Cegah Perkawinan Usia Anak di Kaltim

Tana Paser — Maraknya kasus perkawinan usia anak yang terjadi di Indonesia serta data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan satu dari empat perempuan di Indonesia telah menikah pada usia kurang dari 18 tahun. Pada tahun 2017 terdapat 25,71 persen anak perempuan menikah dibawah usia 18 tahun, dan pada tahun 2018 tercatat ada 720 kasus perkawinan usia anak di Indonesia serta 300.000 rata-rata anak perempuan berusia dibawah 16 tahun menikah setiap tahunnya.

Kepala Bidang PPPA Dinas Kependudukan, pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noer Adenany, mengatakan kasus perkawinan anak dibawah umur yang terjadi di Kaltim dalam beberapa tahun terakhir cenderung ada penurunan.

“Berdasarkan data dari Kanwil Kementerian Agama Kaltim, 845 perkawinan anak pada tahun 2019 menjadi 418 perkawinan anak pada semester 1 tahun 2020, terdiri dari laki-laki 89 anak dan perempuan 329. Sementara angka perkawinan anak yang terjadi di Kabupaten Paser pada tahun 2019 sebanyak 111” ujarnya pada Kegiatan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Paser, Kamis (12/11/2020).

Namun, lanjut Dany, hal ini tetap menjadi perhatian serius dari berbagai pihak mengingat tingginya angka perkawinan usia anak. Pemprov Kaltim perlu membuat aturan yang bersifat antisipasi kemudian melakukan berbagai upaya dari seluruh komponen masyarakat untuk memberikan pendidikan dan pencerahan tentang bagaimana cara mencegah perkawinan usia anak, peningkatan peran tokoh agama masyarakat dan orang tua dalam memberikan pemahaman sekaligus penerapan nilai-nilai Luhur dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Langkah progresif harus bersama kita lakukan pasca disahkannya UU Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu batas usia perkawinan diubah menjadi usia 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan

Mengapa perkawinan usia anak dilarang karena berdampak pada sisi pendidikan, kesehatan, ekonomi dan kualitas hidup. “Selain itu, perkawinan usia anak memiliki resiko 5 kali lebih besar untuk meninggal dalam persalinan dibanding perempuan di usia 20 sampai 24 tahun,” imbuh Dany.

Ia berharap, kegiatan ini dapat membangun pemahaman bersama tentang perkawinan usia anak dan dampak negatif yang ditimbulkan untuk mencegah perkawinan anak. Selain itu, perlu terus dilakukan sosialisasi, advokasi dan edukasi kepada orangtua, anak dan meningkatkan peran serta lembaga terkait selain pemerintah seperti akademisi, dunia usaha, media massa dan masyarakat dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak dari segala bentuk tindak kekerasan. (dkp3akaltim/rdg)

Kemen PPPA dan Kemendes PDTT Deklarasikan Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) mendeklarasikan Gerakan Peningkatan Keterlibatan Perempuan Melalui Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak di Jakarta. Gerakan ini menjadi salah satu upaya sinergi mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) di desa, Rabu (11/11/2020).

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga mengatakan pengembangan Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak akan menjadi episentrum baru pembangunan yang mendorong meningkatnya kesejahteraan dan kesehatan, akses terhadap pendidikan yang berkualitas, menurunkan angka perkawinan anak, menumbuhkan pusat ekonomi yang berbasis rumahan sehingga ibu rumah tangga memiliki otonomi dalam pendapatan rumahan. Harapannya, mereka dapat memastikan anaknya mendapat gizi yang baik dan menurunkan pekerja anak.

“Program Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak ini tentunya perlu didukung dengan berbagai langkah progresif, seperti peningkatan kapasitas pemerintah desa mengenai kesetaraan gender, pemenuhan hak perempuan, dan perlindungan anak, serta berbagai strategi lainnya,” ujar Menteri Bintang.

Sementara Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar menjelaskan perwujudan Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak dilakukan melalui penguatan peran kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan desa, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan desa, penanganan kekerasan terhadap perempuan dan bantuan hukum, serta perlindungan dan pemenuhan hak anak.

“Membangun dan mengembangkan desa itu tidak bisa berhenti pada konsep tapi harus implementatif. Nantinya akan ada 4 desa sebagai pilot project, yaitu 2 desa di Jawa Timur dan 2 desa di Jawa Tengah. Kedepan, kami akan terus menjalin komunikasi dan koordinasi dengan Kemen PPPA untuk keberhasilan implementasi Desa Ramah Perempuan dan Desa Peduli Anak ini,” ujar Menteri Abdul Halim.

Menurut Abdul Halim, masih terdapat kesenjangan terhadap perempuan untuk bisa mendapatkan harapan hidup, pendidikan dan penghasilan yang setara. “Ketimpangan gender ini juga terjadi di 75.000 desa di seluruh Indonesia. Situasi pandemi Covid-19 yang tengah terjadi saat ini semakin memperdalam kesenjangan dan kesulitan di pedesaan. Untuk menghadapi hal tersebut, Pemerintah telah menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa kepada 7,9 juta penerima manfaat, dimana sebanyak 2,46 juta atau 31 persen diantaranya adalah Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) dan merupakan bagian dari 81 persen keluarga miskin yang belum pernah mendapatkan program bantuan sosial dari pemerintah,” ujar Menteri Abdul Halim.

Dalam kesempatan yang sama, Kemen PPPA dan Kemendesa PDTT merilis Buku Panduan Fasilitasi Pemberdayaan Perempuan di Desa, bekerja sama dengan Program KOMPAK dan MAMPU yang merupakan program kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia. Buku panduan ini menjabarkan pengalaman Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) dan Institut KAPAL Perempuan dalam memberdayakan perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan di tingkat desa, khususnya dalam implementasi Undang-Undang Desa.

Menteri Bintang : UPTD PPA Ujung Tombak Perlindungan Perempuan dan Anak

Penambahan fungsi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) oleh Presiden Joko Widodo membawa arah baru bagi upaya perlindungan perempuan dan anak dengan memaksimalkan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menegaskan keberadaan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dibutuhkan untuk merealisasikan upaya tersebut.

“UPTD PPA merupakan ujung tombak dan garda terdepan dari mandat perlindungan perempuan dan anak. Untuk bisa memberikan pelayanan yang maksimal, pembentukan UPTD PPA merupakan hal yang sangat penting menjadi perhatian kita bersama,” ujar Menteri PPPA, Bintang Puspayoga dalam Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kewenangan Penyelenggaraan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak seluruh Indonesia di Jakarta, (10/11/2020).

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengamanatkan tambahan dua fungsi, yaitu penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional; dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi tingkat nasional dan internasional.

Menteri Bintang menjelaskan untuk mendukung pelaksanaan ke dua fungsi tersebut, keberadaan UPTD PPA dibutuhkan mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat kabupaten/kota. Nantinya UPTD PPA dan pemerintah pusat akan berkoordinasi secara intens untuk memastikan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan terpenuhi.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Bintang mengingatkan para Kepala Daerah dan seluruh pelaksana kewenangan penyelenggaraan layanan PPA untuk melakukan optimalisasi peran UPTD PPA di masyarakat melalui sosialisasi masif dan menjaga reputasi UPTD PPA di daerah masing-masing. Di samping menekankan pentingnya keberadaan sumber daya manusia yang memadai bagi UPTD PPA dan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang akuntable, Menteri Bintang juga meminta agar pelayanan UPTD PPA dilakukan dengan cepat dan tepat.
“Untuk melindungi dan memberi pelayanan terbaik bagi perempuan dan anak membutuhkan kerjasama dan kordinasi lintas sektor, lintas profesi, dan lintas wilayah. Mari bersama lindungi perempuan dan Anak Indonesia,” tegas Menteri Bintang.