Kemen PPPA Buka Seleksi Wakil Indonesia untuk Hak Anak di Komisi ASEAN

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) membuka seleksi untuk posisi Wakil Indonesia di Komisi ASEAN untuk promosi dan perlindungan hak dan anak periode 2021-2024.

Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu dalam keterangannya, mengatakan bahwa pemilihan Wakil Indonesia untuk Hak Anak di ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Right of Women and Children (ACWC) atau Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak Periode 2021-2024, pemerintah membuka peluang bagi para pegiat dan praktisi advokasi hak anak di Indonesia untuk mengikuti proses seleksi Wakil Indonesia untuk Hak Anak di ACWC.

“Wakil Indonesia di ACWC berkiprah atas kapasitas individu dan kepadanya tidak diberikan gaji atau insentif bulanan,” kata Pribudiarta di Jakarta (20/5/2021).

Meski demikian, Wakil ACWC akan difasilitasi untuk mengikuti berbagai pertemuan yang telah menjadi agenda tahunan ACWC. ACWC merupakan badan konsultatif bagian dari organisasi ASEAN yang berdiri sejak 2010.

ACWC mengemban mandat untuk memajukan hak-hak perempuan dan anak di ASEAN berdasarkan Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan Konvensi Hak Anak. Tiap negara anggota ASEAN diharuskan untuk menunjuk dua wakil pada ACWC yang terdiri dari satu wakil untuk Hak Perempuan dan satu wakil untuk Hak Anak dengan masa tugas tiga tahun untuk setiap wakil.

Pribudiarta mengatakan, kriteria kandidat untuk wakil Indonesia di ACWC bidang hak anak meliputi 11 hal yakni WNI yang memiliki integritas dan moralitas tinggi. Tidak sedang dan/atau pernah terlibat dalam masalah hukum atau terlibat/terindikasi sebagai pelaku kekerasan baik domestik atau publik. Memiliki kemampuan bahasa Inggris aktif secara lisan maupun tulisan. Memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang berbagai legitimasi, instrumen, kebijakan dan prioritas nasional, serta memahami mekanisme terkait pemajuan dan perlindungan hak anak di tingkat nasional, regional, ASEAN maupun global termasuk memahami Konvensi Hak-hak Anak (CRC), dan dokumen turunannya.

Selain itu, peserta yang mendaftarkan diri juga harus memiliki komitmen tinggi untuk memperjuangkan pemajuan dan perlindungan hak anak di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Memiliki pengalaman langsung dalam advokasi hak-hak anak minimal 3 tahun di tingkat nasional. Memiliki keterampilan menyusun rencana aksi dan mengimplementasikannya. Pengalaman di tingkat regional dan internasional akan menjadi nilai tambah bagi para kandidat.

Kriteria berikutnya memiliki kemampuan komunikasi, kepemimpinan, interaksi dan diplomasi yang kuat, persuasif, konsultatif, santun, dan tegas dalam melakukan advokasi pemenuhan dan perlindungan hak anak di forum-forum nasional, regional, maupun internasional. Kandidat juga diharapkan memenuhi kriteria memiliki kemampuan, wawasan, dan analisis yang baik dalam merumuskan dan menelaah dokumen-dokumen terkait hak-hak anak.

Kandidat diharapkan memiliki aksesibilitas tinggi serta memiliki jejaring yang kuat dengan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu pemenuhan dan perlindungan hak anak. Selanjutnya, para kandidat wakil ACWC juga diharapkan memiliki komitmen nasionalisme yang kuat dalam mengadvokasi kepentingan dan agenda nasional ke dalam program dan kegiatan ACWC dan ASEAN secara umum. “Dan bersedia untuk menandatangani pakta integritas,” tambahnya.

Lamaran dikirimkan kepada Kemen PPPA dengan melampirkan sejumlah persyaratan diantaranya Curriculum Vitae, tanda pengenal, surat pernyataan tidak pernah melakukan dan terlibat tindakan pidana, pas foto, dan karya ilmiah dengan tema pemenuhan hak anak.

Para peserta juga diminta untuk menyertakan surat referensi dari minimal 1 lembaga pemerintah dan 1 lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang hak anak tingkat nasional dan khusus bagi kandidat yang berstatus ASN harus menyertakan surat izin dari pimpinan lembaga.

“Kelengkapan administrasi diterima paling lambat 2 Juni 2021 melalui email kerjasama@kemenpppa.go.id dengan cc irma.sanusi@yahoo.com,” katanya.

Untuk informasi lebih lanjut dapat mengakses akun resmi media sosial Instagram Kemen PPA @kemenpppa; Twitter Kemen PPPA @kpp_pa; dan Facebook Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak @kppdanpa.

Pelaku Usaha Perempuan Didorong Manfaatkan Banpres Usaha Mikro

Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengusulkan agar lebih banyak perempuan mendapatkan dan menjadi penerima Bantuan Presiden Usaha Mikro (BPUM). Seiring dengan itu, perempuan yang menjadi pelaku usaha mikro dan kecil didorong untuk memanfaatkan dengan baik BPUM dalam upaya pemulihan ekonomi nasional.

Asdep Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi, Eni Widiyanti, mengatakan Kemen PPPA telah berkoordinasi dan mengusulkan data pelaku usaha perempuan untuk menjadi penerima BPUM pada 2021.

“Kami telah mengajukan data pelaku usaha perempuan yang merupakan binaan Dinas PPPA seluruh Indonesia sebagai usulan penerima program BPUM sejak awal program tersebut diluncurkan pertengahan tahun lalu,” katanya.

Tercatat, kata Eni, ada ribuan pelaku usaha perempuan binaan PEKKA, ASPPUK, dan Kapal Perempuan yang diusulkan untuk menerima. Dan jumlah itu belum termasuk UMKM perempuan binaan Dinas PPPA Provinsi Riau, Lampung, Sulawesi Selatan, dan DIY.

“Ada 3.756 pelaku usaha perempuan yang kemudian disetujui menjadi penerima BPUM,” kata Eni. Ia berharap mereka bisa mengoptimalkan bantuan tersebut untuk meningkatkan skala usahanya sehingga bisa naik kelas.

Selain pelaku UMKM perempuan, Eni menambahkan, Kemen PPPA juga mengusulkan agar BPUM bagi Perempuan Penyintas Bencana yang telah diberi Pelatihan oleh Kemen PPPA. Perempuan korban bencana diharapkan bisa kembali bangkit dan mandiri secara ekonomi melalui program Bantuan Presiden tersebut.

“Akhir tahun lalu kami mengusulkan UMKM perempuan binaan Kemen PPPA bersama BRI dan IWAPI, sebelumnya juga kami usulkan UMKM perempuan binaan Kemen PPPA bersama Dinas Provinsi dan Kabupaten Luwu Utara yang menjadi penyintas bencana,” katanya.

Secara total sudah sebanyak 7.655 nama pelaku usaha perempuan yang diusulkan untuk menerima BPUM oleh Kemen PPPA namun baru sekitar 51 persen yang dianggap memenuhi syarat dan menjadi penerima bantuan tersebut.

Eni menilai signifikannya arti pemberian BPUM bagi pelaku usaha perempuan mengingat besarnya peran perempuan di sektor UMKM. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2014-2018 tercatat sebanyak 99% dari total unit usaha ekonomi adalah UMKM dengan 50% di antaranya dikelola atau dimiliki oleh perempuan.

Dan berdasarkan Sensus Ekonomi 2016 tercatat perempuan yang bekerja di sektor ekonomi kreatif sebanyak 9,4 juta dengan perbandingan perempuan 55% dan laki-laki 45%. Perempuan banyak bergerak pada 3 sektor yakni fashion, kuliner, dan kriya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika lebih banyak perempuan diharapkan bisa menjadi penerima program BPUM. (birohukumdanhumaskemenpppa)

DKP3A Kaltim Deklarasi Rencana Aksi Keberlanjutan Ojol Berlian

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita menyatakan pihaknya siap melanjutkan program kegiatan Ojek Online Bersama Lindungi Anak (Ojol Berlian) sebagai mekanisme yang dibnagun untuk melakukan perlindungan kepada perempuan, anak dan penyandang disabilitas terhadap kekerasan.

Rencana aksi keberlanjutan kegiatan Ojol Berlian diantaranya, sosialisasi perlindungan dan pemenuhan hak anak pada 8 Manajemen Aplikator, dan menambah manajemen aplikator lain serta akan dilakukan di Kota Samarinda, Balikpapan dan  Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pembuatan website dan aplikasi khusus Ojol Berlian yang terhubung dengan kepolisian dan Dinas Perhubungan. Selain itu, menyiapkan call center aduan yang terkoneksi dengan UPTD PPA kabupaten/kota lokus kegiatan dan pembuatan film dokumentasi perjalanan Ojol Berlian;

“Selanjutnya pengembangan Pusat Informasi dan Edukasi di tiga kabupaten/kota. Pelatihan bagi anggota Ojol Berlian berupa pelatihan jurnalistik, UMKM dan penjualan online,” ujar Soraya pada Rapat Persiapan Kegiatan Ojol Berlian, berlangsung di Ruang Rapat Kartini. Selasa (4/5/2021).

Soraya menambahkan, pihaknya juga akan melakukan penyedian mobil dan motor edukasi serta mobil operasional bagi Ojol Berlian.

“Kita juga akan memberikan penghargaan melalui Penganugerahan Ojol Berlian Award dan pemberian bantuan pendidikan bagi anggota, keluarga Ojol Berlian yang kurang mampu, berprestasi, dan yang sedang menempuh pendidikan,” imbuhnya.

Diketahui Ojol berlian masuk dalam TOP 45 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) tahun 2020. Penerimaan Anugerah KIPP di terima langsung oleh Gubernur Kaltim di Jakarta pada 25 November 2020 lalu. (dkp3akaltim/rdg)

Praktik Baik Forum PUSPA Sebagai Penggerak Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga membuka secara resmi Rapat Koordinasi dan Evaluasi Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) diikuti oleh kementerian/lembaga terkait, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tingkat provinsi serta Forum PUSPA dari 34 Provinsi, diselenggarakan secara hybrid, Selasa (27/4/2021).

Menteri Bintang menuturkan upaya mengurai problematika dan mencari solusi untuk memajukan dan melindungi perempuan dan anak tidak akan optimal tanpa adanya sinergi yang kuat dari kelima unsur pentahelix. Untuk mengoptimalkan kebijakan yang sudah ada, peran akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media, sangatlah dibutuhkan dalam memberi dukungan melalui diseminasi informasi, mengawal implementasi, melakukan berbagai program, hingga memberikan evaluasi dan masukan.

“Saya mohon dukungan kepada Forum PUSPA yang berasal dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi untuk dapat membantu kami dalam kerja-kerja pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, khususnya dalam lima prioritas arahan presiden serta percepatan penanganan dampak Covid-19 serta bencana-bencana lainnya. Besar harapan kami kepada Forum PUSPA yang telah terbentuk di 33 provinsi dan di beberapa kabupaten/kota agar dapat bekerja sama dengan Dinas PPPA di daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan hingga tahap evaluasi. Kerja sinergi ini dilakukan semata-mata agar dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat luas akan semakin masif pula khususnya untuk perempuan dan anak,” tutur Menteri Bintang.

Kekayaan intelektual, potensi, dan semangat yang dimiliki Forum PUSPA adalah kekayaan bangsa yang dapat mempercepat terwujudnya kondisi perempuan dan anak yang sejahtera, mandiri, dan berkualitas.

“Saya yakin dan optimis, jika kita mau bahu membahu, bergandeng tangan, menyamakan persepsi, dan menyatukan tujuan maka bersama-sama kita dapat menjadi bagian dari solusi dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada. Mari kita berikan sumbangsih terbaik bagi Indonesia melalui pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,” tambah Menteri Bintang.

Sementara itu, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kemen PPPA, Vennetia R Danes menegaskan Pemerintah Kemen PPPA mengajak masyarakat luas untuk bersama-sama bersinergi mewujudkan kesejahteraan perempuan dan anak di Indonesia. Hal ini diwujudkan melalui menyelenggarakan beberapa kali pertemuan nasional Forum Puspa.

Sejak 2017, Kemen PPPA membentuk Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) yang melibatkan organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi (akademisi), lembaga profesi, dunia usaha dan media.

“Melihat kondisi saat ini, kami menyadari betul bahwa persoalan perempuan dan anak merupakan persoalan yang kompleks ditambah lagi kami harus memastikan program unggulan yang diamanatkan Presiden kepada Kemen PPPA dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya. Maka dari itu, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri menyelesaikan berbagai kesenjangan yang dialami kaum perempuan Indonesia dan permasalahan anak, dibutuhkan partisipasi masyarakat,” ujar Vennetia.
Vennetia menambahkan partisipasi masyarakat adalah bagian penting dari kebijakan dan strategi pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kualitas kelembagaan PPPA dan bagian dari persyaratan pelaksanaan kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan PPPA.

“Pertemuan nasional yang dilaksanakan secara hybrid pada hari ini akan menghasilkan rekomendasi menindaklanjuti evaluasi pelaksanaan PUSPA tahun 2018 yang menunjukkan bahwa pelaksanaan yang baik sebesar 43 persen, belum 38 persen dan tidak 19 persen,” ujarnya.

Selain itu, memerlukan pendampingan dari Kemen PPPA maupun Dinas PPPA provinsi dan kabupaten/kota; perlunya pelembagaan PUSPA baik di tingkat pusat maupun daerah, perlunya database lembaga masyarakat, perlunya peningkatan kerjasama yang optimal dan harmonis antara Forum PUSPA tidak hanya dengan pemerintah daerah tetapi juga antar kementerian untuk kesejahteraan perempuan dan anak di Indonesia.

Adapun tujuan penyelenggaraan kegiatan Rapat Koordinasi dan Evaluasi Forum PUSPA Tahun 2021 adalah untuk meningkatkan koordinasi dan sinergi Forum PUSPA dengan OPD dan lembaga terkait yang ada di daerah. (birohukumdanhumaskemenpppa)

Tingkatkan Cakupan dan Kualitas Layanan Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK)

Jakarta — Pemerintah berkomitmen melindungi perempuan dan anak yang masuk dalam perlindungan khusus yaitu para korban kekerasan, eksploitasi, tindak pidana perdagangan orang dan perlakuan salah lainnya. Komitmen ini diwujudkan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2020 tentang Kemen PPPA yang menekankan penambahan tugas dan fungsi Kemen PPPA dalam penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Demi mendukung penanganan korban dan kasus-kasus terkait perempuan dan anak di daerah lebih optimal, dibutuhkan sinergi dan dukungan koordinasi terpadu antara berbagai pihak di Pusat dan Daerah.

“Salah satunya, melalui pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan penyaluran Dana Alokasi Khusus Non Fisik Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak (DAK-NF-PPPA),” ujar Sekretaris Kemen PPPA Pribudiarta Nur Sitepu.

Pembentukan UPTD PPA bertujuan untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional di wilayah kerjanya dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami masalah kekerasan, diskriminasi dan masalah lainnya. Meski UPTD PPA telah terbentuk di berbagai daerah, Kemen PPPA juga mengapresiasi inisiatif masyarakat yang turut berkontribusi terhadap upaya pemenuhan hak perempuan dan anak termasuk dalam memberikan layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan.

Pribudirta menambahkan Pemerintah telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus Non Fisik Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak (DAK-NF-PPPA) untuk memperkuat layanan tersebut. Dana Alokasi Khusus Nonfisik adalah dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus nonfisik yang merupakan urusan daerah.

Dalam rangka pelaksanaan Dana Pelayanan PPA ini, Kemen PPPA menyusun petunjuk teknis yang dikuatkan dan dalam regulasi operasional sebagai pedoman dalam penggunaan anggaran yang berisi penjelasan perincian kegiatan pemanfaatan Dana Pelayanan PPA.

“Tujuan DAK-NF-PPPA untuk membantu daerah mencapai prioritas nasional, menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta meningkatkan layanan bagi korban kekerasan. Melalui DAK-NF-PPPA diharapkan dapat terbentuk koordinasi yang lebih intensif antara Pusat dan Daerah dalam upaya menjamin perlindungan bagi perempuan dan anak,” jelas Pribudiarta.

DAK-NF-PPPA dilaksanakan dalam bentuk bantuan operasional pelayanan perempuan dan anak korban kekerasan serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Bantuan itu termasuk pendampingan selama proses hukum di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Selanjutnya bantuan operasional pencegahan melalui pembiayaan kegiatan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk TPPO, dan bantuan operasional penguatan UPTD PPA di provinsi, kabupaten dan kota yang menjadi sasaran DAK.

“Dengan DAK-NF-PPPA, kabupaten/kota dapat memberikan layanan bagi korban kekerasan termasuk TPPO dan provinsi dapat memberikan layanan rujukan lanjutan yang memerlukan koordinasi tingkat daerah provinsi dan lintas daerah kab/kota. Harapannya, cakupan dan kualitas layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan termasuk TPPO di daerah menjadi optimal,” tambah Pribudiarta.

Tahun 2021 ini merupakan tahun pertama pengalokasian DAK-NF-PPPA yang disalurkan kepada 34 provinsi dan 216 kabupaten/kota. Pribudiarta menuturkan penyaluran DAK-NF-PPPA ke daerah didasarkan pada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, termasuk kesiapan daerah tersebut untuk melaksanakannya. Salah satu kriteria/variabel untuk menentukan daerah mendapatkan DAK tersebut harus ada laporan dan catatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA).

Kemen PPPA juga telah menetapkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik Dana Pelayanan Perlindungan Perempuan Dan Anak Tahun Anggaran 2021 yang menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kab/Kota penerima DAK Nonfisik PPPA.

“Regulasi ini disusun dengan tujuan agar Pemerintah Daerah dapat mengelola Dana Pelayanan PPA (DAK) ini dengan akuntabel sehingga dapat mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional, yaitu menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak serta meningkatkan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan termasuk TPPO,” tambah Pribdiarta.

Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas penggunaan DAK-NF-PPPA, tentunya perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan pelaksanaan kegiatan telah dilakukan secara efektif dan efisien serta pencapaian output dan outcome yang dihasilkan sesuai dengan tujuan pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

“Pengalokasian DAK-NF-PPPA, tentunya masih ada beberapa hal yang belum ideal dalam pengaturannya. Saran dan masukan dari berbagai pihak tentunya sangat diharapkan untuk upaya perbaikan ke depan,” tutur Pribudiarta. (birohukumdanhumaskpppa)

Menteri Bintang Resmikan Ruang Sekretariat Forum Anak Nasional

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga telah meresmikan ruang Sekretariat Forum Anak Nasional (FAN) pada Jumat (23/4/2021). Ruang Sekretariat FAN ini terletak di lantai 6 gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Nantinya ruangan ini diharapkan dapat mempermudah koordinasi antara Forum Anak dengan Kemen PPPA maupun lembaga lainnya.
“Ruang sekretariat ini sudah disiapkan dari Kemen PPPA, tentu harus dimanfaatkan dan difungsikan dengan sebaik-baiknya. Jangan hanya hari ini diresmikan, kemudian besok menjadi ruangan kosong. Kami memaklumi karena kalian juga harus sekolah dan lain sebagainya, ada prioritas yang harus kalian lakukan, tapi diatur waktunya sebaik mungkin untuk pemanfaatan daripada ruang sekretariat ini,” ujar Menteri Bintang.

Lebih lanjut, Menteri Bintang berharap sinergi dan kolaborasi yang sudah terjalin antara Kemen PPPA dan FAN dapat lebih ditingkatkan lagi.

“Nanti lebih intens dibicarakan mengenai apa langkah-langkah yang bisa dibantu oleh FAN. Kami ada lima isu yang harus dituntaskan tahun 2024, kalian dengan peran 2P (pelopor dan pelapor) akan mempunyai peranan yang sangat bermanfaat untuk me-support Kemen PPPA,” tutur Menteri Bintang.

Dalam dialognya dengan anak-anak yang hadir secara daring, Menteri Bintang mendorong agar Forum Anak Daerah (FAD) yang belum memiliki ruang sekretariat dapat melakukan komunikasi intens dengan FAN. Nantinya FAN dapat berkoordinasi dengan Kemen PPPA untuk memfasilitasi daerah yang belum memiliki ruang sekretariat.

“Kemen PPPA bukan menjanjikan, tetapi akan memfasilitasi dan mengkomunikasikan dengan dinas atau pimpinan daerah karena kewenangannya ada di pimpinan daerah. Kemen PPPA sangat paham bahwa anak-anak luar biasa melalui partisipasinya dengan peran 2P,” ujar Menteri Bintang.

Sementara itu, Koordinator Sekretariat FAN 2019-2021, Kayyisah mengapresiasi Kemen PPPA yang telah mengupayakan pengadaan serta peresmian ruang Sekretariat FAN. Ia pun berharap dengan adanya ruang sekretariat tersebut, para anggota FAN maupun FAD bisa berkarya dan mengelaborasikan karya dengan lebih maksimal.

“Pada akhirnya kita sudah punya rumah yang bisa menjadi ruang singgah bagi seluruh anak Indonesia. Besar harapan kami, ruang sekretariat yang merupakan milik bersama ini dapat tetap abadi dan selalu bisa kita jaga bersama. Semoga setelah adanya ruang sekretariat ini, FAN tidak hanya dilihat sebagai organisasi biasa, tetapi di sini kita bisa membuktikan dan melihat manifestasi dari hadirnya anak-anak yang ingin berkontribusi bagi negara,” ungkap Kayyisah.

Ketua FAN 2019-2021, Tristania Faisa Adam mengatakan perlu adanya pengelolaan yang terstruktur agar ruang Sekretariat FAN dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. “Diharapkan harus lebih jelas siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana jadwalnya dalam mengatur ruangan ini. Agar ruangan yang telah difasilitasi oleh Kemen PPPA untuk FAN tidak menjadi sia-sia,” tuturnya.

Ruang Sekretariat FAN di lantai 6 Gedung Kemen PPPA ini mempunyai jam operasional yang fleksibel, sesuai dengan kebutuhan anggota. Hal ini menyadari bahwa anggota Sekretariat FAN dan FAN masih bersekolah dan sebagian kuliah, sehingga tidak selalu dapat mengikuti jam kerja kantor Kemen PPPA. Oleh karena itu, selain selama jam kerja, ruang Sekretariat FAN juga dapat digunakan di sore hari hingga petang, atau bahkan hari Sabtu, Minggu, dan hari libur lainnya, asalkan dikomunikasikan sebelumnya kepada petugas.

Diharapkan FAD juga mendapatkan fasilitas untuk tempat mereka berkarya dan menjalankan perannya sebagai Pelopor dan Pelapor, serta peran melalui Partisisipasi Anak dalam Perencanaan Pembangunan. (birohukumdanhumaskpppa)

Menteri PPPA Tegaskan Pentingnya ASI Eksklusif untuk Tekan Angka Stunting

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menekankan pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif untuk menekan angka stunting di Indonesia. Pasalnya, balita yang tidak diberikan ASI eksklusif memiliki risiko stunting sebesar 4,8 kali. Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, maupun stimulasi yang tak memadai.

“Karena dampaknya adalah dampak berkepanjangan, penurunan angka stunting telah dinyatakan sebagai program prioritas nasional. Target penurunan angka stunting pada tahun 2024 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah 14 persen,” ujar Menteri Bintang dalam Konvensi Perempuan Indonesia yang diselenggarakan secara virtual (21/4/2021).

Lebih lanjut, Menteri Bintang menyebutkan perlu adanya pemberian edukasi yang tepat mengenai makanan pendamping ASI (MPASI) serta adanya pengarusutamaan gender di dalam keluarga.

“Untuk mencapai poin ASI eksklusif dan MPASI yang saya sebutkan tadi, tentunya dibutuhkan dukungan yang setara dari ayah dan ibu. Konstruksi sosial yang berkembang di dalam masyarakat sering kali hanya membebankan tugas pengasuhan pada ibu saja. Padahal tugas pengasuhan adalah tugas yang setara antara ayah dan ibu,” tutur Menteri Bintang.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pun berupaya mengatasi isu pengasuhan di dalam keluarga, termasuk upaya pencegahan stunting, diantaranya dengan mengembangkan model pencegahan stunting pada anak balita yang disebut dengan Kampung Anak Sejahtera, memperkuat jaringan dengan forum anak sebagai wadah aspirasi serta sebagai pelopor dan pelapor dalam pencegahan stunting, serta mengembangkan jaringan kelompok Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA).

Menteri Bintang pun mengharapkan adanya sinergi dari seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, lembaga, dunia usaha, hingga masyarakat untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak. “Marilah kita bersinergi dan bergandengan tangan demi pemenuhan gizi yang tepat, serta pemenuhan hak untuk menekan angka stunting di Indonesia. Kita semua harus bersama-sama menyatukan kekuatan untuk menjamin anak mendapatkan pengasuhan yang berkualitas, terutama bagi pengasuh utama dalam keluarga, yaitu ayah dan ibu harus dapat membentuk sistem yang kuat dan saling mendukung,” harap Menteri Bintang.

Sementara itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menyebutkan bahwa penyebab stunting diantaranya adalah asupan gizi yang tidak mencukupi secara terus menerus serta seringnya anak terkena penyakit. Selain sepakat dengan Menteri Bintang mengenai pentingnya ASI eksklusif, Hasto juga mengingatkan untuk tidak melewatkan imunisasi pada anak.

Selain itu, Hasto juga mengatakan bahwa kesehatan ibu dan 1000 hari kehidupan pertama anak, yaitu 40 minggu di dalam kandungan dan 24 bulan setelah lahir merupakan hal mutlak untuk dijaga. “Mari kita manfaatkan kesempatan itu untuk mencetak generasi yang unggul untuk Indonesia Maju. Ibu yang sehat dan tidak anemia akan melahirkan generasi yang sehat dan hebat untuk Indonesia Maju. Perempuan setiap bulan pasti keluar darah 200 cc karena menstruasi, kalau dia tidak mengganti darahnya dengan gizi yang cukup dan seimbang, maka banyak yang anemia. Ini sumber stunting,” tutup Hasto. (BiroHukumdanHumasKemenPPPA)

Lembaga Agama Dukung Cegah Perkawinan Anak Mulai dari Tempat Ibadah

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus melakukan upaya advokasi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak bersama stakeholders, mengingat perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak. Salah satunya dengan menyelenggarakan Diskusi Interaktif Pencegahan Perkawinan Anak dalam Pandangan Lintas Agama yang dilakukan secara virtual.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Agustina Erni menuturkan perkawinan anak termasuk pelanggaran terhadap hak dasar yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA), terutama anak perempuan, karena anak perempuan merupakan kelompok anak yang lebih rentan terhadap perkawinan anak.

“Presiden telah memberikan arahan kepada Kemen PPPA untuk menangani permasalahan perkawinan anak yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Secara tegas RPJMN menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024. Perkawinan anak pun menjadi Prioritas Nasional yang dimandatkan kepada kami,” ujar Erni.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak, Erni mengatakan salah satu faktornya adalah dari sisi agama.

“Agama masih sering dijadikan legitimimasi atau alat pembenaran atas praktik perkawinan anak, dengan dalih menghindari perzinahan, faktor ekonomi si anak, perjodohan, dan kehamilan yang tidak diinginkan,” ujar Erni.

Hal ini kemudian menjadi latar belakang perlu keterlibatan para pemuka agama yang ada Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu) untuk berperan aktif bersama dengan umatnya dalam Pencegahan perkawinan anak dan menindaklanjuti kebijakan, isu perkawinan anak dan peran aktif keterlibatan pemuka agama dan jajarannya dalam melakukan pencegahan perkawinan anak.

“Melalui dialog hari ini, kami yakin akan ada perspektif baru yang lebih progresif dan berpihak dalam perlindungan anak khususnya menurunkan angka perkawinan anak, demi mewujudkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing ke depan,” imbuh Erni.

Ketua Bidang Perempuan Remaja dan Keluarga MUI, Prof. Amany Lubis mengatakan gambaran umum tentang pernikahan usia anak di Indonesia dengan segala dampaknya merupakan tantangan dan PR bersama bagi pemerintah dan masyarakat, tidak terkecuali para ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang menjadi rujukan umat dalam berbagai permasalahan. Sinergi antara ulama dan umara dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan yang belum istitho’ah melalui Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia sangatlah penting dan strategis.

Ulama sangat perlu berperan dalam ikhtiar pendewasaan usia perkawinan melalui pendidikan dan dakwah kepada masyarakat, khususnya orang tua dan anak-anak yang rentan menjadi korban perkawinan usia anak lantaran berbagai sebab. Sebagai penerus para nabi, dalam melakukan pendidikan dan dakwah para ulama -laki-laki dan perempuan- perlu mengenali penyebab dan akar masalah dari masalah perkawinan usia anak ini, sehingga solusi pencegahan dilakukan sesuai dengan masalahnya.

“Sekedar contoh, perkawinan usia anak yang disebabkan oleh pergaulan bebas tentu perlu dicegah dengan penanaman nilai-nilai agama, pengendalian diri dan akhlak mulia yang diterapkan dalam kehidupan di keluarga, lembaga pendidikan, maupun masyarakat. Perkawinan usia anak yang disebabkan oleh kemiskinan keluarga perlu dicegah dengan edukasi bagi orang tua untuk tidak menjadikan kemiskinan sebagai alasan mengawinkan anak karena itu justru berpotensi melestarikan kemiskinan dan menurunkan kualitas genarasi,” ujar Amany.

Dari lembaga agama katholik, Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI, RD Yoh Aristanto HS menuturkan setiap agama atau lembaga agama mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai perkawinan dan batas usia untuk menikah, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu kebaikan dari pasangan yang menikah dan keluarga yang dibangun.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pengurus Pusat MATAKIN, XS Budi S Tanuwibowo mengungkapkan dalam agama khonghucu pernikahan adalah pangkal peradaban manusia sehingga pernikahan dilakukan dilakukan bagi pasangan yang telah dewasa/siap karena akan mempengaruhi generasi yang dihasilkan, tentu anak yang dihasilkan dari orang tua yang memang telah dewasa/siap secara fisik, mental bahkan ekonomi akan lebih mampu mengatasi tantangan zaman yang selalu berubah.

Lebih lanjut, Biro Perempuan dan Anak Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Ridayani mengatakan perlindungan anak merupakan bagian dari Tritugas gereja dan melekat pada jati dirinya. Selain itu, gereja juga berfungsi untuk mengoptimalkan perlindungan anak melalui pelayanan gereja sebagai wujud kontribusi menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.

Senada dengan seluruh narasumber sebelumnya, Ketua Wanita WALUBI Jakarta, Wie Lie menuturkan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.

penyadaran masyarakat Pencegahan Perkawinan anak, pungkas Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan. (BiroHukumdanHumasKementerianPemberdayaanPerempuan)

Masyarakat dan Anak Bergerak Bersama Lindungi Anak Korban Terorisme

Jakarta — Sesuai Konvensi Hak Anak, setiap anak di Indonesia memiliki hak untuk bertumbuh dengan baik, didengarkan pendapatnya dan memiliki hak untuk menyampaikan informasi yang bermanfaat tidak terkecuali kepada sesama teman sebaya.

Melalui Forum Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berharap anak dapat dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan, program, dan kegiatan mulai dari tingkat RT, desa hingga nasional, terkait isu apapun yang berdampak pada anak, salah satunya adalah isu terorisme. Anak dapat dilibatkan dalam isu terorisme mengingat aksi terorisme mulai mengincar generasi muda khususnya milenial dan Gen Z.

Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Sipil, Informasi, dan Partisipasi Anak Kemen PPPA, Endah Sri Rejeki mengatakan dalam aksi terorisme, anak adalah korban sehingga masuk dalam kelompok rentan. Itu sebabnya Kemen PPPA melihat anak justru dapat dilibatkan sebagai agen perubahan untuk mengajak dan melakukan edukasi kepada teman sebayanya agar tidak terpapar paham radikalisme dan mencegah aksi terorisme.

“Melalui Talkshow hari ini, kita bisa mendengarkan suara anak terkait isu terorisme di sekitarnya. Dengan begitu, saya berharap kita dapat memahami perspektif anak tentang isu terorisme dan mengembangkan peran mereka sebagai agen perubahan untuk menangani persoalan terorisme di Indonesia. Anak dan juga organisasi Forum Anak, memiliki hak yang harus di penuhi oleh seluruh pihak, salah satunya hak berpartisipasi dalam segala proses kehidupan di masyarakat. Untuk itu, Pemerintah membentuk Forum Anak sebagai wadah partisipasi anak di 34 provinsi, 458 kabupaten/kota, 1.625 kecamatan, dan 2.694 desa/kelurahan,” terang Endah Sri Rejeki dalam Talkshow Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme Menurut Pandangan Anak yang dilaksanakan secara daring. Jumat (16/04/2021).

Kemen PPPA terus berupaya menyuarakan pentingnya pemenuhan hak anak untuk bersuara dan berpartisipasi. Untuk menjalankan hal tersebut, tentu perlu dukungan dan perhatian dari seluruh pihak khususnya K/L, demi mengoptimalkan potensi anak sebagai agen perubahan dengan memahami keberagaman, menghindari paham radikalisme, berkontribusi mencegah aksi terorisme, serta menciptakan kedamaian dalam hidup bermasyarakat.
Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dalam Kondisi Khusus, Elvi Hendrani menegaskan anak yang terjerat tindakan terorisme sesungguhnya merupakan korban dari pengasuhan maupun lingkungan yang salah.

“Banyak anak yang sebenarnya tidak terlibat dalam aksi teror, namun karena mereka merupakan anak dari pelaku, maka mereka akan sulit diterima kembali di masyarakat. Anak pelaku tindak terorisme merupakan korban yang harus dibina. Seringkali mereka dianggap sebagai manusia tak berguna, membuat sengsara, dan harus dibinasakan. Bahkan harus berganti identitas agar mereka mendapatkan haknya kembali,” ujar Elvi.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Negara memiliki tugas penting untuk melindungi anak-anak korban terorisme, di antaranya dengan melakukan edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, konseling tentang bahaya terorisme; rehabilitasi sosial; dan pendampingan sosial.
“Mari bersama ubah cara pandang kita bahwa diluar sana ada anak-anak yang harus kita selamatkan, mereka adalah generasi penerus bangsa. Baik anak pelaku, anak korban, maupun anak saksi, sesungguhnya mereka adalah korban. Singkirkan stigma yang kejam dari mereka,” tegas Elvi.

Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Polri, Moh Djafar Shodiq yang juga hadir sebagai narasumber menegaskan, anak yang terjerat tindak terorisme merupakan korban dari lingkungan maupun orangtua yang salah, biarpun masuk dalam tatanan unsur perbuatan melawan hukum tapi mereka merupakan korban yang harus diberikan pendekatan secara komprehensif.

Djafar Shodiq menambahkan Densus 88 telah melakukan langkah terbatas dalam memutus mata rantai generasi terorisme melalui pendekatan humanis dan soft approach terhadap anak, istri maupun keluarga pelaku aksi teror.

“Kami memisahkan anak pelaku dari keluarganya untuk mencegah mereka terpapar paham ekstrem, kemudian memberikan assement pendampingan psikologis, serta menyekolahkan mereka di sekolah dengan pendidikan moderat. Hal ini diharapkan dapat membuat mereka menjadi agen perubahan dari generasi muda untuk membangun anak-anak yang berpikir moderat dan terlindungi dari paham radikal dan aksi terorisme,” tutur Djafar Shodiq.
Psikolog Anak, Seto Mulyadi mendukung pendekatan humanis yang dilakukan Densus 88, ia meminta agar dalam proses penangkapan pelaku tidak dilakukan di hadapan anak untuk mencegah timbulnya rasa dendam yang dapat menumbuhkan bibit terorisme.

“Anak sejatinya merupakan peniru, jika anak berada dalam lingkungan yang penuh kedamaian, maka karakter itulah yang terbentuk. Tapi jika penuh kekerasan, hal itulah yang akan dibentuk dalam diri anak. Keluarga harus menerapkan pengasuhan dan pendidikan yang damai, menghargai perbedaan, tanpa kekerasan, dan adanya komunikasi terbuka. Namun harus kontrol dari warga sekitar. Untuk itu perlu dibentuk seksi perlindungan anak di tingkat RT,” tutup Seto.

Menteri Bintang Dorong Anak Dilibatkan dalam Musrenbang

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus mendorong peningkatan partisipasi anak dalam setiap proses pembangunan diantaranya melalui pembentukan Forum Anak. Sebagai wadah bagi partisipasi anak, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga berharap Forum Anak dapat dibentuk hingga ke tingkat kecamatan dan desa.

“Hak partisipasi ini diharapkan dimanfaatkan sebaik-baiknya, anak-anak Indonesia tidak hanya sebagai penikmat pembangunan tetapi juga ikut berperan di dalam pembangunan itu sendiri. Kami berharap anak-anak di dalam Forum Anak Daerah-Kabupaten, terus menggelorakan pembentukan Forum Anak di tiap kecamatan maupun tiap desa. Selama ini partisipasi anak ditingkat kecamatan dan desa terbilang sangat kecil,” ujar Menteri Bintang dalam dialog virtual bersama Forum Anak dari wilayah Indonesia bagian tengah, Sabtu (17/42021).

Menteri Bintang menambahkan pembentukan Forum Anak hingga tingkat kecamatan maupun desa tidak lepas dari pimpinan daerah. Oleh karena itu, Ia mengimbau agar pemimpin daerah dapat membentuk Forum Anak serta melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan terkait pembangunan di daerah masing-masing.

“Mudah-mudahan Forum Anak mendapat dukungan dari pimpinan daerahnya. Tidak hanya berhenti pada pembentukannya, tetapi keterlibatan anak-anak dalam Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) terutama Musrenbang kabupaten itu (mereka) diikut sertakan,” ujar Menteri Bintang.

Serupa dengan dialog Menteri Bintang bersama Forum Anak dari wilayah Indonesia bagian barat yang dilakukan sebelumnya, dalam dialog kali ini anak-anak juga membagikan aspirasi, inovasi, hingga kendala yang mereka temui dalam menjalankan perannya sebagai pelopor dan pelapor (2P) di daerah. Sejumlah isu penting yang juga sama disoroti yakni upaya pencegahan perkawinan anak, isu pekerja anak, rokok, bullying, dan stunting.

Menteri Bintang juga memberikan apresiasi atas partisipasi anak-anak di forum anak yang telah menjalankan peran sebagai 2P (pelopor dan pelapor). Menteri Bintang juga mengingatkan agar anak-anak yang tergabung dalam Forum Anak dapat menjadi contoh bagi teman sebayanya.

Sementara Ketua Forum Anak Kaltim Diky Nugraha mengatakan harapannya agar Kementerian PPPA dapat menjadikan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai pilot project standarisasi untuk ruang bermain ramah anak.

“Kami berharap Kementerian PPPA dapat mensosialisasikan edaran terkait kewajiban RPTRA disetiap kabupaten/kota dan merujuk pada pembangunan RPTRA yang memiliki standar yang baik,” ujarnya.

Diky juga menyapaikan Forum Anak Kaltim bekerja sama dengan Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim untuk menekan pernikahan usia anak melalui upaya terbitnya Instruksi Gubernur Nomor 483/5665/III/DKP3A/2019 Tentang Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Usia Anak

“Selain itu, Kaltim juga telah melakukan advokasi dan sosialisasi ke kabupaten/kota yang memiliki angka perkawinan usia anak cukup tinggi,” imbuh Diky. (dkp3akaltim/rdg)