NEW NORMAL: TAK PERLU TERGESA-GESA KEMBALI KE SEKOLAH

(Optimalisasi Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak Selama Pandemi Covid-19)

*) Siti Mahmudah Indah Kurniawati, S.Psi. Psikolog

 

Hampir 3 bulan kita berada dalam kondisi pandemi covid-19 dimana seluruh aspek kehidupan mengalami perubahan secara tiba- tiba dan seluruh aktivitas yang biasa dilakukan diluar rumah kemudian berubah seiring adanya kebijakan pemerintah untuk melakukannya dirumah. Kondisi ini tentunya akan berimbas pada munculnya permasalahan sosial dan otomatis muncul kelompok rentan terdampak dimana didalamnya ada anak, perempuan dan disabilitas yang mengalami dampak dari kondisi ini. Dan ini merupakan hari ketiga dimana saya menerima puluhan pesan singkat melalui E-mail, Whatsapp maupun DM Instagram terkait kegelisahan para orang tua terkait wacana kembalinya anak-anak ke sekolah. Beberapa mengalami kecemasan bagaimana nantinya anak-anak memiliki kesiapan selama di sekolah, kemudian berapa lama mereka di sekolah dan bagaimana resiko yang akan diterima anak, apakah bisa saling bekerjasama antar siswa dengan temannya atau bahkan sampai pada mekanisme seperti apa yang akan diterapkan di sekolah, dan apakah protokol kesehatan bisa berjalan.

Jika kita mengacu pada definisi new normal merupakan  skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional, artinya untuk dunia pendidikan tentunya diperlukan kajian mendalam terkait kesiapannya karena menyangkut hak hidup anak-anak usia sekolah maupun pra sekolah. Indikator New Normal sebagaimana disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, beberapa indikator dari WHO dalam rangka skenario new normal di tengah pandemi corona adalah 1). Tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan, 2). Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19, 3). Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif. Tentunya menjadi pertimbangan tim gugus tugas percepatan penanganan covid-19 di daerah khususnya untuk membuka kembali aktivitas pembelajaran di sekolah.

Pertimbangan lainnya adalah bahwa anak-anak tidak kebal dengan Covid-19 dimana trend penyebarannya mulai menyisir pada anak-anak, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), DR. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, FRCPI bahwa hampir 3.400 anak berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), kematian PDP sebanyak 129 anak, positif Covid-19 pada anak sebanyak 584 kasus, dan 14 kematian anak dari kasus positif Covid-19. Temuan ini menunjukkan bahwa angka kesakitan dan kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia tinggi dan membuktikan bahwa tidak benar kelompok usia anak tidak rentan terhadap COVID-19 atau hanya akan menderita sakit ringan saja. Hal ini tentunya menjadi bahan pertimbangan mendasar dan utama jika akan membuka kembali pembelajaran di sekolah pada pertengahan bulan juli nanti.

Meskipun dalam kondisi wabah namun pemenuhan dan perlindungan hak anak harus dilakukan untuk menjamin anak tetap mendapatkan hak-haknya., diantaranya adalah hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, serta berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, orang tua atau orang dewasa di sekitar harus memastikan anak-anak tetap terlindungi. Anak-anak rentan mengalami perlakuan salah, eksploitasi atau bahkan kekerasan selama pandemi berlangsung.

Prinsip-prinsip Pengurangan Resiko Bencana (Alam/ Non Alam) yaitu  “DO NO HARM ” dan “BUILD BACK BETTER- membangun kembali dengan lebih baik” adalah pilar penting dari upaya pengurangan risiko bencana yang efektif dan tidak membuat anak menjadi terpapar atau semakin terpapar pada resiko. Dari perspektif perlindungan anak, upaya pengurangan resiko bencana yang mengedepankan prinsip “DO NO HARM”  saat berinteraksi dengan anak, baik itu saat melibatkan anak secara aktif untuk melakukan kajian resiko, membuat perencanan kesiapsiagaan di tingkat sekolah maupun lingkungan tempat tinggalnya, dan memberikan pengetahuan dasar untuk mengenali ancaman, menghindari ancaman dan menyelamatkan diri secara mandiri saat kondisi bencana (Alam/ Non Alam) menjadi hal mendesak untuk dilakukan. Karena pengkondisian anak di sekolah tak semudah yang dibayangkan.

Sehingga membangun partipasi masyarakat dari seluruh lapisan menjadi prioritas bersama, pihak sekolah dengan orang tua terkait mengawal pelaksanaan pendisiplinan protokol kesehatan yang telah diterapkan selama pandemi baik dilingkungan rumah dan kelak di sekolah jika kondisi kondusif untuk kembali ke sekolah. Dimana fokus kita selama periode lockdown ini adalah bagaimana menjaga diri kita dan orang yang kita cintai tetap sehat, kita juga harus mengingat jutaan anak yang berisiko menjadi korban yang terlupakan dari pandemi ini. Seperti apa dunia mereka besok, dan seperti apa masa depan mereka nantinya, juga menjadi tanggung jawab kita hari ini. Harapan bersama semoga bumi segera pulih dan kita bisa beraktivitas seperti sedia kala. Aamiin Yaa Rabbal’ alamiin.#gembiradirumah #belajardirumah #bersamajagakeluargakita #salamberlian

 

*) Founder Biro Psikologi Inka Alzena

Kepala Seksi Tumbuh Kembang Anak, DKP3A Prov.Kaltim

Koordinator Divisi Pencegahan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Ruhui Rahayu Provinsi Kalimantan Timur