan manajemen shelter.

 

DKP3A Kaltim Tingkatkan Kepemilikan Cakupan Akta Kematian

Samarinda — Tetap patuhi protokol kesehatan, Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melaksanakan Bimtek Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kematian Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Kaltim, secara virtual atau melalui Zoom Meeting, Selasa (28/7/2020).

Kepala Dinas KP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan, peristiwa kematian sebagai salah satu peristiwa penting yang dialami seseorang, wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal kematian. Namun berdasarkan laporan terakhir dari Kabupaten/Kota per tanggal 28 Juni 2020 bahwa Akta Kematian yang diterbitkan baru berjumlah 248.482 lembar. Hal ini menunjukkan kesadaran warga masyarakat untuk mengurus akta kematian bagi anggota keluarganya yang meninggal dunia, relatif masih rendah sehingga jumlah pemohon akta kematian setiap bulannya belum meliputi seluruh peristiwa kematian yang terjadi di Kaltim. Ini tentu saja berdampak pada tidak maksimalnya tingkat akurasi data penduduk, yaitu jumlah penduduk di dalam database tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

“Mengapa orang meninggal perlu diurus akta kematiannya? Akta kematian merupakan bukti sah mengenai status kematian seseorang yang diperlukan sebagai dasar pembagian hak waris, penetapan status janda atau duda pasangan yang ditinggalkan, pengurusan asuransi, pensiun, perbankan. Pada saat ini penduduk yang melaporkan peristiwa kematian masih sangat rendah sehingga perlu upaya yang lebih sistematis dan terfokus agar data kependudukan bisa ditingkatkan akurasinya,” ujarnya.

Halda berharap agar pentingnya kepemilikan akta kematian ini secara terus menerus disosialisasikan kepada masyarakat dan dilakukan terobosan agar kepemilikan akta kematian di daerah bisa meningkat sehingga keakuratan dan kualitas database kependudukan menjadi lebih baik.

“Dengan tertib dan meningkatknya kepemilikan akta kematian berdampak sangat besar dan luas untuk kepentingan perencanaan pembangunan melalui keakurasian data dan pembangunan demokrasi khususnya dalam rangka menetapkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), sehingga tidak ditemukan lagi penduduk yang sudah meninggal tetapi namanya masih ada dalam data pemilih,” imbuh Halda.

Sebagai informasi, Pemprov Kaltim tahun ini memberikan bantuan Mobil Pelayanan keliling. Semula untuk semua kabupaten/kota tetapi terkait dengan pandemi Covid-19, anggaran mengalami rasionalisasi sebesar 50% sehingga yang semula mobil pelayanan sebanyak 10 unit menjadi 5 unit. “Tetapi tetap kami upayakan untuk pengadaan mobil pelayanan keliling sebanyak 5 unit pada tahun 2021 semoga bisa disetujui oleh Bapak Gubernur Kaltim,” terang Halda.

Diperkirakan bulan September Mobil Pelayanan Keliling untuk 5 Kabupaten yaitu Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Paser dan Penajam Paser Utara siap diserahkan. Diharapkan dengan adanya mobil pelayanan keliling akan meningkatkan jangkauan pelayanan administrasi kependudukan sampai ke pelosok-pelosok desa yang jauh dari pusat pemerintahan sehingga semua penduduk dapat terlayani dokumen kependudukannya dengan baik dan sebagai bukti bahwa Dukcapil hadir memberikan pelayanan terbaik tanpa diskriminasi dan membahagiakan masyarakat.

Tak lupa Halda mengucapkan selamat kepada 3 kabupaten/kota yaitu Kota Balikpapan, Kota Bontang dan Kabupaten Berau yang mendapat reward dari Menteri Dalam Negeri berupa Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM). (dkp3akaltim/rdg)