DKP3A Kaltim Gelar Bimtek SDM Penyedia Layanan PPPA

Samarinda — Untuk meningkatkan hasil yang maksimal dalam pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan anak sesuai dengan hasil pemantauan dan evaluasi yang ada, Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melaksanakan Bimtek SDM Penyedia Layanan Pada Dinas PPPA dan UPTD PPA Provinsi/Kabupaten/Kota se-Kaltim, berlangsung di Hotel Selyca Mulia Samarinda, Rabu (14/8/2019).

Kepala Dinas KP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan, laporan pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak belum dapat menggambarkan kondisi tingkat kekerasan perempuan dan anak yang utuh. Hal ini karena minimnya data di unit pelayananan penanganan korban kekerasan, kurangnya keterlibatan layanan yang menangani korban kekerasan dalam menginput data dan belum optimalnya mekanisme koordinasi di dalam sistem pencatatan dan pelaporan kekerasan di unit layanan di masing-masing daerah.

Ketidakakuratan data kekerasan tersebut akan menyulitkan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, KPPPA RI  tahun 2016 telah melaunching Sistem Pencatatan dan Pelaporan Kekekrasan Perempuan dan Anak “Simfoni PPA” dan telah dilakukan Pelatihan bagi petugas yang menangani data kekerasan perempuan dan anak di seluruh Kaltim yang ditindaklanjuti dengan Bimtek bagi petugas yang menangani data kekerasan di kabupaten/kota masing-masing.

“Maka sebelum pelaksanaan bimtek pencatatan dan pelaporan Simfoni PPA, perlu juga pelatihan pendahuluan bagi petugas pendokumentasian (admin) /penerima pengaduan untuk melakukan assessment kasus yang dialami, mengetahui layanan yang dibutuhkan dan bagaimana melakukan mekanisme koordinasi dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan,” ujarnya.

Halda juga menyampaikan, hasil pemantauan dan evaluasi menunjukkan masih ada beberapa daerah yang belum melakukan entri data secara aktif dan real time.

“Hal tersebut karena masih ada perbedaan pemahaman dalam mekanisme pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak, lemahnya koordinasi antar lembaga layanan, beberapa petugas data di daerah dialihtugaskan ke tempat lain, tidak ada transfer knowledge kepada petugas yang baru dan jaringan internet yang tidak memadai,” imbuh Halda.

Sehingga dengan kegiatan ini, ia berharap dapat memberikan penguatan kapasitas pengelola UPTD tentang penyelenggaraan lembaga penyedia layanan bagi korban yang responsif gender dan peka terhadap kebutuhan korban untuk pemulihan. Selain itu, sebagai wadah sosialisasi sistem Simfoni PPA kepada petugas pengelola data Dinas PPPA.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 30 peserta dari Dinas PPPA kabupaten/kota se-Kaltim. Dengan menghadirkan narasumber dari Asdep Perlindungan Perempuan Dalam Situasi Darurat dan Situasi Khusus KPPPA RI  Nyimas Aliah, Kabid Data dan Analis Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA RI Aresi Armynuksmono, Kadis KP3A Kaltim Halda Arsyad dan Fasilitator Provinsi Farida Hidro Foliyani. (DKP3AKaltim/rdg)

Perlindungan Anak Harus Fokus Pada Pencegahan

Samarinda — Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin dalam Pelatihan Gugus Tugas KLA dengan Analisis Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) mengatakan penduduk usia anak di Indonesia berjumlah 80 juta jiwa, 1,1 juta jiwa (1,4%) diantaranya berada di Kaltim.
Potensi yang besar tersebut harus dijamin dan dilindungi haknya “Dilindungi artinya dipenuhi hak-haknya meliputi klaster 1, 2, 3, dan 4. Kemudian diberikan perlindungan khusus jika termasuk dalam kategori 15 yaitu anak yang memerlukan perlindungan khusus,” ujarnya.
Lenny menjelaskan perlindungan anak dalam KLA terdiri dari lima klaster dengan 24 indikator. Klaster I terdiri dari hal sipil dan kebebasan, klaster II terdiri dari lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, klaster III terdiri dari kesehatan dasar dan kesejahteraan, kalster IV terdiri dari pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya dan klaster V perlindungan khusus.
KLA juga terintegrasi dengan sistem kabupaten/kota di Indonesia dan Sustainable Development Goals/SDGs. Artinya jika kabupaten/kota suatu daerah dalam kategori hijau, cerdas, sehat, aman bencana, dan inklusi, maka merupakan kabupaten/kota layak anak dan dapat dikatakan kabupaten/kota peduli HAM serta merupakan bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs.
Selanjutnya, penyususnan program dan kegiatan dalam rangka KLA, perlu selalu mempertimbangkan alokasi waktu anak dan lokus dimana anak berada. “Dimensi waktu ini bagi tiga yaitu 8 jam di sekolah maka sekolah harus ramah anak, 8 jam di rumah dengan peran pusat pembelajaran keluarga (Puspaga) dan 8 jam lainnya ketika anak beraktivitas di ruang publik maka perlu peran banyak pihak,” imbuhnya.
Lenny juga menginformasikan jika saat ini Forum Anak Daerah di Kaltim telah mencapai 90%.
Persentase Perempuan 20-24 Tahun yang Menikah Sebelum Umur 18 Tahun Menurut Provinsi, tahun 2018 (Susenas 2018) sebesar 11,5% sedangkan angka nasional 11,2%. Data puskesmas di Kaltim tahun 2018 terdapat 183 puskesmas (1,8%) dan 141 puskesmas telah melaksanakan kegiatan kesehatan remaja serta 46 puskesmas di 7 kabupaten/kota yang telah memberikan pelayanan ramah anak.
Kemudian terdapat 279 sekolah ramah anak (SRA) / 70% di 7 kabupaten/kota di Kaltim sedangkan angka nasional berada pada 46%.
Ia menerangkan strategi intervensi harus fokus pada pencegahan, baik melalui peran keluarga, keluarga pengganti, sekolah, lingkungan, region atau wilayah maupun langsung pada anak. (DKP3AKaltim/rdg)

10 Kabupaten/Kota Di Kaltim Siap Menuju KLA

Samarinda — Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melaksanakan Pelatihan Gugus Tugas Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dengan Analisis Pengaurusutamaan Hak Anak (PUHA) Provinsi Kaltim berlangsung di Hotel Grand Victoria Samarinda, Selasa (13/8/2019).

Plt Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Prov Kaltim H M Sa’duddin mengatakan untuk menjadi KLA, dibutuhkan proses yang panjang dan kerja keras Pemerintah bersama masyarakat dan dunia usaha secara terintegrasi, terencana dan menyeluruh. Menjadi KLA berarti memenuhi seluruh indikator KLA yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 12/2011.

“Untuk mewujudkan KLA butuh komitmen yang kuat, sinergitas dan kontinyu dalam melaksanakan upaya yang dimulai dari membuat perencanaan, pelaksanaan kebijakan dengan melaksanakan needs assessment / analisis kebutuhan, menetapkan target indikator dan menyusun Rencana Aksi Daerah,” ujarnya.

Kemudian, lanjut Sa’duddin, memobilisasi sumber-sumber daya, melakukan koordinasi Gugus Tugas KLA termasuk membuat sistem yang mengatur mekanisme relasi antar organisasi serta meningkatkan efektifitas komunikasi kepada para pelaksana kebijakan agar pelaksana kebijakan memahami manfaat dan substansi kebijakan, serta mengupayakan kondisi ekonomi, sosial dan politik yang kondusif.

“Kemudian pada perkembangannya sampai dengan pertengahan tahun 2019 capaian Pengembangan KLA Provinsi Kaltim telah mencapai 80 persen dan telah ditetapkan sebagai Provinsi Penggerak KLA oleh Menteri PP dan PA Republik Indonesia pada tahun 2017,” katanya.

Pada Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tanggal 23 Juli 2019 di Kota Makassar, Kaltim telah meraih 8 Penghargaan KLA yaitu: Kota Balikpapan (KLA Kategori Nindya), Kota Bontang, Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Kartenegara (KLA Kategori Madya), dan Kabupaten Berau, Kab. Penajam Paser Utara, Kab. Paser dan Kabupaten Kutai Timur (KLA Kategori Pratama)

Sedangkan Penghargaan lain terkait pemenuhan dan perlindungan anak juga di raih antara lain, UPTD PPPA Kota Balikpapan, Puspaga Kota Balikpapan, Sekolah Ramah Anak SLB Negeri Balikpapan dan SD Negeri 003 Balikpapan, Puskesmas Ramah Anak: Balikpapan Tengah, dan Harmoni Suara Anak Penyandang Disabilitas oleh Aryo Panembahan dari Pelita Bunda Samarinda dengan Karya Tulis terbaik 6 Kategori Disabilitas Mental Intelektual serta Viqli Alif N dari SLB Negeri Balikpapan dengan Karya Tulis terbaik 2 Kategori Disabilitas Tuna Netra/ Low Vision.

Melihat pencapaian ini, Sa’duddin mengimbau kabupaten/kota terus meningkatkan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak untuk mewujudkan Kaltim sebagai KLA.

Sementara Kepala Dinas KP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan pihaknya siap mendorong 10 kabupate/kota di Kaltim menuju KLA. “Kaltim sudah mencapai 80%, kita terus upayakan advokasi untuk seluruh kabupaten/kota. Secara keseluruhan, 10 kabupaten/kota di Kaltim siap menuju Kota Layak Anak,” tegas Halda.

Kegiatan ini diikuti sebanyak 45 peserta terdiri dari Dinas PPPA kabupaten/kota se Kaltim, Bappeda kabupaten/kota se Kaltim, OPD lingkup Provinsi Kaltim, Kanwil Agama, Kemenkum HAM, LPKA, Kejaksaan TGinggi Kaltim, Forum Anak, Fasilitator KLA dan LM pemerhati perempuan dan anak.

Hadir pada kegiatan ini Kadis KP3A Kaltim, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPA RI Lenny N Rosalin, Fasilitator KLA Nasional Taufieq Uwaidha , Fasilitator KLA Kaltim Sumadi. (DKP3AKaltim/rdg)

Data Terpilah Gender Anak Syarat Pelaksanaan Strategi PUG

Samarinda — Pengumpulan dan pengolahan Data Terpilah menurut jenis kelamin  merupakan syarat yang diperlukan untuk berbagai keperluan, utamanya adalah untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam seluruh proses pembagunan.

Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim pada kegiatan Pengumpulan, Pengolahan Data Analis Data Gender dan Anak mengatakan, pelaksanaan strategi PUG dalam konteks global merupakan salah satu hasil kesepakatan Kompresi Perubahan Sedunia Ke-4 di Beijing yang mendesak layanan statistik ditingkat Nasional dan regional untuk merinci secara terpilah agar menghasilkan strategi gender yang diperlukan.

“Mengapa diperlukan data terpilah menurut jenis kelamin dan usia? Karena merupakan gambaran umum tentang keadaan perempuan dan laki-laki diberbagai aspek kehidupan,” ujarnya.

Namun Halda mengingatkan, data terpilah menurut jenis kelamin tidak selalu mengandung isu gender, akan tetapi menyatakan unsur dasar yang harus ada untuk mengungkapkan isu gender, yaitu isu yang muncul karena pemberlakuan atas dasar jenis kelamin.

Isu gender selama ini kurang diperhitungkan dalam berbagai proses pembangunan.  Akibatnya  kebijakan,  program,  kegiatan  pembangunan  tidak  responsif  terhadap  kebutuhan perempuan dan laki-laki (kebijakan/ program yang buta gender). Hasilnya adalah ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan dan kehidupan.

Dengan dilaksanakannya Analisis Data Gender dan Anak diharapkan dapat meningkatkan pemahaman para pengelola dan pemakai data sehingga dapat tersedia data gender, data anak dan lansia.

Oleh sebab itu, halda mengimbau peserta untuk memanfatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya untuk berdialog dan berdiskusi, sehingga diharapkan dapat tersedia data yang akurat.

“Atas nama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, saya sangat mengapresiasi dan dan menyambut baik atas partisipasi kehadiran sekalian pada kegiatan ini, karana penyelenggaraan pengumpulan, pengolahan analisi data gender dan anak akan berhasil baik apabila mendapat dukungan dan partisipasi semua pihak,” katanya.

Kegiatan ini berlngsung di Ruang Serbaguna Kesbangpol Kaltim, Kamis (8/9/2019). Diikuti OPD lingkup Pemprov Kaltim, perguruan tinggi dan LM. (DKP3AKaltim/rdg)

Perlu Akselerasi Program KKBPK Untuk Dekati Capaian Angka Nasional

Samarinda — Gubernur Kaltim Isran Noor melalui Kepala Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Halda Arsyad mengatakan secara umum capaian kinerja program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) di Kaltim cukup baik, namun perlu percepatan atau akselerasi agar bisa mendekati angka pencapaian nasional melalui peningkatan komitmen dan sinergitas kemitraan yang telah dibangun di Kaltim agar lebih baik. Kinerja program yang sudah baik harus terus dipertahankan mengingat pergeseran angka (misalnya Contraceptive Prevalence Rate/TFR) sedikit saja akan berpengaruh secara signifikan pada kondisi nasional mengingat jumlah penduduk Kaltim sekarang adalah 3.575.449 jiwa (Sumber : BPS, KDA 2018).

CPR Kaltim sebesar 55,2% dibawah angka nasional 57,0%. sedangkan total fertility rate/TFR (SDKI) sebesar 2,7%. Unmet Need (kebutuhan yang tidak terpenuhi) masih cukup tinggi sebesar 16,4% sedangkan Nasional 15%. Dengan rata-rata usia menikah di Kaltim yaitu 21,4 tahun sedangkan nasional 21,3 tahun. Selain itu Kaltim memiliki 253 Kampung KB. Selanjutnya akan dibentuk pula Kampung KB sebagai Desa Stunting,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Halda, kebijakan dan strategi yang dirumuskan perlu lebih diarahkan pada peningkatan sinergitas, komitmen, dukungan, dan kerjasama antar pemerintah, pemda dan mitra kerja pengelolaan dan pelaksanaan program KKBPK disemua tingkat wilayah.

Atas nama Pemprov Kaltim ia menyambut baik dan mengapresiasi pelaksanaan kegiatan ini yaitu mengevaluasi atas kinerja yang telah dilakukan sehingga dapat mengidentifikasi keberhasilan maupun kendala-kendala yang dihadapi dalam  pengelolaan program KKBPK.

“Saya ucapkan terima kasih kepada perwakilan BKKBN Kaltim yang telah melakukan koordinasi dengan baik dengan seluruh pemangku kepentingan dengan harapan manfaat program KKBPK dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan termasuk masyarakat kurang mampu yag bertempat tinggal diwilayah padat penduduk, wilatah nelayan, daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, kepaulauan dan daerah lainnya,” ujarnya pada Rapat Evaluasi Capaian Program KKBPK Semester I Tahun 2019 yang berlangsung di Hotel Selyca Mulia, Kamis (8/8/2019). (DKP3AKaltim/rdg)

Di Kaltim Ada 3.230 ABK

Samarinda — Partisipasi anak merupakan salah satu hak anak, termasuk anak penyandang disabilitas yang harus dipenuhi. Anak disabilitas memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya tentang apa yang dirasakan dan harapan-harapannya.

Kabid PPPA Noer Adenany mengatakan, berdasarkan data kependudukan tahun 2018 pada Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, jumlah anak di Kaltim sebanyak 1. 181. 370 anak.

“Berdasarkan sumber data kependudukan bersih (DKB) Kemendgri tahun 2018, ada sebanyak 3.230 anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada di 10 kabupaten/kota di Kaltim,” ujarnya pada Dialog Interaktif Suara Disabilitas berlangsung di RRI Pro 1 Samarinda, Rabu (7/8/2019).

Dany merincikan dari 3.230 ABK kategori cacat fisik sebanyak 1.102, cacat netra 317, cacat rungu 623, cacat mental jiwa 426, cacat fisik mental 230 dan cacat lainnya 530.

Walaupun ada jaminan yang diberikan oleh negara dan kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak anak disabilitas sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, namun hak-hak anak disabilitas belum dapat terpenuhi secara optimal. Ini terbukti dengan masih banyaknya anak yang mengalami stigma, diskriminasi, kekerasan, pelebelan dan eksploitasi.

“Kami berharap pula peran masyarakat untuk mengubah paradigma bahwa memiliki anak ABK atau disabilitas merupakan aib  Kami juga terus memberikan edukasi dan pendekatan kepada masyarakat yang berada di kabupaten/kota dan desa,” katanya.

Selain itu, dengan terbentuknya Persatuan Orang Tua Cerebral Palsy Kaltim menjadi kepanjangan tangan pemerintah sebagai upaya nyata masyarakat yang peduli terhadap anak penyandang disabilitas.

“Kami menyambut baik, dan siap menerima dengan tangan terbuka karena komunitas ini merupakan bagian dari kami dalam perlindungan anak,” imbuh Dany.

Sebagai bentuk tindak lanjut, jelas Dany, pihaknya telah melaksanakan Pelatihan Penanganan ABK Bagi Fasilitator pada tahun 2015, Pelatihan Penanganan ABK Bagi Guru di SLB dan Sekolah Inklusi pada tahun 2016 dan di tahun 2019 akan kembali mempersiapkan regulasi terkait pembentukan Forum Peduli ABK yang sempat mandek..

Selain itu, hasil terbaik dari anak penyandang disabilitas yaitu pada kegiatan Harmoni Suara Anak Penyandang Disabilitas rangkaian Hari Anak Nasional (HAN) 2019 diantaranya peluncuran buku kumpulan naskah suara anak peyandang disabilitas dengan tema Dengarkan Curhatan Kami. Buku ini merupakan tulisan dari anak penyandang disabilitas yang dipilih sebagai penyaji karya terbaik dari setiap kategori disabilitas.

“Untuk perwakilan anak ABK Kaltim mendapatkan dua penghargaan. Kategori disabilitas Tuna Netra oleh Vughli Alif Nur Restu Wardhana meraih Terbaik 3 dari SLB Negeri Balikpapan. Kemudian Kategori Disabilitas Mental Intelektual (Ganda) oleh Aryo Penembahan Notowijoyo meraih terbaik 6 dari Pelita Bunda Samarinda,” katanya.

Dialog ini juga menghadirkan Ketua Persatuan Orang Tua Cerebral Palsy Kaltim Yanti, dan Persatuan Penyadang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kaltim Ani Juwairiyah. (DKP3AKaltim/rdg)

Orang Tua Harus Dampingi Anak Di Era Digital

Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA RI, Nahar mengatakan.maraknya penggunaan telepon genggam (gawai) pada anak-anak saat ini menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan, mengingat banyaknya bahaya yang mengancam anak sebagai generasi penerus bangsa. Anak rentan menjadi sasaran cyber bullying, pelanggaran privasi, terpapar pornografi, radikalisme, dan yang lebih parah, anak menjadi incaran para predator anak (pedofil), belum lagi dampak buruk dari segi kesehatan pada anak.

“Melihat kondisi ini, sudah seharusnya kita sebagai orangtua memberi perhatian dan bersama-sama melakukan pencegahan dengan mendampingi anak dan memberi perlindungan bagi mereka di era digital ini. Orangtua harus bisa mendidik anak sesuai dengan perkembangan zaman, mempersiapkan anak untuk menghadapi era digital yang penuh manfaat sekaligus tantangan,” tegas Nahar.

Banyaknya anak yang terjerumus dalam bahaya penggunaan gawai karena adanya kesenjangan kemampuan teknologi antara orangtua dan anak. Orangtua harus mempunyai literasi digital yang baik  dan memahami aturan di dunia digital, mampu memilah sekaligus menyampaikan konten positif dan mencegah konten negatif pada anak.

Pelatihan parenting di era digital ini, sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan para orangtua, pendidik juga masyarakat dalam mendampingi dan melindungi anak dalam menggunakan teknologi seperti gawai dengan baik dan aman.

Nahar menjelaskan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sudah membuat berbagai kebijakan berupa pedoman, peraturan, serta menyelenggarakan beberapa kegiatan sebagai model yang diharapkan secara efektif bisa direplikasikan di seluruh wilayah Indonesia. Baik oleh kementerian, daerah atau lembaga masyarakat yang bergerak di bidang pencegahan terhadap anak yang teradiksi bahaya internet. Serta menjadi model yang bisa diterapkan dan dimanfaatkan bagi kebutuhan anak dan keluarga menghadapi situasi di era digital ini.

Pakar Perlindungan Anak Yayasan Sejiwa, Diena Haryana menuturkan bahwa dalam mendampingi anak di era digital, harus dilakukan dengan cara asyik dan bijak. Orangtua harus melakukan pendekatan kepada anak, mengajaknya untuk beraktivitas menikmati momen bersama, melakukan hal yang ia sukai di dunia nyata agar anak tidak larut dan berlebihan menggunakan internet.

“Bentuklah anak menjadi netizen unggul yang bertanggungjawab yaitu cerdas, berkarakter, dan mandiri. Membentuk anak tangguh yang mampu hidup di dunia nyata dengan life skills, mampu menggunakan teknologi digital untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sadar untuk mengasah keterampilan dalam bergaul (social skills) sehingga pergaulannya dengan keluarga, teman-teman serta masyarakat di lingkungannya tetap terjaga baik. Serta menjadi anak yang aktif, ceria, ramah dan ‘up to date’. Melakukan semua tanggung jawab dan kewajibannya dengan disiplin,” jelas Diena.

Orangtua juga harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan anak secara asertif dan terkoneksi dalam berbagai situasi terkait dunia digital, seperti memuji, menegur, bernegosiasi, dan lain-lain.

“Kita harus menciptakan suasana ramah, hangat dan penuh cinta bersama anak agar ia tidak mencari kegiatan di luar rumah yang ancamannya lebih besar. Selain itu, sebagai orangtua kita harus bisa menjadi suri tauladan bagi anak yang memiliki integritas tinggi, menjadi ‘top of mind’ (idola) bagi anak, konsisten, kompeten (mampu), dan hadir untuk mendampingi anak,” ujar Diena.

Ia juga mengajak para orangtua untuk menjadi sosok idola bagi anak, yaitu orangtua yang funky, asyik, bergaul, mampu dekat dengan anak serta teman-temannya. “Kita harus hadir dalam hidup anak, mau mendengarkan mereka dengan antusias, menjadi teman diskusi yang asyik. Terapkan nilai-nilai luhur pada anak seperti jujur, menghargai, ikhlas peduli, empati, bijak, cinta/sayang pada anak,” terang Diena.

Beberapa hal yang harus dipahami orangtua dan pendidik, yaitu mengetahui di usia berapa saja anak boleh menggunakan gawai dan internet; mengetahui password medsos anak-anak kita, membuat kesepakatan agar anak tidak membawa gawai ke tempat tidur dan meja makan, berteman dengan anak di media sosial tetapi jangan mengontrolnya, masuk di dunia online bersama anak, saat bertemu orang lain anak harus berbicara dengan sekelilingnya, bukan asyik main gawai, dan yang terakhir orangtua harus memasang  fitur “Parental Control” pada gawai anak. (HumasKPPPA/DKP3AKaltim/rdg)

Pemprov Gelar Pembinaan Penggunaan Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar

Samarinda — Pemprov Kaltim melalui Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Prov Kaltim menggelar Pembinaan Dalam Rangka Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar di Ruang Publik dan Badan Publik, berlangsung di Kantor Gubernur Kaltim, Kamis (1/8/2019).

Plt Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Prov Kaltim M Saduddin mengatakan kegiatan dilaksanakan bertujuan meningkatkan pemahaman Bahasa Indonesia yang baik dan benar dikalangan aparatur sipil negara (ASN).

“Ini sebagai upaya memperbaiki penggunaan Bahasa Indonesia dengan melampirkan penulisan bahasa Indonesia yang baku sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku guna terwujudnya penggunaan yang baik dan benar,” katanya.

Ia menilai, secara umum penggunaan Bahasa Indonesia ASN di Kaltim perlu mendapat perhatian karena belum memenuhi kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kepala Kantor Bahasa Kaltim, Anang Santosa, menyampaikan dalam interaksi di ruang publik ada tiga bahasa yang sering digunakan masyarakat, yakni Indonesia, daerah, dan asing. Seringkali pencampuradukan penggunaannya berakibat mendominasinya penggunaan salah satu bahasa diantaranya. Dan seringkali Bahasa Indonesia terpinggirkan.

“Perlu disadari bahwa pencampuradukan penggunaan Bahasa, secara tidak langsung dapat menggerus penggunaan Bahasa Indonesia di negaranya sendiri” akunya.

Ia menyebutkan saat ini banyak yang menggunakan istilah asing dalam ruang publik untuk penyebutan informasi dan istilah kegiatan.

Sebagai contoh penyebutan in dan exit pada papan informasi gedung yang lebih tepat menggunakan bahasa masuk dan keluar, maupun car free day yang lebih baik menggunakan hari bebas kendaraan bermotor.

“Fenomena menggunakan bahasa asing yang dianggap sabagian orang keren justru menggerus Bahasa Indonesia. Dan ini harus disadari melanggar UU Nomor 24 tahun 2009 Tentang Kebahasaan, khususnya  pasal 26-39 yang mengamanatkan Bahasa Indonesia wajib digunakan di mana saja,” ujarnya.

Diantaranya diamanatkan Bahasa Indonesia wajib digunakan pada forum nasional dan internasional, nama bangunan, nama gedung, apartemen, permukiman, merek dagang, lembaga pustaka, daftar informasi obat dan makanan.

Ia berharap pemda menjadi contoh menerapan penggunaan Bahasa Indonesia baik dan benar pada penulisan nama kantor, nama ruangan, nama jabatan dan alat informasi.

“Ada empat tonggak dalam mewujudkan pengutamaan bahasa negara, yakni pemantauan, membudayakan dan sosialisasi penggunaannya, penindakan, dan pemberiaan penghargaan,” katanya.

Kedepan dia mengaku akan terus mensosialisasikan penggunaan Bahasa Indonesia dan sastra. Tentunya hal ini perlu dukungan pemda dalam merealisasikannya.

“Saya membayangkan akan terbit kebijakan daerah tentabg kebahasan dan kesastraan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” harap Anang.

Sementara Peneliti Kantor Bahasa Kaltim, Abd Rahman Yunus menjelaskan penggunaan bahasa yang baik jika dilakukan sesuai situasi dan kondisi kebahasaan.

“Tidak semua berbahasa baku. Sebagai contoh konunikasi di rumah, cukup menggunakan bahasa daerah. Lain hal jika pada pertemuan resmi, wajib menggunanakan bahasa baku. Sebab kita mengutamakan Bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing,” katanya.

Sedangkan penggunaan bahasa yang benar harus sesuai kaidah kebahasaan. Jika dulu dikenal Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), sekarang menggacu Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Ia menjelaskan tata cara penulisan surat resmi. Mulai dari penulisan kop surat, penggunaan tanda baca, hingga penggunaan kata yang efektif dan efisien.

Kegiatan diikuti sebanyak 100 orang terdiri dari perwakilan perangkat daerah di lingkungan Pemprov Kaltim dan kabupaten/kota se Kaltim. (DKP3AKaltim/rdg)