Pemerintah Daerah Berkewajiban Berikan Perlindungan Anak Berkonflik Hukum

Samarinda — Memberikan perlindungan yang maksimal kepada anak merupakan investasi bagi masa depan kemajuan bangsa.

Sesuai dengan pasal 59 ayat 1, Undang -Undang Nomor 35 tahun 2014 Pemerintah Daerah berkewajiban bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak termasuk anak yang berkonflik dengan hukum.

Anak yang berkonflik dengan hukum adalah bagian dari anak yang memerlukan perlindungan khusus yang wajib diberikan perlidungan berdasarkan amanat Undang-Undang.

Hal tersebut disampaikan Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak Dari Kekerasan Kementerian PPPA, Ciput Eka Purwianti, saat memberikan arahan pada Penyelenggaraan Koordinasi dan Sinkronisasi Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak di Daerah (SPPA), digelar secara daring, Kamis (26/8/2021).

Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak tidak hanya dimaknai sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, namun harus dimaknai secara luas akar permasalahan mengapa anak melakukan tindak pidana.

Ciput mengatakan data dari Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM RI pada 30 Juni 2021, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 1.898 anak.

Anak yang berada di LPKA sebagian besar adalah anak pidana yang mayoritas anak laki-laki dan sedikit anak perempuan.

Dalam melaksanakan kebijakan SPPA di daerah Gubernur dan Bupati/Walikota harus segera berkoordinasi dengan lembaga terkait.

“Jika belum melakukan SPPA, segera di mulai,” tuturnya.

Perjuangan Penyintas KBGO, Cerita Di Balik Angka

   Jakarta — Dalam kasus kekerasan berbasis gender (KBG), sudah menjadi rahasia umum bahwa angka yang tercatatkan masih lebih kecil dibandingkan jumlah kasus sebenarnya. Mirisnya, akan selalu ada cerita sedih dari para korban di balik angka-angka yang terhitung maupun tak terhitung temasuk dalam kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO)

“Perlu kita ingat bahwa tidak ada satu orang pun yang berhak mendapatkan kekerasan, bagaimanapun situasinya. Mereka (penyintas kekerasan) bukan hanya sekedar angka. Mereka adalah ibu, anak, saudara, teman, yang dikasihi oleh orang-orang di sekitar mereka, yang berhak mendapatkan keadilan,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga dalam Peluncuran Buku Cedera Dunia Maya: Cerita Para Penyintas (khususnya KBGO) yang dilaksanakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta melalui virtual.

Kondisi ini dipengaruhi berbagai faktor sehingga kebanyakan korban enggan melaporkan kekerasan yang dialami. Tak terkecuali kini di tengah kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), KBGO muncul menjadi teror baru yang dapat mengancam siapa saja.

“Permasalahan pelaporan tidak hanya terjadi dalam kekerasan berbasis gender yang sifatnya fisik, namun juga yang sifatnya online. Banyak sekali penyintas yang tidak berani melaporkan kejadian karena takut diperkarakan kembali oleh pelaku. KBGO masih menjadi isu yang baru bagi banyak pihak,” ujar Menteri Bintang.

Menteri Bintang mengungkapkan ketimpangan gender akibat adanya relasi gender yang tidak setara menjadi basis Kekerasan Berbasis Gender (KBG), baik di ruang fisik maupun online. Perempuan ataupun laki-laki berpotensi menjadi korban ataupun pelaku. Meski kenyataannya, perempuan masih menjadi kelompok paling rentan.

“Hingga saat ini perempuan masih dikategorikan sebagai kelompok rentan karena budaya patriarki yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat kita yang telah menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ketimpangan gender ini kemudian membuat perempuan menjadi sangat rentan terhadap kekerasan diskriminasi dan berbagai perlakuan salah lainnya,” jelas Menteri Bintang.

Di tengah situasi pandemi Covid-19, praktis kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan teknologi yang tinggi memicu potensi KBGO meningkat. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021 misalnya mencatat peningkatan tajam kekerasan berbasis gender online di masa pandemi. Yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan naik dari 241 kasus pada 2019 menjadi 940 kasus pada 2020. Sementara dari laporan lembaga layanan terjadi peningkatan KBGO dari 126 kasus pada 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020.

Menteri Bintang menambahkan tidak hanya terjadi di Indonesia, masalah pelaporan KBGO juga terjadi secara global. UN Women dalam beberapa laporannya menyatakan adanya peningkatan tajam dalam KBGO di masa pandemi. Bagi mereka yang mengalami KBGO, kurang dari 40% yang melaporkannya, kebanyakan hanya melapor atau mencari pertolongan kepada keluarga.

Oleh karena itu, Menteri Bintang mengaku sangat mendukung Buku Cedera Dunia Maya berisi cerita para penyintas KBGO yang diluncurkan oleh LBH APIK Jakarta dapat dibaca oleh masyarakat luas.

“Apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Yayasan LBH APIK yang telah menginisiasi peluncuran buku yang sangat penting ini. Melalui cerita para penyintas KBGO, kita akan semakin memahami perspektif mereka, berempati, menemukenali masalah-masalah dalam sistem, mencari solusi dan membangun sistem yang dapat berpihak kepada mereka. Saya mendorong seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat luas untuk membaca buku ini,” pungkas Menteri Bintang.

“Berbagai upaya harus ditekankan pada pencegahan, di samping penanganan juga perlu diperkuat secara terus menerus. Upaya ini harus kerja bersama antar sektor, baik dari pemerintah, sektor swasta, dan penyedia layanan teknologi dan telekomunikasi, media, penegak hukum, akademisi, dan seluruh masyarakat. Kita harus selalu beradaptasi dan mengupayakan berbagai inovasi dalam melindungi perempuan dimanapun mereka berada, baik itu di ruang fisik maupun digital,” jelas Menteri Bintang.

Bagi masyarakat yang ingin membaca buku dapat mengakses melalui website resmi publikasi LBH APIK https://awaskbgo.id/publikasi/ yang dijadwalkan akan terbit dalam dua minggu ke depan. (birohukum&humaskpppa)