DKP3A Kaltim Lakukan Uji Cepat Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah

Samarinda — Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim bekerjasama dengan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Samarinda, Satpol-PP Kaltim dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Samarinda, melakukan Uji Cepat Sampel Pangan Jajanan Anak di beberapa sekolah, Kamis (17/10/2019).

Kepala Dinas KP3A Kaltim, Halda Arsyad melalui Kabid PPPA Noer Adenany, mengatakan masalah jajanan anak sekolah tampaknya hanya masalah kecil, namun dampaknya besar terhadap kelangsungan bangsa yang lebih baik di masa depan.

Dany melanjutkan, dengan sinergi OPD terkait dalam pembinaan pangan jajanan anak sekolah di Samarinda ini, diharapkan dapat memberikan pola pengawasan melalui langkah pembinaan yang baik kepada pelaku usaha penyedia jajanan anak sekolah yang sehat dan higienis.

“Semoga kedepan kita bisa terus bersama melakukan pengamanan terhadap jajanan anak sekolah, tidak hanya uji sampel tetapi juga melalui peran edukasi, sosialisasi dan pemberian materi melalui event-event yang dilakukan pemerintah sebagai wujud dari pelaksanaan Nawacita yaitu Negara hadir di tengah masyarakat dalam melindungi rakyatnya,” imbuhnya.

Uji Cepat Sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah ini dilaksanakan di SDN 018 Samarinda Ulu, SDN OO8 Samarinda Ulu dan SDN 007 Samarinda Ulu. Dari tiga sekolah ini diperolah sebanyak 34 sampel pangan dan beberapa diantaranya terindikasi bahan-bahan berbahaya.

“Hasil tersebut akan dilakukan uji lap lanjutan. Selanjutkan akan menjadi bahan masukan bagi kami dan OPD terkait untuk melakukan pembinaan dan sosialisasi dalam rangka mewujudkan sekolah ramah anak,” tutup Dany.

Kegiatan ini juga dirangkai dengan Sosialisasi Puspaga di sekolah dengan sasaran guru dan orang tua murid. (DKP3AKaltim/rdg)

Berantas TPPPO Perlu Sinergi Seluruh Elemen

Kupang, NTT — ”Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan kemanusiaan yang akar penyebab masalahnya kompleks, beragam, dengan modus yang terus berkembang. Untuk itu, dalam upaya memberantas TPPO dari hulu sampai hilir di Indonesia, diperlukan sinergi dan harmonisasi dari seluruh pihak terkait, mulai dari keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, dunia usaha, lembaga masyarakat, dan lembaga pemerintah di tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R. Danes pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP-TPPO) Tahun 2019 yang berlangsung pada 14 – 17 Oktober 2019 di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Vennetia menyampaikan dengan mengangkat tema “Mari Bersama Kita Berantas TPPO” Rakornas tahun ini diselenggarakan sebagai wadah berbagi informasi tentang kebijakan-kebijakan dan membahas isu-isu terbaru yang muncul dalam PP-TPPO, evaluasi kelembagaan Gugus Tugas PP-TPPO, membahas rincian modus-modus TPPO terkini, dan langkah strategis pencegahan dan penanganannya, serta mencari solusi bersama yang diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Penanganan kasus-kasus TPPO melalui aksi yang sinergis antara anggota Gugus Tugas TPPO baik pusat maupun daerah juga terus ditingkatkan. Hingga Agustus 2019, GT PP-TPPO juga telah terbentuk di 32 Provinsi dan 244 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2019 ini, Gugus Tugas TPPO telah berhasil memulangkan puluhan perempuan yang di trafficking ke Tiongkok dengan modus pengantin pesanan, penangkapan jaringan besar pelaku trafficking dengan modus pekerja migran ke negara Timur Tengah, penangkapan pelaku trafficking dengan modus pemberian beasiswa ke luar negeri, penangkapan pelaku trafficking untuk tujuan ekploitasi seksual antar provinsi atau di dalam wilayah tertentu di Indonesia yang korbannya sebagian masih usia anak.

Sinergitas seluruh pihak yang terkait harus memiliki interaksi yang berkelanjutan, saling terbuka, memiliki pemahaman dan visi yang sama, dan mengedepankan dialog dalam segala hal. ”Besar harapan melalui proses interaksi reguler ini akan muncul ide-ide kreatif dan inovatif dalam rangka pencegahan TPPO. Rakornas Gugus Tugas PP-TPPO ini merupakan salah satu upaya kami, selaku ketua harian sekaligus Sekretariat Gugus Tugas PP-TPPO tingkat pusat, untuk memfasilitasi interaksi tersebut. Untuk menghadapi semakin beragamnya modus baru dalam TPPO, kami meyakini pentingnya berbagi praktik terbaik, pengetahuan, dan upaya lintas bidang di tingkat nasional dalam penghapusan TPPO,” tutup Vennetia.

Selama tahun 2018, Bareskrim Polri menerima 95 Laporan Polisi terkait TPPO dengan jumlah korban sebanyak 297 orang yang terdiri atas perempuan dewasa 190 orang (64%), anak perempuan 18 orang (6%), laki-laki dewasa 79 orang (27%), dan anak laki-laki 10 orang (3%). Fenomena TPPO yang sering terungkap dalam persidangan adalah sebagian besar korban dipergadangkan untuk tujuan eksploitasi seksual (pelacuran dan pedofilia) dan eksploitasi tenaga kerja baik di dalam dan di luar negeri (bekerja di tempat-tempat kasar dengan upah rendah, seperti pekerja rumah tangga, pekerja di perkebunan, buruh, dan lain-lain).

Bareskrim Polri mengidentifikasi ada 10 rute perdagangan orang, Malaysia dan Singapura menjadi tempat transit dengan negara tujuan Timur Tengah. Rute yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Jakarta – Malaysia – Timur Tengah.
  2. Jakarta – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  3. Jakarta – Medan – Malaysia – Timur Tengah.
  4. Jakarta – Batam – Singapura – Timur Tengah.
  5. Bandung – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  6. Surabaya – Jakarta – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  7. Surabaya – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  8. Nusa Tenggara Barat – Surabaya – Jakarta – Pontianak – Malaysia – Timur Tengah.
  9. Nusa Tenggara Barat – Surabaya – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  10. Nusa Tenggara Timur – Surabaya – Batam – Malaysia – Timur Tengah.

Kementerian Luar Negeri melaporkan pada tahun 2018 menangani 162 kasus Warga Negara Indonesia korban TPPO di luar negeri, dengan rincian: Timur Tengah 74 orang, Asia Timur dan Asia Tenggara 47 orang, Afrika 39 orang, serta Asia Selatan, Asia Tengah, Amerika Utara, dan Amerika Tengah masing-masing 1 orang. Sementara itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memulangkan Pekerja Migran Indonesia Bermasalah (PMI-B) karena menjadi korban perdagangan orang sebanyak 31 orang, indikasi TPPO seperti dokumen tidak lengkap sebanyak 85 orang, dan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) illegal sebanyak 21 orang.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ghafur Dharmaputra mengatakan usaha penanganan TPPO memerlukan strategi yang terstruktur, terukur, dan saling bersinergi antar sektor. Ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan, yakni penguatan kelembagaan, penguatan sistem, penegakan hukum, koordinasi, dan kerjasama lintas sektor. Peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam memberikan informasi awal kepada penegak hukum terkait indikasi terjadinya TPPO juga menjadi kunci utama dalam memerangi tindak kejahatan secara umum.

”Walaupun sudah banyak kebijakan yang dihasilkan, namun implementasinya masih menjadi tantangan dalam pencegahan TPPO, pemberian perlindungan bagi korban, dan penegakan hukum bagi pelaku TPPO. Dari sisi pemerintah, tantangan yang dihadapi adalah masih kurang dan beragamnya pemahaman para pemangku kepentingan tentang kebijakan yang ada serta belum meratanya kapasitas dan kapabilitas para pengampu kepentingan di daerah,” tambah Ghafur.

Kegiatan ini juga dirangkai dengan penandatangananan Komitmen Bersama Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan Orang (trafficking). (publikasidan mediaKPPPA/DKP3AKaltim/rdg)

Kesetaraan Gender Pondasi Dasar Wujudkan Ketahanan Keluarga

Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong kesetaraan gender dalam keluarga melalui kemitraan peran gender. Sekretaris KPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, kesetaraan gender dalam relasi keluarga merupakan salah satu pondasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga.

“Saat ini terdapat 81,2 juta keluarga (SUPAS, 2015) di Indonesia, yang perlu ditingkatkan ketahanan dan kualitasnya. Peningkatan ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui kesetaraan gender dengan pendekatan kemitraan peran gender, yaitu kerjasama antar anggota keluarga dalam menjalankan peran dalam keluarga,” ujarnya pada acara Seminar Nasional Kesetaraan Gender dan Ketahanan Keluarga sebagai Pondasi Pembentukan SDM Unggul, di Auditorium LIPI, (14/10/2019).

Pribudiarta menambahkan, sejumlah permasalahan dihadapai keluarga seperti pernikahan usia anak, meningkatkanya angka perceraian dan kehamilan yang tidak diinginkan. Kekerasan dalam keluarga juga kerap terjadi dimana 1 dari 3 perempuan usia 15 – 64 tahun mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya (Sumber : SPHPN, 2016), dan 2 dari 3 anak dan remaja pernah mengalami kekerasan salah satunya oleh keluarga (SNPHAR, 2018).

“Kemitraan peran gender antara suami istri dalam pembagian peran dan pengambilan keputusan mempermudah jalannya fungsi dan membentuk keharmonisan keluarga sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Keluarga yang berfungsi dengan baik dan memiliki ketahanan diharapkan mampu mengatasi pemasalahan yang menghambat pembangunan nasional dan mewujudkan ketahanan nasional,” jelasnya.

Intervensi pembangunan keluarga juga dilakukan KPPPA melalui Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga yang mengamanatkan bahwa dalam pelaksanaan Pembangunan Keluarga, diharapkan kepada Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun dan mengembangkan kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis yang berpedoman pada konsep Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga. (publikasidanmediaKPPPA/DKP3AKaltim/rdg)

Bimtek DAK Penting Untuk Menunjang Kelancaran Pelayanan Adminduk

Samarinda — Untuk mendukung upaya pencapaian sasaran pembangunan prioritas yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam rangka pencapaian sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melaksanakan Bimbingan Teknis Penyusunan Anggaran dan Pelaporan Dana DAK Provinsi dan Kabupaten/Kota se Kaltim Tahun 2019, berlangsung di Hotel Menara Bahtera Balikpapan, Selasa (8/10/2019).

Plt Sekda Kaltim M Sa’bani, mengatakan Pemprov Kaltim sangat menyambut baik terkait dengan kebijakan ini. Yaitu pengalokasian anggaran pelayanan administrasi kependudukan (adminduk) oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang sebelumnya melalui mekanisme Dana Dekonsentrasi untuk Provinsi dan Tugas Pembantuan untuk kabupaten/kota menjadi Dana Alokasi Khusus Non Fisik Pelayanan adminduk sehingga mekanismenya masuk dalam batang tubuh APBD Provinsi dan kabupaten/kota.

“Maka standarisasi yang digunakan dalam pengelolaan anggaran mengacu pada standarisasi daerah,” ujarnya.

Sa’bani mengajak agar pemerintah membuktikan kepada masyarakat, bahwa Negara hadir dalam seluruh proses pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil serta memberikan rasa aman kepada setiap warga negaranya melalui pelayanan yang cepat, gratis dan berkualitas.

“Mari kita optimalkan bersama Anggaran DAK yang telah dialokasikan pemerintah pusat ke provinsi maupun ke kabupaten/kota dalam rangka menunjang kelancaran penyelenggaraan administrasi kependudukan dan peningkatan kualitas pelayanan menuju pelayanan yang membahagiakan masyarakat melalui penyusunan anggaran dan pelaporan yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku,” katanya.

Sementara Kepala Dinas KP3A Kaltim Halda Arsyad, menyampaikan kebijakan DAK non fisik pada prinsipna dapat dimaknai sebagai langkah strategis pemerintah dalam mensinkronkan pelaksanaan program kegiatan yang merupakan prioritas nasional dengan program kegiatan yang merupakan prioritas daerah.

“Maka ketepatan waktu dan kesesuaian laporan sangat mempengaruhi proses transfer anggaran DAK. Daerah yang tepat waktu dan laporannya sesuai dan diterima maka akan diprioritaskan penyaluran DAK tahap pertama,” ujar Halda.

Menurutnya, Bimtek ini sangat penting untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan pelayanan adminduk, baik ketetapan, kesesuaian penyusunan anggaran, maupun pelaporan menjadi sesuatu yang mutlak dan dalam rangka mewujudkan tertib pengelolaan keuangan dan pelaporan menuju opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Sebagai informasi, terkait dengan peran dan tugas pemerintah provinsi dalam menjamin kelancaran penyelenggaraan adminduk di kabupaten/kota, telah banyak melakukan kegiatan yang bersifat untuk meningkatkan kualitas SDM Aparatur Dukcapil baik melalui sosialisasi, rapat koordinasi, bimtek maupun membantu peralatan perekaman dan pencetakan KTP-el.

Sesuai aturan pemerintah pusat, hanya satu kali mengalokasikan anggaran untuk pengadaan peralatan perekaman dan pencetakan KTP-el ke daerah sehingga pengadaan dan perbaikan peralatan diserahkan kepada daerah.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka Pemprov Kaltim hadir sebagai unsur pembina penyelenggara adminduk di daerah melalui Perubahan APBD tahun 2019 yang telah mengalokasikan bantuan peralatan untuk seluruh kabupaten/kota se Kaltim dengan total anggaran sebesar 1.670.000.000 berupa alat perekaman KTP-el sebanyak 10 unit, dan peralatan pencetakan KTP-el sebanyak 10 unit. Selain itu melalui APBD Murni provinsi tahun 2020 sudah dialokasikan untuk membantu kabupaten/kota berupa pengadaan mobil pelayanan keliling sebanyak 10 unit. (DKP3AKaltim/rdg)

Satgas PPA Garda Terdepan dan Ujung Tombak Perlindungan Perempuan dan Anak

Samarinda — Perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling rentan dari tindak kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya. Sebagai langkah strategis dalam membantu perempuan dan anak korban kekerasan untuk mendapatkan layanan cepat dan responsif terhadap kebutuhan korban, Pemerintah bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut, dalam memastikan korban mendapatkan layanan yang dibutuhkan, baik medis, psikologis, dan bantuan hukum dalam upaya pemulihan korban.

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, pada kegiatan Bimtek Satuan Tugas Perlindungan Peremuan dan Anak (Satgas PPA) Provinsi Kaltim, berlangsung di Hotel Grand Victoria, Senin (7/10/2019).

“Namun kendala masih terdapat di lapangan dalam memberikan pelayanan misalnya, lokasi korban dan belum adanya lembaga layanan, sarana dan prasarana, SDM dan sebagainya,” ujarnya.

Satgas PPA selain sebagai garda terdepan juga sebagai ujung tombak, tidak saja membantu saat ada korban, namun berperan dalam upaya melakukan pencegahan terjadinya kekerasan.

“Satgas PPA harus kita maksimalkan perannya sebagai fasilitator dalam melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya.

Sementara itu Satgas PPA memiliki fungsi penjangkauan terhadap perempuan dan anak yang mengalami permasalahan, malakukan identintifikasi kondisi dan layanan yang dibutuhkan, melindungi perempuan dan anak dari lokasi kejadian hingga mengungsikan perempuan dan anak yang mengalamai kekerasan ke rumah singgah atau ke lembaga lainnya untuk menciptakan rasa aman.

Ditegaskannya Satgas PPA pun dapat berperan untuk mendorong Aparat Penegak Hukum agar dapat menegakkan hukum bagi pelaku kekerasan, agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku.

Selain itu, ia juga mengapresiasi atas komitmen Satgas PPA untuk menjadi bagian dan menjadi partner Pemerintah dalam melakukan upaya perlindungan kepada perempuan dan anak.

“Saat ini jumlah kasus kekerasan di Kaltim yang tercatat  pada aplikasi Simfoni hingga minggu ke-2 bulan September 2019 sebanyak 371 kasus dan Kota Samarinda menduduki peringkat pertama yaitu sebanyak 199 kasus,” ungkap Halda.

Kegiatan bimtek ini merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan penguatan kapasitas terhadap Satgas PPA/PATBM  sehingga mereka dapat melaksanakan peran dan tugasnya secara maksimal. Diharapkan pula dapat menjadi wadah tukar pengalaman terbaik dan menjadi forum diskusi yang hasilnya dapat menjadi dasar untuk perbaikan kedepannya dan sebagai pertimbangan bagi pengambil kebijakan. (DKP3AKaltim/rdg)

Perempuan Benteng Utama Tangkal Paham Radikal Terorisme Dalam Keluarga

Samarinda — Maraknya aksi terorisme menyebabkan korban anak, perempuan tewas dan luka-luka, keprihatinan juga muncul karena adanya terduga terorisme yang melibatkan keluarga, anak dan perempuan dalam aksi terorisme. Selain itu, anak remaja juga rentan disusupi paham radikalisme.

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, melalui Kabid PPPA Noer Adenany, pada kegiatan Sosialisasi Kebijakan Perlindungan Anak Dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme di Kaltim, berlangsung di Hotel Aston Samarinda, Jumat (4/10/2019).

“Pada remaja, kemampuan adaptasi dipengaruhi oleh nilai yang didapatnya dari lingkungan sosial dan juga keluarga, karena masa remaja adalah masa transisi dari periode anak menuju dewasa dan remaja berada pada masa badai topan yang berarti memiliki jiwa yang meletup dan ingin diakui keberadaannya,” ujarnya.

Selain itu, ada pula ikatan kuat pada hubungan suami istri sehingga perepuan menjadi pengikut setia dan selalui merasakan hal yang sama oleh suatu dokrin. Walaupun demikian, lanjut Dany, peranan ibu juga menjadi penting untuk menangkal radikalisme.

“Sehingga yang terpenting benteng utama penangkalan paham radikal terorisme adalah peran ibu dan perempuan dalam keluarga. Karena peran perempuan sangat strategis dalam edukasi dan literasi terhadap keluarga khususnya anak-anak agar terhindar dari paham kekerasan dan terorisme,” imbuh Dany.

Ia berharap, kegiatan ini dapat menjadi bekal dalam upaya pencegahan dan penanganan anak korban stigmatisasi dan anak korban jarigan terorisme.

Kegiatan ini dihadiri oleh Asdep Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi (PABHS) KPPPA Hasan, Kabid Perlindungan Anak dan Stigmatisasi dan Jaringan Teroris KPPPA Gina, Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltim Hasyim Mirage. Kegiatan ini diikuti sebanyak 45 peserta terdiri dari LM, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Akdemisi dan Guru, Babinkamtibmas, Babinsa, PKK, Osis, Forum Anak, Aktivis, dan Media Massa. (DKP3AKaltim/rdg

Diharapkan UU SPPA Ramah Anak dan Utamakan Pendekatan Restoratif

Samarinda — Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kelangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak memiliki peran strategis dari sisi jumlah penduduk anak adalah sepertiga dari jumlah penduduk yang ada.

Dalam konstitusi UUD Pasal 28 B (2), Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia Indonesia.

Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad, pada kegiatan Fasilitasi Penyusunan Kebijakan Daerah Dalam Pelaksanaan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), di Hotel Aston Samarinda, Kamis (3/10/2019)

“Kita harus terus menjaga dan melindungi anak dari segala tindakan moral yang menghancurkan masa depannya,” ujarnya.

Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA)  yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, wajib memenuhi seluruh aturan yang telah ditetapkan. konsekuensinya yaitu perlu ditindaklanjuti dengan membuat suatu regulasi yang bertujuan melindungi anak yaitu dengan diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sebagai pengganti UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

“Diharapkan Undang-Undang SPPA sebagai model sistem Peradilan Pidana yang lebih ramah terhadap anak yaitu mengutamakan pendekatan keadilan restoratif,” imbuhnya.

Undang-Undang tersebut, lanjut Halda, diberlakukan setelah 2 tahun sejak tanggal ditetapkan yaitu 30 Juli 2012 dan waktu paling lama 5 tahun setelah diberlakukan. Selain itu ada beberapa tahap yang harus dipenuhi yaitu membangun lapas di kabupaten/kota.

“Jika melihat data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), maka kasus anak berhadapan hukum ternyata masih sangat tinggi di Indonesia, khusus untuk saat ini berdasarkan data aplikasi Simponi sejak Januari sampai September 2019 korban anak di Kaltim itu 255 orang yang terdiri dari perempuan 178 dan laki-laki 77 orang, kasusnya meliputi pencurian dengan kekerasan, penganiayaan, perkelahian, kekerasan seks dan penyalahgunaan narkoba,” jelas Halda.

Halda menegaskan, masalah ini tentunya tidak bisa ditangani secara parsial dan harus dilakukan lintas sektor, sehingga terintegrasi terpadu dan holistik penanganannya dan juga menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga anak agar terhindar dari tindakan-tindakan yang mengirim mereka berhadapan dengan permasalahan hukum.

“Kita harus membangun keluarga kuat, tangguh, berintegritas, ramah dan aman bagi anak-anak kita,” imbau Halda.

Dengan terlaksananya kegiatan ini Halda berharap terkoordinasinya pelaksanaan kebijakan sistem peradilan pidana anak di daerah.

Kegiatan ini dihadiri Asdep Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dan Stigmatisasi (PABHS)  Hasan, Polda Kaltim, Polresta Samarinda, Polsekta, Kanwil Kemenkumham Kaltim, Kejaksaan Tinggi Kaltim, Pengadilan Tinggi Kaltim, Advokat, Dinsos Kaltim, Dinkes Kaltim, Disnakertrans Kaltim, Diskominfo Kaltim, DPUPR dan Pera Kaltim. (DKP3AKaltim/rdg)

KPPPA Dorong Peningkatan Kualitas UPTD PPA Dengan Inovasi

Yogyakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) untuk mencari dan melakukan inovasi baru dalam rangka meningkatkan layanan publik yang optimal. Hal ini disampaikan Sekretaris KPPPA Pribudiarta Nur Sitepu, pada kegiatan Rapat Koordinasi UPTD PPA di Yogyakarta (01/10/2019).

“Dalam memberikan layanan perlindungan bagi perempuan dan anak, kualitas UPTD PPA harus terus ditingkatkan. Kami juga mengikutkan inovasi-inovasi yang dilakukan UPTD PPA dalam Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik oleh Menpan. Inovasi jadi salah satu dasar Kemen PPPA memberikan penghargaan kelembagaan UPTD PPPA,” ujarnya.

Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Deputi Pelayanan Publik Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN RB), Yenni Afriani, bahwa setiap lembaga perlu merujuk pada pelayanan publik.

“UPTD PPA adalah lembaga yang menyelenggarakan layanan publik, sehingga perlu untuk mengikuti kaidah-kaidah pelayanan publik. Untuk itu, telah disusun pedoman evaluasi kelembagaan UPTD PPA yang ditetapkan dalam Permen PPPA Nomor 11 Tahun 2019 yang bersandar pada PermenPAN Nomor 17 Tahun 2017,” ujar Yenni.

Permen PPPA Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pedoman Evaluasi Kelembagaan UPTD PPA menjadi dasar aspek penilaian penghargaan UPTD PPA. Ada 6 indikator utama yakni Kebijakan pelayanan, Profesionalisme SDM, Sarana dan Prasarana, Sistem Informasi Pelayanan Publik, Konsultasi dan Pengaduan, serta Inovasi.

Kepala Bagian Organisasi dan Tata dan Laksana KPPPA, Prita Ismayani mengingatkan batasan pada unsur inovasi perlu diperhatikan.

“Inovasi yang dimaksud adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan UPTD PPA yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah dan dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri. Jadi UPTD PPA baru bisa disebut membuat inovasi jika sudah ada kebijakan yang mengatur dan tertuang dalam peraturan gubernur, walikota atau bupati,” terang Prita.

Sementara Kepala UPTD PPA Provinsi Sulawesi Selatan, Meisy Papayungan, menyampaikan Pemprov Sulawesi Selatan Tahun 2019 mendapatkan penghargaan sebagai salah satu daerah dengan UPTD PPA terbaik. Ukuran standar pelayanannya tidak terlepas dari indikator-indikator pelayanan publik. Keberadaan UPTD PPA pun dinilai membawa dampak positif bagi masyarakat.

“Keberadaan UPTD PPA sangat positif, karena lembaga ini semakin dipercaya oleh publik.  Bahwa ternyata layanan pemerintah juga bisa menjawab kebutuhan mereka. Ini dikuatkan dari pengalaman klien-klien sebelumnya yang banyak menyarankan ke UPTD. Untuk kepuasan pelanggan, kami buka seluas-luasnya akses layanan pengaduan atau keluhan melalui semua saluran media sosial UPTD kami lewat IG, FB, Hotline, dan Website. Kemudian beberapa korban yang datang ternyata mengetahui informasi melalui media sosial,” imbuh Meisy.

Ia menambahkan Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah yang menginisiasi pertama kali pembentukan UPTD PPA. “UPTD PPA Sulsel terbentuk tahun 2016 atau 2 tahun sebelum Permen PPPA-nya keluar. Alasan kami duluan membentuk karena kebutuhan daerah dan peluangnya ada. Di Sulsel ada 2 kabupaten yang membentuk UPTD PPA. Secara bertahap kami akan mendampingi kabupaten dan mengadvokasi pemda untuk pembentuk di seluruh kabupaten/kota, targetnya 2 tahun ke depan,” tambah Meisy.

Hal ini juga menjadi cita-cita Kaltim untuk segera membentuk UPTD PPA di setiap kabupaten/kota. Saat ini Kaltim tengah dalam tahap persiapan UPTD PPPA. (KPPPA/DKP3AKaltim)

Ditargetkan Puspaga Berikan Pelayanan Pada 10.000 Keluarga Tiap Tahunnya

Depok — Dalam rangka meningkatkan kapasitas tenaga layanan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) kembali mengadakan Pelatihan bagi Psikolog/Konselor dan Dinas PPPA dari 6 Provinsi dan 34 Kabupaten/Kota, yang dilaksanakan di Depok, Jawa Barat sejak tanggal 25-27 September 2019.

Untuk meningkatkan kualitas 67 juta keluarga di Indonesia, Negara hadir untuk memberikan pendampingan keluarga melalui penyediaan layanan yang dilaksanakan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yaitu Layanan konseling/konsultasi di Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga). Saat ini, Puspaga telah berjumlah 119 dan tersebar di 12 Provinsi dan 107 Kabupaten/Kota dengan layanan dari tenaga profesi.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPPA, Lenny N Rosalin, menegaskan bahwa berdasarkan kluster yang ada di Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), Puspaga merupakan bentuk peran pemerintah dalam menguatkan kluster II KLA yaitu, Lingkungan, Keluaraga, dan Pengasuhan Alternatif.

“Puspaga memiliki peran yang sangat penting sebagai media penghubung orang tua dengan anaknya dalam konteks pengasuhan di dalam keluarga. Puspaga merupakan layanan yang dilaksanakan oleh tenaga profesional yang dikelola secara gratis bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas keluarga,” ujarnya.

Sementara Asdep Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan, Rohika Kurniadi Sari mengatakan agar dapat menjangkau seluruh keluarga Indonesia, Puspaga ditargetkkan dapat memberikan pelayanan pada 10.000 keluarga tiap tahunnya

Dengan target pelayanan yang tinggi diharapkan pengelola Puspaga dapat terus berinovasi dan berupaya melakukan penjangkauan kepada keluarga baik melakukan sosialisasi maupun penyuluhan. Upaya lain yang dapat dilakukan dan sudah diterapkan beberapa Puspaga adalah membangun jejaring kerja sama dengan lembaga atau layanan peduli terhadap keluarga lainnya.

“Sebagai peningkatan kualitas layanan keluarga di Puspaga perlu ditetapkan standarisasi untuk menjamin keseragaman dalam kualitas layanan yang diberikan Puspaga dan memperjelas batasan dari fungsi layanan Puspaga. Tahun ini, Kemen PPPA berupaya menyusun pedoman standardisasi Puspaga dibantu oleh pakar standardisasi dan sertifikasi,” katanya..

Penyusunan pedoman standardisasi Puspaga ini, lanjutnya, mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Pedoman Standardisasi Puspaga ini ditargetkan selesai di bulan November 2019 sehingga dapat segera diimplementasikan oleh seluruh daerah yang mendirikan Puspaga. Adapun KPPPA menargetkan di tahun 2020 minimal ada 10 Puspaga yang sesuai standard dan tersertifikasi.

“Ke depan diharapkan dengan standarisasi layanan di Puspaga dapat mempercepat terwujudnya keluarga dengan sumber daya berdaya saing dan unggul menuju Indonesia Emas 2045,” harap Rohika.

Pelatihan ini diikuti oleh 130 peserta yang kedepannya akan menjadi pelopor berdirinya Puspaga di daerah masing-masing. (KPPPA/DKP3AKaltim)

 

UPTD PPA Adalah Respon Pemerintah Terhadap Isu Kekerasan

Yogyakarta — Negara bertanggungjawab untuk memberikan layanan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Salah satunya, dengan mendorong terbentuknya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang diatur melalui Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pembentukan UPTD PPA.

Sekretaris KPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu dalam Rapat Koordinasi UPTD PPA di Yogyakarta, Senin (30/09/2019), mengatakan tercatat hingga September 2019, UPTD PPA terbentuk di 20 Provinsi dan 36 Kabupaten/Kota dengan jumlah 130 unit. Sekitar 4500 – 5000 kasus berhasil tertangani oleh UPTD PPA hingga tahun 2019.

“Seseorang tidak akan berbahagia jika mengalami kekerasan. Karena itu kemudian, UPTD ini dibentuk untuk menjawab dan merespon bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk bisa mengintervensi isu kekerasan melalui pembentukan UPTD PPA,” ujarnya.

Indikator kinerja UPTD PPA menurut Pribudiarta adalah terlayaninya semua perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Terbentuknya UPTD PPA di daerah merupakan inisiatif dan dorongan kebutuhan masing-masing pemerintah daerah terhadap perlunya tambahan layanan bagi korban kekerasan.

“Pada pemerintah provinsi yang kemudian merasa bahwa kepala dinas PPPA nya bisa menangani kasus kekerasan sendiri maka tidak perlu dibentuk UPTD. Tapi kalau kemudian daerah merasa bahwa perlu UPTD untuk meningkatkan kualitas layanan, maka pembentukan UPTD PPA dilakukan,” imbuhnya.

UPTD PPA, lanjut Pribudiarta, sebagai unit layanan teknis yang menyelenggarakan layanan perlindungan terhadap perempuan dan anak menjalankan fungsi menerima pengaduan masyarakat, menjangkau korban, menyediakan tempat penampungan sementara, memberikan mediasi, dan mendampingi korban. KPPPA menyelenggarakan Rakor UPTD PPA untuk meningkatkan sinergitas, sinkronisasi dan penguatan kelembagaan UPT PPA di daerah.

“Urgensi UPTD PPA adalah mendekatkan layanan dengan masyarakat.  Selain itu, UPTD juga harus berjejaring dengan unit-unit layanan yang dibentuk masyarakat. Seperti, P2TP2A dan satuan-satuan tugas yang dibentuk oleh daerah karena di beberapa provinsi ada yang membentuk Satgas PPA. Intinya, baik oleh unit layanan pemerintah maupun masyarakat diharapkan seluruh korban kekerasan dilayani dengan baik,” jelas Pribudiarta.

Kemen PPPA mengapresiasi daerah yang telah membentuk UPTD PPA dengan memberikan penghargaan kelembagaan UPTD PPA yang sesuai dengan standar dan prinsip-prinsip layanan publik. 5 provinsi dan 5 kabupaten/kota dengan kelembagaan UPTD PPA terbaik, antara lain pada tingkat Provinsi yakni Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, bangka Belitung, Jambi, dan Sumatera Barat. Pada tingkat Kab/Kota yakni Kabupaten Sleman, Kota Surakarta, Kota Balikpapan, Kota Bandung, dan Kabupaten Sidoarjo. (KPPPA/DKP3AKaltim)