Lembaga Agama Dukung Cegah Perkawinan Anak Mulai dari Tempat Ibadah

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus melakukan upaya advokasi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak bersama stakeholders, mengingat perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak. Salah satunya dengan menyelenggarakan Diskusi Interaktif Pencegahan Perkawinan Anak dalam Pandangan Lintas Agama yang dilakukan secara virtual.

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Agustina Erni menuturkan perkawinan anak termasuk pelanggaran terhadap hak dasar yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA), terutama anak perempuan, karena anak perempuan merupakan kelompok anak yang lebih rentan terhadap perkawinan anak.

“Presiden telah memberikan arahan kepada Kemen PPPA untuk menangani permasalahan perkawinan anak yang dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Secara tegas RPJMN menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21% pada tahun 2018 menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024. Perkawinan anak pun menjadi Prioritas Nasional yang dimandatkan kepada kami,” ujar Erni.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak, Erni mengatakan salah satu faktornya adalah dari sisi agama.

“Agama masih sering dijadikan legitimimasi atau alat pembenaran atas praktik perkawinan anak, dengan dalih menghindari perzinahan, faktor ekonomi si anak, perjodohan, dan kehamilan yang tidak diinginkan,” ujar Erni.

Hal ini kemudian menjadi latar belakang perlu keterlibatan para pemuka agama yang ada Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu) untuk berperan aktif bersama dengan umatnya dalam Pencegahan perkawinan anak dan menindaklanjuti kebijakan, isu perkawinan anak dan peran aktif keterlibatan pemuka agama dan jajarannya dalam melakukan pencegahan perkawinan anak.

“Melalui dialog hari ini, kami yakin akan ada perspektif baru yang lebih progresif dan berpihak dalam perlindungan anak khususnya menurunkan angka perkawinan anak, demi mewujudkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing ke depan,” imbuh Erni.

Ketua Bidang Perempuan Remaja dan Keluarga MUI, Prof. Amany Lubis mengatakan gambaran umum tentang pernikahan usia anak di Indonesia dengan segala dampaknya merupakan tantangan dan PR bersama bagi pemerintah dan masyarakat, tidak terkecuali para ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang menjadi rujukan umat dalam berbagai permasalahan. Sinergi antara ulama dan umara dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan yang belum istitho’ah melalui Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia sangatlah penting dan strategis.

Ulama sangat perlu berperan dalam ikhtiar pendewasaan usia perkawinan melalui pendidikan dan dakwah kepada masyarakat, khususnya orang tua dan anak-anak yang rentan menjadi korban perkawinan usia anak lantaran berbagai sebab. Sebagai penerus para nabi, dalam melakukan pendidikan dan dakwah para ulama -laki-laki dan perempuan- perlu mengenali penyebab dan akar masalah dari masalah perkawinan usia anak ini, sehingga solusi pencegahan dilakukan sesuai dengan masalahnya.

“Sekedar contoh, perkawinan usia anak yang disebabkan oleh pergaulan bebas tentu perlu dicegah dengan penanaman nilai-nilai agama, pengendalian diri dan akhlak mulia yang diterapkan dalam kehidupan di keluarga, lembaga pendidikan, maupun masyarakat. Perkawinan usia anak yang disebabkan oleh kemiskinan keluarga perlu dicegah dengan edukasi bagi orang tua untuk tidak menjadikan kemiskinan sebagai alasan mengawinkan anak karena itu justru berpotensi melestarikan kemiskinan dan menurunkan kualitas genarasi,” ujar Amany.

Dari lembaga agama katholik, Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga KWI, RD Yoh Aristanto HS menuturkan setiap agama atau lembaga agama mempunyai cara pandang yang berbeda mengenai perkawinan dan batas usia untuk menikah, namun mempunyai tujuan yang sama yaitu kebaikan dari pasangan yang menikah dan keluarga yang dibangun.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pengurus Pusat MATAKIN, XS Budi S Tanuwibowo mengungkapkan dalam agama khonghucu pernikahan adalah pangkal peradaban manusia sehingga pernikahan dilakukan dilakukan bagi pasangan yang telah dewasa/siap karena akan mempengaruhi generasi yang dihasilkan, tentu anak yang dihasilkan dari orang tua yang memang telah dewasa/siap secara fisik, mental bahkan ekonomi akan lebih mampu mengatasi tantangan zaman yang selalu berubah.

Lebih lanjut, Biro Perempuan dan Anak Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Ridayani mengatakan perlindungan anak merupakan bagian dari Tritugas gereja dan melekat pada jati dirinya. Selain itu, gereja juga berfungsi untuk mengoptimalkan perlindungan anak melalui pelayanan gereja sebagai wujud kontribusi menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.

Senada dengan seluruh narasumber sebelumnya, Ketua Wanita WALUBI Jakarta, Wie Lie menuturkan perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.

penyadaran masyarakat Pencegahan Perkawinan anak, pungkas Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan. (BiroHukumdanHumasKementerianPemberdayaanPerempuan)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *