IPG dan IDG Bontang Masih Rendah, DKP3A Kaltim Lakukan Pendampingan

Bontang — Indeks Pemberdayaan Manusia (IPM) merupakan penjelasan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

“Untuk capaian IPM Kaltim, dua tahun terakhir ada pada urutan ke 3 dari 34 Provinsi, sedangkan capaian IPM perempuan pada tahun terakhir berada di urutan 10 sebelumnya di urutan ke 7,” ujar Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim paa kegiatan Sosialisasi  Kebijakan dan Pendampingan Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) Termasuk Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Kewenangan Provinsi , berlangsung di Hotel Bintang Sintuk Kota Bontang, Rabu (8/6/2022).

Soraya menambahkan, kesenjangan tersebut dapat dilihat melalui capaian IPM secara terpilah laki-laki dan perempuan. Pada tahun 2020, capaian IPM laki-laki 81,32 dan perempuan 69,69, terdapat kesenjangan 11,63. Sementara pada tahun 2021 capaian  IPM laki-laki 81,86 dan perempuan 70,36, terdapat kesenjangan 11,5. Ini menunjukkan telah terjadi penurunan kesenjangan sebesar 0,13, namun belum merubah urutan kesenjangan pembangunan Kaltim pada tingkat nasional.

“Juga tergambar pada capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), dimana Kaltim berada di bawah rata-rata nasional. IPG menempati urutan ke 32 dari 34 provinsi sementara IDG menempati urutan ke 27 dari 34 provinsi se indonesia,” terang Soraya.

Sementara untuk capaian IPG Kota Bontang berada di atas rata-rata capaian Provinsi Kaltim yaitu sebesar 87,12, nilai IPG Provinsi sendiri adalah sebesar 85,95.

“Namun nilai IPG tersebut tidak di ikuti dengan baik oleh nilai IDG, capaian IDG Kota Bontang masih terendah dari 10 kabupaten/kota yaitu 45,67. Sehingga menjadi tugas kewenangan Provinsi untuk melakukan peningkatan kapasitan, penguatan pemahaman sekaligus  pendampingan pelaksanaan PUG termasuk PPRG,” imbuhnya.

Soraya juga menjelaskan, Kota Bontang menjadi prioritas dalam kegiatan ini mengingat hasil evaluasi dan monitoring Kementerian PPPA tahun 2020 belum masuk dalam katagori kota penerima Anugerah Parahyta Ekpraya (APE), yang mengimplemantasikan 7 prasyarat PUG.

Pemenuhan syarat Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan hal utama dan penting untuk memperkecil kesenjangan gender dalam pembangunan. Kelembagaan PUG merupakan wadah promosi, koordinasi, dan konsultasi bagi perangkat daerah, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, media massa, dan badan usaha agar pelaksanaan PUG memberi manfaat optimal. Kelembagaan tersebut meliputi Pokja PUG, Tim Driver, Focal Point, dan Tim Teknis. (dkp3akaltim/rdg)

DKP3A Kaltim Lakukan Pendampingan Pelaksanaan PUG di Bontang

Bontang — Pembangunan dewasa ini mempunyai tujuan, diantaranya adalah menuju kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dengan meningkatkan keadilan dan kesetaraan gender pada setiap sektor pembangunan. Namun, masalah ketidakadilan gender ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan.

Meskipun berbagai regulasi telah diterbitkan untuk mempercepat implementasi PUG oleh pemerintah, namun belum menunjukkan hasil yang maksimal. Salah satunya disebabkan karena adanya keterbatasan pengertian dan pemahaman Pengarusutamaan Gender (PUG).

Sekretaris Daerah Kota Bontang, Aji Erlinawati mengatakan, salah satu syarat untuk mencapai hasil pembangunan yang adil gender dan membawa manfaat bagi laki-laki dan perempuan dengan adanya analisis gender terhadap masing-masing program pembangunan yang dilaksanakan di semua sektor pembangunan.

“Analisis ini hanya dapat dilaksanakan apabila para perancang program dan pengambil keputusan memahami tentang keadilan gender dan penerapannya dalam program-program pembagunan,” ujarnya pada acara Sosialisasi Kebijakan dan Pendampingan Pelaksanaan PUG Termasuk PPRG Kewenangan Provinsi, berlangsung di Hotel Bintang Sintuk, Rabu (8/6/2022).

Ia menambahkan, perlu juga mengikuti isu-isu gender terbaru dalam masyarakat yang terus berkembang pada tataran masyarakat dan menyediakan ketersediaan data menurut jenis kelamin dan kelompok umur, termasuk data dan statistik anak dengan analisis berdasarkan konteks perkembangan masing-masing wilayah.

“Para pemangku kepentingan, OPD dan masyrakat perlu tahu tentang konsep gender, isu gender, data terpilah dan aplikasinya. Oleh karena itu diperlukan dukungan dan political will dari pemangku kepentingan memalu pengetahuan dasar dan analisis gender untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada,” imbuhnya.

Aji Erlinawati berharap, kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman aparatur / OPD tentang strategi PUG dan PPRG serta memetakan dan mengevaluasi peran strategi masing-masing OPD penggerak dalam pelaksanaan percepatan PUG di daerah.

“Dengan demikian diharapkan melalui sosialisasi ini akan menghasilkan komitmen yang kuat sebagai kunci utama dalam keberhasilan pelaksanaan PUG di daerah,” tutunya. (dkp3akaltim/rdg)

Pemerintah Susun Peraturan Pelaksana UU TPKS

Jakarta (7/6) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama 13 Kementerian/Lembaga terkait, tengah menyusun peraturan pelaksana pasca disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) tersebut ditargetkan selesai tahun ini.

“Ini adalah kerja seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia.  TPKS Tugas pemerintah untuk memastikan dan menjawab kebutuhan operasionalisasi UU TPKS yang harus segera kita selesaikan,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, dalam Rapat Koordinasi Pembahasan Penyusunan Peraturan Pelaksana UU TPKS, Senin (6/6/2022).

Ratna menerangkan, semula UU TPKS mengamanatkan adanya 5 Rancangan Peraturan Pemerintah dan 5 Rancangan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksananya.

“Sebagai upaya memastikan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan, kami menargetkan 5 Peraturan Pemetintah dan 5 Peraturan Presiden. Namun, bisa kita lakukan simplifikasi atau penyederhanaan tanpa menghilangkan semangat dan esensi dari masing-masing peraturan pelaksana. Sejauh ini, kita terus bergerak dan melakukan langkah tindak lanjut pasca disahkannya UU TPKS,” tutur Ratna.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan, PP pertama akan membahas mengenai sumber, peruntukan, dan pemanfaatan Dana Bantuan Korban berdasarkan Pasal 35 Ayat 4 UU TPKS.

“Pembahasannya lekat dengan mekanisme kompensasi dan restitusi yang akan diprakarsai oleh Kementerian Hukum dan HAM,” kata Ratna.

Selanjutnya, PP mengenai penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan TPKS dinilai berkaitan erat dengan tata cara penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang mengatur mengenai hak-hak korban.

“Kami juga berpandangan Pasal 80 terkait penyelenggaraan pencegahan TPKS dan Pasal 83 ayat 5 terkait koordinasi serta pemantauan sangat memungkinkan untuk diatur dalam satu PP,” ujar Ratna.

Sementara itu, 5 Perpres yang diamanatkan dalam UU TPKS akan disederhanakan dalam 4 peraturan.  “Perpres terkait Tim Terpadu dan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat akan diatur dalam satu peraturan,” ujarnya.

3 Perpres lainnya akan mengatur mengenai Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Aparat Penegak Hukum, dan kebijakan nasional tentang pemberantasan TPKS.

“Tahapan penyusunan konsepsi, penyusunan draft, uji publik, penyempurnaan, finalisasi, pengajuan program akan kita mulai di Juni 2022. Hari ini menjadi momentum untuk mengawal kembali UU TPKS setelah disahkan pada 9 Mei 2022. PP dan Perpres ini menjadi jawaban operasionalisasi dari UU TPKS,” ungkap Ratna.

Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra mengatakan, Pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah progresif dalam penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS selama enam bulan ke depan. “Salah satu hal yang penting untuk dilakukan adalah diskusi terbatas untuk menggali substansi,” kata Dhahana.

Lebih lanjut Dhahana menjelaskan, Program Penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS akan dikoordinasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM. “Kami akan mengirimkan surat kepada K/L untuk menanyakan kebutuhan atau usulan regulasinya. Usulan ini kembali kepada pemrakarsa, misalnya Kementerian Hukum dan HAM memprakarsai Perpres terkait penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Aparat Penegak Hukum. Kemudian akan ada pertemuan untuk mendalami usulan masing-masing K/L,” tutup Dhahana.

Dalam diskusi tersebut, K/L yang hadir turut menyatakan komitmennya dalam mengawal penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS, diantaranya Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Hukum dan HAM; Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; Kepolisian; Kejaksaan Agung; dan lain sebagainya.