Ajak Lembaga Masyarakat Cegah Perkawinan Anak Melalui Pendekatan Keagamaan dan Budaya

Jakarta (25/2/2021) — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengungkapkan kasus perkawinan anak khususnya di tengah pandemi ini kian mengkhawatirkan. Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan viralnya kasus promosi perkawinan anak oleh salah satu Wedding Organizer (WO).

Menindaklanjuti hal tersebut, Menteri Bintang mengajak seluruh pihak, khususnya lembaga masyarakat untuk bersinergi melakukan sosialisasi secara masif dan intervensi pencegahan perkawinan anak, difokuskan pada daerah dengan kasus perkawinan anak yang tinggi, sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah masing-masing.

Menteri Bintang menegaskan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan juga bentuk pelanggaran terhadap hak anak dan hak asasi manusia (HAM).

“Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan lebih besar, baik dalam akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan, serta hidup dalam kemiskinan. Belum lagi besarnya dampak negatif perkawinan anak yang tidak hanya dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga pada anak yang dilahirkan, sehingga berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi,” tambah Menteri Bintang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2019 diketahui terdapat 22 provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka rata-rata nasional. Selain itu, pada 2018 dan 2019, diketahui terdapat 18 provinsi yang mengalami kenaikan angka perkawinan anak.

Merespon hal ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menetapkan isu pencegahan perkawinan anak sebagai satu dari lima agenda prioritas yang harus ditangani Kemen PPPA hingga 2024 mendatang. Pemerintah juga telah memasukkan isu pencegahan perkawinan anak ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74% pada akhir tahun 2024.

Pemerintah juga telah merevisi Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia menikah bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun.

“Regulasi dan kebijakan sudah banyak dihasilkan, namun upaya sosialisasi secara masif agar sampai ke masyarakat ini yang harus kita lakukan bersama. Saya mengapresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada teman-teman NGO (lembaga masyarakat) yang telah bergerak di tingkat grass root (akar rumput) dalam memberikan perlindungan bagi 80 juta anak Indonesia,” terang Menteri Bintang.

Pada awal 2020, Kemen PPPA bersama 17 Kementerian/Lembaga (K/L) bersama lebih dari 65 lembaga masyarakat peduli anak, dan pihak lainnya sebagai mitra pemerintah telah meluncurkan kembali Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA).

“Melalui gerakan ini, kami secara terus menerus melakukan advokasi dan sosialisasi ke masyarakat, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait dampak-dampak negatif dari perkawinan anak,” jelas Menteri Bintang.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *