Dukcapil Kemdagri Tegur Keras Disdukcapil Daerah Yang Tolak Rekam-Cetak KTP-el Luar Domisili

Jakarta — Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri), Prof. Zudan Arif Fakrulloh,  menegur keras aparatur Disdukcapil daerah yang menolak memproses permohonan rekam-cetak KTP-el luar domisili.

Hal itu Zudan sampaikan saat dirinya memberikan arahan saat membuka acara Dukcapil Belajar yang diikuti seluruh aparatur Dinas Dukcapil seluruh Indonesia, secara daring melalui aplikasi Zoom, pagi ini, Jumat (05/11/2021).

“Bila ada orang luar daerah memohonkan rekam-cetak KTP-el luar domisili, jangan ditolak!,” perintah Zudan dengan tegas.

“Baru-baru ini saya dapat pengaduan ada orang luar daerah memohonkan rekam-cetak KTP-el luar domisili di Kota Depok namun ditolak petugas setempat. Dikatakan bahwa bila ingin melakukan rekam-cetak KTP-el di Kota Depok harus pindah menjadi warga Kota Depok,” ungkapnya melanjutkan keterangan.

Menurut Zudan, kasus seperti yang dilakukan oleh Kota Depok merupakan pelanggaran. Pasalnya, kebijakan rekam-cetak KTP-el luar domisili merupakan keunggulan kerja integratif yang khas dimiliki oleh Dukcapil, sehingga tidak boleh dibunuh dengan ego kabupaten/kota maupun provinsi.

“Permendagri tentang rekam-cetak KTP-el luar domisili itu sudah memungkinkan kita bekerja integratif. Itulah semangat single identity. KTP-el kita gerakan untuk semua keperluan,” ujarnya.

Atas hal itu, Zudan menghimbau agar kasus seperti yang terjadi di Kota Depok tidak dapat terulang kembali, atau bahkan terjadi di daerah-daerah lainnya.

Zudan  akan memberikan teguran keras bila hal serupa kembali dilakukan Kota Depok maupun dilakukan oleh Disdukcapil di daerah-daerah lainnya karena kebijakan rekam-cetak luar domisili sudah dilakukan sejak tahun 2017.

“Andai anda adalah Kepala Disdukcapil yang baru, tolong pelajari dan pahami aturannya. Jangan buat kebijakan di luar aturan,” tegas Zudan sambil menutup keterangan. (dukcapilkemendagri)

Sekprov Minta Akselerasi Vaksin Covid

Samarinda — Sekretaris Daerah Provinsi (Sekprov) Kaltim HM Sa’bani meminta seluruh kabupaten dan kota di Kaltim semakin cepat  melaksanakan akselerasi  vaksin Covid-19, sehingga herd immunity di akhir tahun ini bisa tercapai.

“Oleh karena itu, kita mengharapkan seluruh kabupaten dan kota bisa terus melakukan akselerasi vaksin Covid-19, sehingga apa yang kita harapkan bersama yaitu terbentuknya herd immunity (kekebalam komunal) pada akhir tahun bisa kita capai  100 persen,” pesan Sa’bani usai menghadiri peringatan  Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-57 tingkat Provinsi Kaltim tahun 2021, yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim secara langsung dan virtual di Pendopo Odah Etam, Kompleks Kantor Gubernur Kaltim, Jumat (12/11/2021).

Untuk Ketersediaan vaksin, lanjut Sa’bani  masih tesedia, untuk mencukupi seluruh masyarakat Kaltim, tinggal percepatan masing-masing kabupaten dan kota untuk melaksanakan vaksin tersebut, sehingga  pada saatnya nanti  bisa tercapai 100 persen, sehingga  cepat pula  terbentuk herd immunity di Kaltim secara keseluruhan.

“Gerakan-gerakan vaksinasi massal  Covid yang dilakukan oleh masing-masing kabupaten dan kota seperti saat ini yang fokus pada pelajar. Kita harapkan dapat terlaksana dengan baik, termasuk vaksinasi kepada masyarakat juga dilaksanakan dengan harapan semuanya berjalan lancar sesuai apa yang kita harapkan,” tandasnya.

Sa’bani  juga meminta kepada masing-masing  kabupaten dan kota yang dalam akselerasi vaksin Covid-19  menghadapi  masalah atau kendala, kiranya cepat melaporkan ke provinsi, sehingga dapat dibantu untuk segera dicarikan solusi agar pelaksanaan vaksin berjalan lancar.

“Apabila dalam akselerasi vaksin Covid-19 terdapat masalah-malasah yang dapat menghambat, kita minta kabupaten dan kota untuk segera melaporkannya, sehingga cepat pula dicarikan solusinya. Dengan begitu percepatan vaksin dapat terlaksana dengan baik,” ujarnya.

Sa’bani menambahkan, pemerintah akan berupaya keras mencapai sukses vaksinasi di daerah. Namun kunci dari keberhasilannya harus didukung oleh semua pihak, semua komponen masyarakat Kaltim. Tentunya dengan tetap  disiplin dan taat menerapkan protokol kesehatan.

“Vaksinasi Covid-19 dan kedisiplinan masyarakat harus dilaksanakan secara bersama. Pemerintah akan terus mendorong peningkatan kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan,  menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas),” pesan Sa’bani. (adpimprovkaltim)

Menteri Bintang Ajak Seluruh Lembaga Kembangkan Kode Etik Pencegahan Kekerasan Seksual

Jakarta — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak lembaga pemerintah, penegak hukum, pendidikan, serta lembaga negeri maupun swasta lainnya untuk mengembangkan kode etik pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

“Peraturan ini merupakan terobosan penting karena dapat menjadi suatu pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan serta mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang pada akhirnya dapat menciptakan kehidupan kampus yang semakin positif, tanpa kekerasan. Peraturan ini juga telah memasukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dunia teknologi informasi komunikasi. Kami juga berharap lembaga lainnya, baik swasta maupun negeri, untuk mulai mengembangkan kode etik di lembaga masing masing,” ujar Menteri Bintang dalam Seminar Nasional Pekan Progresif 2021 secara virtual, Sabtu (13/11/2021).

Menteri Bintang menyatakan, kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak yang besar bagi perempuan dan anak, bahkan bisa mencapai kematian, masalah kesehatan mental, hingga hilangnya produtivitas yang berpengaruh terhadap ekonomi.

“Selain merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, pada level negara, beban ekonomi yang ditanggung dalam pencegahan hingga penanganan kekerasan juga sangat besar. Tentunya jika kita dapat menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka sumber daya ekonomi ini dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Untuk itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah kita bersama,” tutur Menteri Bintang.

Di sisi lain, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani, menyebutkan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih terjadi hingga saat ini tidak dapat terus menerus diabaikan.

“Jika kita mengikuti konstitusi Republik Indonesia, maka angka kekerasan kepada perempuan dan anak harus kita tekan sampai mencapai angka nol. Perlu ada keberpihakan kepada perempuan dan anak untuk mencegah adanya tindakan kekerasan kepada mereka. DPR RI terus memperhatikan berbagai kasus yang muncul dan mendorong pemerintah serta aparat penegak hukum agar melindungi korban, jangan sampai korban kekerasan menjadi korban prosedur hukum,” ungkap Puan.

Manajer Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, sepakat mengenai pentingnya pembentukan peraturan di masing-masing lembaga terkait kekerasan seksual.

“Undang-Undang cakupannya general, supaya bisa masuk sampai ke lembaga-lembaga, maka harus diterjemahkan ke dalam peraturan yang sifatnya lebih teknis, sehingga lebih mudah dilaksanakan. Selain itu, perlu itikad dari orang-orang yang ada di lembaga untuk mengusulkan pembentukan peraturan, kalau universitas, peraturan di tingkat universitas, fakultas, dan prodi karena kalau tidak seperti itu, maka tidak akan dilaksanakan,” ujar Lidwina.

Lebih jauh lagi, Lidwina menjelaskan, berdasarkan Investigasi Konsorsium Nama Baik Kampus oleh beberapa media di Indonesia pada 2019, 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. “Bentuk-bentuk kekerasan seksual di kampus, pertama pelanggaran wilayah privasi seksual, misalnya memberikan pertanyaan tentang kehidupan pribadi mahasiswa, menunjukkan gambar konten seksual, menatap dengan intens, dan lain-lain. Kemudian tindakan fisik, yang paling berat percobaan dan atau tindakan perkosaan,” ungkap Lidwina.

Secara hukum, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Tiasri Wiandani, saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) masih berfokus pada pemidanaan tersangka, terdakwa, dan terpidana. “Namun tidak memuat hak akses keadilan bagi korban. Ini yang kita coba dorong agar payung hukum tidak hanya bicara mengenai pemidanaan, tetapi bagaimana upaya-upaya untuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan benar-benar bisa dilakukan agar semuanya bisa mendapatkan akses keadilan di dalam kasus-kasus kekerasan seksual,” tutur Triasri.

Sementara itu, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti mengatakan, perempuan dan anak merupakan warga negara yang hak asasinya wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. “Akar dari hak asasi manusia adalah martabat. Tidak ada pengecualian, termasuk semua jenis kelamin, orientasi seksual, ekspresi gender, anak, kelompok disabilitas, dan semua perbedaan lainnya yang sifatnya natural,” ujar Bivitri.

Hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi. Pada 2021, terjadi 3355 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 3410. (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kemen PPPA, periode 1 Januari-31 Mei 2021).

Realitas di pengadilan juga menunjukkan, dalam tindak pidana persetubuhan atau hubungan seksual terhadap perempuan di luar pernikahan dengan repetisi, pelaku yang paling banyak dibebaskan adalah pelaku yang memiliki hubungan relasi horizontal dengan korban, yaitu tiga kasus. Sementara itu, hanya terdapat satu kasus yang mendapatkan vonis tertinggi, yaitu 9-12 tahun (Data Masyarakat Penilai Profesi Indonesia (MaPPI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada 2018, Asesmen Konsistensi Putusan Pengadilan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan).

Lebih lanjut, Bivitri menyebutkan, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara harus bebas dari kekerasan. Namun demikian, masih banyak peraturan perundangan yang mengandung kekosongan hukum serta belum memberikan keadilan bagi korban. “Dibutuhkan pembentukan hukum yang mampu mengejar ketertinggalan. Penolakan terhadap penciptaan negara yang bebas kekerasan seksual menunjukkan pandangan yang tidak progresif, justru mundur ke belakang. Menjadi tidak memajukan peradaban bangsa, melainkan mundur ke masa-masa belum beradab, di mana perempuan dan anak tidak dianggap sebagai manusia yang utuh dan bermartabat,” tutup Bivitri. (birohukum&humaskpppa)