Perempuan dalam Pusaran Terorisme, Harus Dicegah Bersama

Jakarta — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak perempuan Indonesia untuk sama-sama mewaspadai dan mencegah semaksimal mungkin keterlibatan perempuan dalam pusaran terorisme.

Hal itu menjadi benang merah dari Media Talk tentang ‘Perlindungan Perempuan dari Paham Terorisme dan Ekstremisme’ yang diselenggarakan Kemen PPPA secara daring, Rabu (07/4/2021).

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA, Valentina Gintings mengatakan, isu perempuan masuk ke dalam terorisme dan ekstremisme ini sebenarnya bukan hal baru. Tapi saat ini, makin menjadi sorotan saat dua aksi terorisme di Makassar dan Mabes Polri, belum lama ini, melibatkan perempuan.

“Ada titik-titik lemah (perempuan) yang mereka (teroris) itu sudah paham, cara mempengaruhinya. Isu perempuan masuk ke dalam terorisme dan ekstremisme ini sebenarnya bukan hal baru, tapi kok sepertinya semakin banyak. Artinya diproses pencegahan dan penanggulangannya kita harus pastikan,” ujar Valentina.

Valentina menuturkan perempuan dan anak dapat berada dalam 3 posisi pada pusaran terorisme, pertama sebagai kelompok rentan terpapar, kedua sebagai korban, dan ketiga sebagai pelaku. Ia juga menambahkan ada beberapa faktor penyebab perempuan rentan dilibatkan dalam aksi terorisme, yaitu karena faktor budaya patriarki, ekonomi, dan akses informasi.

Budaya patriarki membuat perempuan harus patuh pada suami dan mengikuti apa yang dikatakan suami.

“Kemudian, ketergantungan perempuan kepada suami dari sisi ekonomi, karena tidak punya pegangan dari segi ekonomi jadi apa pun yang dikatakan suami ya mereka (terpaksa) ikut saja. Perempuan yang berada dalam ruang lingkup yang kecil juga terkadang tidak mendapat informasi yang luas terkait radikalisme sehingga mereka gampang dipengaruhi. Ini hanya sebagian faktor-faktornya,” jelas Valentina.

Di samping itu, faktor sosial, perbedaan pola pikir, dan adanya doktrin dari keluarga atau lingkungan sekitar, serta karakteristik perempuan yang memiliki perasaan lebih sensitif dan emosi yang labil juga disebut Valentina sebagai faktor penyebab lainnya.

“Kemen PPPA melihat peran perempuan sebagai ibu sangat strategis dalam mentransmisikan ideologi radikal, jadi perlu mempersiapkan keluarga-keluarga agar lebih baik lagi dan ketahanan keluarga menjadi penting. Kita juga akan melakukan strategi komunikasi kelompok perempuan melalui Perempuan Pelopor Perdamaian. Ini akan kita aktivasi lagi dan mudah-mudahan proses pencegahannya ini bisa jauh lebih kuat tentunya bekerja sama dengan BNPT,” ungkap Valentina.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan Terorisme BNPT Birgjen Pol. Akhmad Nurwakhid membenarkan kecenderungan perempuan rentan terpapar ideologi radikalisme.

“Seseorang dapat terpapar radikalisme secara cepat itu relatif, tapi perempuan lebih cepat dan kecenderungannya lebih sulit untuk di deradikalisasi,” ujar Akhmad.

Akhmad juga menuturkan setiap orang punya potensi untuk terpapar ekstremisme dan terorisme, tidak terikat pada jenis kelamin, latar belakang, suku, agama, ras bahkan latar belakang pendidikan maupun kadar tingkat intelektualitas. Menurut Akhmad, ideologi yang radikal merupakan akarnya.

“Potensi radikal yang dimiliki seseorang dapat menjadi niat atau motif radikal yang mengarah pada aksi terorisme, dan ekstremisme ketika dipicu oleh beberapa faktor dan adanya momen. Misalnya, ada anggota keluarga yang memiliki paham radikalisme apalagi oleh ibu atau orang tua. Ini menjadi musuh dan tanggung jawab kita bersama, sehingga kita harus bersatu bersama-sama di dalam pencegahan penanggulangan radikalisme dan terorisme,” tutur Akhmad.

Ketua Bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia, Prof. Amany Lubis Fatwa menerangkan sesuai fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme, MUI menegaskan bahwa segala tindakan teror yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat hukumnya haram.

“Kita harus selalu mengingatkan diri kita, lingkungan kita, masyarakat kita semua agar selalu waspada. Aksi kekerasan, apa pun bentuknya tidak ada dasarnya dalam agama. Baik itu relasi gender, maupun relasi rakyat dengan negara. Relasi apa pun kalau itu kekerasan tidak dibenarkan dalam agama. Solusinya, kita harus meningkatkan kebersamaan kita,” ujar Prof. Amany.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *