Berantas TPPPO Perlu Sinergi Seluruh Elemen

Kupang, NTT — ”Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan kemanusiaan yang akar penyebab masalahnya kompleks, beragam, dengan modus yang terus berkembang. Untuk itu, dalam upaya memberantas TPPO dari hulu sampai hilir di Indonesia, diperlukan sinergi dan harmonisasi dari seluruh pihak terkait, mulai dari keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, dunia usaha, lembaga masyarakat, dan lembaga pemerintah di tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Vennetia R. Danes pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP-TPPO) Tahun 2019 yang berlangsung pada 14 – 17 Oktober 2019 di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Vennetia menyampaikan dengan mengangkat tema “Mari Bersama Kita Berantas TPPO” Rakornas tahun ini diselenggarakan sebagai wadah berbagi informasi tentang kebijakan-kebijakan dan membahas isu-isu terbaru yang muncul dalam PP-TPPO, evaluasi kelembagaan Gugus Tugas PP-TPPO, membahas rincian modus-modus TPPO terkini, dan langkah strategis pencegahan dan penanganannya, serta mencari solusi bersama yang diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Penanganan kasus-kasus TPPO melalui aksi yang sinergis antara anggota Gugus Tugas TPPO baik pusat maupun daerah juga terus ditingkatkan. Hingga Agustus 2019, GT PP-TPPO juga telah terbentuk di 32 Provinsi dan 244 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2019 ini, Gugus Tugas TPPO telah berhasil memulangkan puluhan perempuan yang di trafficking ke Tiongkok dengan modus pengantin pesanan, penangkapan jaringan besar pelaku trafficking dengan modus pekerja migran ke negara Timur Tengah, penangkapan pelaku trafficking dengan modus pemberian beasiswa ke luar negeri, penangkapan pelaku trafficking untuk tujuan ekploitasi seksual antar provinsi atau di dalam wilayah tertentu di Indonesia yang korbannya sebagian masih usia anak.

Sinergitas seluruh pihak yang terkait harus memiliki interaksi yang berkelanjutan, saling terbuka, memiliki pemahaman dan visi yang sama, dan mengedepankan dialog dalam segala hal. ”Besar harapan melalui proses interaksi reguler ini akan muncul ide-ide kreatif dan inovatif dalam rangka pencegahan TPPO. Rakornas Gugus Tugas PP-TPPO ini merupakan salah satu upaya kami, selaku ketua harian sekaligus Sekretariat Gugus Tugas PP-TPPO tingkat pusat, untuk memfasilitasi interaksi tersebut. Untuk menghadapi semakin beragamnya modus baru dalam TPPO, kami meyakini pentingnya berbagi praktik terbaik, pengetahuan, dan upaya lintas bidang di tingkat nasional dalam penghapusan TPPO,” tutup Vennetia.

Selama tahun 2018, Bareskrim Polri menerima 95 Laporan Polisi terkait TPPO dengan jumlah korban sebanyak 297 orang yang terdiri atas perempuan dewasa 190 orang (64%), anak perempuan 18 orang (6%), laki-laki dewasa 79 orang (27%), dan anak laki-laki 10 orang (3%). Fenomena TPPO yang sering terungkap dalam persidangan adalah sebagian besar korban dipergadangkan untuk tujuan eksploitasi seksual (pelacuran dan pedofilia) dan eksploitasi tenaga kerja baik di dalam dan di luar negeri (bekerja di tempat-tempat kasar dengan upah rendah, seperti pekerja rumah tangga, pekerja di perkebunan, buruh, dan lain-lain).

Bareskrim Polri mengidentifikasi ada 10 rute perdagangan orang, Malaysia dan Singapura menjadi tempat transit dengan negara tujuan Timur Tengah. Rute yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Jakarta – Malaysia – Timur Tengah.
  2. Jakarta – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  3. Jakarta – Medan – Malaysia – Timur Tengah.
  4. Jakarta – Batam – Singapura – Timur Tengah.
  5. Bandung – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  6. Surabaya – Jakarta – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  7. Surabaya – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  8. Nusa Tenggara Barat – Surabaya – Jakarta – Pontianak – Malaysia – Timur Tengah.
  9. Nusa Tenggara Barat – Surabaya – Batam – Malaysia – Timur Tengah.
  10. Nusa Tenggara Timur – Surabaya – Batam – Malaysia – Timur Tengah.

Kementerian Luar Negeri melaporkan pada tahun 2018 menangani 162 kasus Warga Negara Indonesia korban TPPO di luar negeri, dengan rincian: Timur Tengah 74 orang, Asia Timur dan Asia Tenggara 47 orang, Afrika 39 orang, serta Asia Selatan, Asia Tengah, Amerika Utara, dan Amerika Tengah masing-masing 1 orang. Sementara itu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memulangkan Pekerja Migran Indonesia Bermasalah (PMI-B) karena menjadi korban perdagangan orang sebanyak 31 orang, indikasi TPPO seperti dokumen tidak lengkap sebanyak 85 orang, dan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) illegal sebanyak 21 orang.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ghafur Dharmaputra mengatakan usaha penanganan TPPO memerlukan strategi yang terstruktur, terukur, dan saling bersinergi antar sektor. Ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan, yakni penguatan kelembagaan, penguatan sistem, penegakan hukum, koordinasi, dan kerjasama lintas sektor. Peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam memberikan informasi awal kepada penegak hukum terkait indikasi terjadinya TPPO juga menjadi kunci utama dalam memerangi tindak kejahatan secara umum.

”Walaupun sudah banyak kebijakan yang dihasilkan, namun implementasinya masih menjadi tantangan dalam pencegahan TPPO, pemberian perlindungan bagi korban, dan penegakan hukum bagi pelaku TPPO. Dari sisi pemerintah, tantangan yang dihadapi adalah masih kurang dan beragamnya pemahaman para pemangku kepentingan tentang kebijakan yang ada serta belum meratanya kapasitas dan kapabilitas para pengampu kepentingan di daerah,” tambah Ghafur.

Kegiatan ini juga dirangkai dengan penandatangananan Komitmen Bersama Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan Orang (trafficking). (publikasidan mediaKPPPA/DKP3AKaltim/rdg)

Kesetaraan Gender Pondasi Dasar Wujudkan Ketahanan Keluarga

Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong kesetaraan gender dalam keluarga melalui kemitraan peran gender. Sekretaris KPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, kesetaraan gender dalam relasi keluarga merupakan salah satu pondasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga.

“Saat ini terdapat 81,2 juta keluarga (SUPAS, 2015) di Indonesia, yang perlu ditingkatkan ketahanan dan kualitasnya. Peningkatan ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui kesetaraan gender dengan pendekatan kemitraan peran gender, yaitu kerjasama antar anggota keluarga dalam menjalankan peran dalam keluarga,” ujarnya pada acara Seminar Nasional Kesetaraan Gender dan Ketahanan Keluarga sebagai Pondasi Pembentukan SDM Unggul, di Auditorium LIPI, (14/10/2019).

Pribudiarta menambahkan, sejumlah permasalahan dihadapai keluarga seperti pernikahan usia anak, meningkatkanya angka perceraian dan kehamilan yang tidak diinginkan. Kekerasan dalam keluarga juga kerap terjadi dimana 1 dari 3 perempuan usia 15 – 64 tahun mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya (Sumber : SPHPN, 2016), dan 2 dari 3 anak dan remaja pernah mengalami kekerasan salah satunya oleh keluarga (SNPHAR, 2018).

“Kemitraan peran gender antara suami istri dalam pembagian peran dan pengambilan keputusan mempermudah jalannya fungsi dan membentuk keharmonisan keluarga sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Keluarga yang berfungsi dengan baik dan memiliki ketahanan diharapkan mampu mengatasi pemasalahan yang menghambat pembangunan nasional dan mewujudkan ketahanan nasional,” jelasnya.

Intervensi pembangunan keluarga juga dilakukan KPPPA melalui Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga yang mengamanatkan bahwa dalam pelaksanaan Pembangunan Keluarga, diharapkan kepada Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun dan mengembangkan kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis yang berpedoman pada konsep Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga. (publikasidanmediaKPPPA/DKP3AKaltim/rdg)