Hari Dunia Anti Perdagangan Orang, Menteri Bintang: Lawan dan Akhiri Segala Bentuk Perdagangan Orang

Jakarta — Dalam rangka peringatan Hari Dunia Anti Perdagangan Orang, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengajak seluruh pihak memperkuat komitmen bersama dan bersinergi melawan sindikat perdagangan orang dan akhiri perdagangan orang di Indonesia. Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan transnasional yang mengancam kehidupan manusia dan kemanusiaan. Berbagai modus kejahatan ini terus berkembang dari waktu ke waktu, sehingga semakin sulit untuk dihapuskan.

“Berbagai upaya telah, sedang, dan akan terus dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk mencegah terjadinya TPPO, utamanya terhadap perempuan dan anak. Diperlukan upaya sinergis berbagai pihak terkait kebijakan, program, dan kegiatan pada semua lini agar memiliki daya ungkit tinggi untuk menghapuskan faktor penyebab TPPO yang sangat kompleks. Selain itu, upaya penanganan juga diperlukan untuk dapat melindungi dan memberikan hak-hak korban dan saksi, serta penegakan hukum yang memberikan efek jera bagi pelaku juga harus dilaksanakan,” ungkap Menteri Bintang dalam sambutannya pada Seminar Nasional memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang dengan tema “Antisipasi Risiko Perdagangan Orang Pasca Pandemi dan Masa Adaptasi Kebiasaan Baru”. Kamis, (30/07).

Ia menambahkan meskipun sudah banyak kebijakan yang dihasilkan untuk memberantas TPPO, namun masih banyak berbagai tantangan dalam implementasinya. Tantangan tersebut baik dari sisi pencegahan maupun perlindungan korban dan penegakan hukum bagi pelaku sebab perempuan dan anak korban TPPO membutuhkan mekanisme yang berperspektif gender untuk melindungi mereka.

“Kondisi Indonesia saat ini yang sedang menghadapi pandemi Covid-19 juga menjadi tantangan tersendiri. Pandemi ini bukan lagi sekedar permasalahan pada sektor kesehatan saja tetapi juga sosial, ekonomi, dan lain-lain. Maka dari itu, sudah sepantasnya kita mengantisipasi adanya modus-modus baru TPPO dan melakukan penyesuaian dengan adaptasi kebiasaan baru dalam melakukan penanganan dan pencegahan TPPO,” ujar Menteri Bintang.

Sementara Kepala Misi International Organization for Migration (IOM), Louis Hoffman mengungkapkan kemitraan antara pemerintah, swasta, serikat pekerja, auditor supply chain, agen perekrut dan lainnya sangatlah penting. Para aktor ini tidak hanya dapat berperan untuk menerapkan praktik-praktik yang dapat mengurangi risiko terhadap eksploitasi dan perdagangan orang akan tetapi mereka juga memiliki posisi strategis tersendiri.

“Selain itu, di tengah pandemi Covid-19 ini komunitas anti perdagangan orang akan menghadapi tantangan baru sehingga perlu untuk terus berevolusi, beradaptasi, dan menemukan cara-cara inovatif untuk mengidentifikasi tren dan kerentanan TPPO di tengah masa pandemi. Untuk itu, IOM akan terus berkomitmen untuk memerangi perdagangan orang bersama dengan pemerintah Indonesia, organisasi masyarakat sipil, kelompok berbasis kepercayaan, sektor privat, komunitas internasional, dan masyarakat luas lainnya,” ungkap Louis.

Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK, Ghafur Dharmaputra mengatakan situasi TPPO di Indonesia saat ini mencemaskan. Oleh sebab itu, pencegahan dan penanganan TPPO harus terus dioptimalkan dengan sinergi yang lebih kuat lagi. “Kita harus terus bangun dan pupuk semangat untuk memanusiakan manusia sesuai dengan tujuan dari pembangunan berkelanjutan (SDGs). Saat ini kami Kemenko PMK tengah menyiapkan dan memperbaiki lagi peranan dan berencana untuk menambahkan kementerian/lembaga terkait ke dalam Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP-TPPO). Hal ini dilakukan dalam rangka mengoptimalkan lagi fungsi, tugas, dan peranan GT PP-TPPO dalam berbagai aspek termasuk aspek hukum dan keamanan,” ujar Ghafur.

Sedangkan, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Antonius PS Wibowo mengungkapkan data jumlah korban terlindungi Tindak Pidana Perdagangan Orang oleh LPSK pada 2019 sebanyak 318 korban dan per juli 2020 sebanyak 227 korban. “Pada masa pandemi ini, kami terus dan tetap memberikan pelayanan perlindungan korban. Namun, pada masa pandemi ini kami menghadapi tantangan dan hambatan yang berbeda dimana kami harus tetap melayani korban dengan tetap memperhatikan dan mematuhi protokol kesehatan Covid-19, sehingga beberapa kasus mengalami keterlambatan penanganan,” ujar Antonius.

TPPO sendiri menempati posisi empat besar berdasarkan jumlah perlindungan yang diberikan oleh LPSK. Kasus ini hanya lebih disedikit di bawah kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM. Proses perlindungan yang diberikan oleh LPSK biasanya berupa beberapa program, di antaranya pemulihan medis, hak prosedural perlindungan hukum, pemulihan psikologis, pengajuan restitusi, dan hak rehabilitasi psikososial. Dalam pelaksanaan pemenuhan hak korban TPPO tentunya tidak terlepas dari peran dan sinergi berbagai pihak terkait terutama IOM.

Lebih lanjut, Grab Indonesia berkomitmen menjadi pelaku swasta yang terdepan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPO. Perusahaan teknologi bidang jasa ini menjadi garda terdepan yang sangat mungkin bersentuhan dengan kasus TPPO, sehingga bisa saja menjadi perpanjangan tangan dari pihak berwajib. Sejak 2019 Grab mulai aktif membangun sinergi dengan pemerintah dan pemangku kebijakan di semua negara Grab beroperasi, hal ini agar Grab terutama mitra pengemudi bisa berkontribusi dalam pencegahan dan pemberantasan TPPO.

Sebelumnya Grab Indonesia sudah bekerjasama dengan KemenPPPA, LPSK, Komnas Perempuan, dan KPAI untuk bersama memberantas TPPO. Kolaborasi strategis dalam hal pencegahan dan pemberantasan TPPO ini sejalan dengan misi kami kedepan yakni, #GrabForGood 2025 yang salah satunya merupakan upaya untuk mewujudkan layanan digital yang aman, inklusif, dan senantiasa berinovasi memberi dampak sosial bagi masyarakat.

Berantas Perdagangan Orang dengan Modus Eksploitasi Seksual di Media Daring

Jakarta —  Maraknya kasus perdagangan orang dengan modus eksploitasi seksual melalui media daring, menjadi peringatan dan tantangan bagi semua pihak. Pentingnya meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas, terkait perkembangan modus perdagangan orang ini, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan dini masyarakat dalam mencegah dan menangani berbagai modus baru TPPO di Indonesia.

“Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada Januari – Juni 2020, menunjukkan ada 50 kasus eksploitasi seksual pada perempuan dewasa dan 60 anak korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual. Data ini selaras dengan data dari Bareskrim Polri, yaitu ada 297 kasus perdagangan orang untuk eksploitasi seksual yang terungkap melalui media internet. Tingginya kasus perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual melalui media daring ini, menjadi peringatan dan tantangan bagi semua pihak, khususnya bagi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO),“ ungkap Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu dalam Webinar Menyambut Hari Dunia Anti Perdagangan Orang dengan tema “Perdagangan Orang Untuk Tujuan Eksploitasi Seksual Melalui Media Daring: Apa yang Perlu Diketahui” (29/7/2020).

Pribudiarta menambahkan dibutuhkan pemahaman masyarakat yang baik terkait teknologi dan isu yang terbilang baru tersebut, serta pentingnya memperkuat koordinasi terpadu dalam mengungkap kejahatan. Tidak hanya dari sisi penegakan hukum dan penjeratan pelaku, tetapi juga pada proses pemulihan dan reintegrasi bagi korban yang komprehensif.

Di samping itu, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO, Destri Handayani, menegaskan kejahatan eksploitasi seksual melalui media daring merupakan bentuk adaptasi cepat dari pelaku dalam mengikuti perkembangan teknologi dan informasi terutama di masa pandemi ini. “Ini merupakan salah satu ciri dari pelaku TPPO. Sebaliknya, dari sisi kita sendiri dan masyarakat luas, tidak mudah beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi secepat pelaku, inilah salah satu dari banyaknya persoalan yang kami hadapi,” terang Destri.
Terkait pencegahan, pihaknya akan memperkuat koordinasi dan sinergi antar anggota GT PP TPPO, salah satunya bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memperkecil akses ke platform berbahaya dengan memperkuat sanksi terhadap pelanggar. Namun, berbagai upaya ini tidak akan berarti tanpa adanya peran dari keluarga dan masyarakat luas untuk membatasi serta mengawasi anak saat mengakses media daring.

Sementara, Komisioner KPAI, Ai Maryati Sholihah mengungkapkan hasil Survei KPAI pada 2020, terkait aktivitas penggunaan gawai/gadget pada anak khususnya di masa pandemi ini. Hasil survei menunjukkan ada 71,3% anak memiliki gadget sendiri, dan 79% atau mayoritas anak tidak memiliki aturan bersama orangtua saat menggunakan gadget tersebut. Hasil survei juga menunjukkan di masa pandemi ini, banyak anak yang menggunakan gadget di luar kepentingan belajar. Di antaranya yaitu 52% anak menggunakan gadget untuk chatting dengan teman, 52% mengakses youtube, 50% mencari informasi, dan 42% bersosial media.

“Jika melihat hasil survei ini, selama pandemi Covid-19 secara umum orang tua cenderung tidak mendampingi anak saat main gadget. Inilah yang menyebabkan adanya potensi gap (kesenjangan) antara pengasuhan yang dilakukan orang tua dengan apa yang diterima anak. Untuk itu, kualitas komunikasi dalam pengasuhan perlu dikuatkan, perlu ada edukasi bagi orangtua dan anak itu sendiri mengenai penggunaan gadget yang baik bagi anak,” tutur Ai Maryati.

Untuk mengatasi hal ini, pentingnya melakukan advokasi berkelanjutan dengan berbasis pemenuhan hak anak, yaitu melalui aspek pencegahan dengan memberikan edukasi dan pendidikan literasi digital kepada keluarga, masyarakat dan anak itu sendiri untuk menjalankan internet sehat; mengoptimalisasi penanganan korban melalui rehabilitasi sosial dan pemulihan anak dengan mengacu pada standarisasi pemulihan anak korban eksploitasi; melakukan advokasi dan pengawasan terhadap para penyedia platform online agar berkomitmen kuat untuk memproteksi anak di dunia siber; memperkuat aspek penegakkan hukum kasus TPPO melalui peningkatan kualitas penanganan dan sumber daya manusia.

Sebelas Juta Anak Berpotensi Menjadi Pekerja Anak di Masa Pandemi Covid-19

Jakarta — Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kemen PPPA, Valentina Gintings mengatakan Pada 2020, kemiskinan diproyeksi meningkat menjadi 12,4%, maka sekitar 11 juta anak dari rumah tangga rentan berpotensi menjadi pekerja anak (The SMERU Reserch Institute). Hal ini merupakan persoalan serius, mengingat pada 2030, sebanyak 70% anak generasi penerus ditargetkan menjadi generasi produktif yang bekerja di sektor sesuai minat masing-masing. Namun saat ini, khususnya di masa pandemi, masih banyak anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi dan perdagangan anak. Masalah ini timbul bukan hanya karena dampak dari bencana non alam saja, tapi juga berimplikasi pada masalah ekonomi dan sosial pada anak

Data Profil Anak Indonesia pada 2019, menunjukan ada 10 provinsi di Indonesia yang memiliki  angka pekerja anak di atas rata-rata nasional, di antaranya yaitu Sulawesi Barat sejumlah 16,76%, Sulawesi Tenggara 15,28%, Papua 14,46%, Nusa Tenggara Timur 13,33%, Sumatera Utara 13,38%, Sulawesi Tengah 12,74%, Sulawesi Selatan 12,45%, Bali 11,57%, Nusa Tenggara Barat 11%, dan Gorontalo 10,97%. “Provinsi-provinsi ini juga memiliki jumlah anak putus sekolah yang cukup besar. Hal tersebut menunjukan anak yang putus sekolah sangat rentan dipekerjakan, sebaliknya, anak yang dipekerjakan juga rentan mengalami putus sekolah,” jelas Valentina dalam acara Webinar Pencegahan Eksploitasi Ekonomi pada Anak di Masa Pandemi Covid-19 (28/7).

Di samping itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak, Nahar menyampaikan melalui pertemuan tersebut, diharapkan dapat mendorong upaya untuk mendeteksi dini, mengidentifikasi, serta memperkuat sinergi dalam mencegah dan menangani kasus eksploitasi terhadap anak, khususnya dalam aspek ekonomi terkait pekerja anak dan bentuk pekerjaan buruk anak.

“Hal ini tidak bisa kami lakukan sendiri karena melibatkan berbagai aspek. Untuk itu, kami mengajak seluruh pihak untuk selain menjaga keluarga masing-masing, juga tetap fokus melindungi anak indonesia dari eksploitasi di berbagai aspek yang mengancam anak,” tegas Nahar.

Sesuai arahan Presiden RI, Joko Widodo, pencegahan dan penghapusan pekerja anak menjadi salah satu tugas prioritas Kemen PPPA, yang diimplementasikan dalam Desain Rencana Strategis Penurunan Pekerja Anak 2020-2024, dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk mengevaluasi kebijakan yang ada, memainstreamkan kebijakan kepada kementerian/lembaga terkait, membangun kemitraan, meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya sekolah bagi anak, meningkatkan pendidikan keterampilan anak, mengembangkan program jaminan sosial bagi anak dan keluarganya, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap nilai dan norma baru terkait pekerja anak; memperbaiki sistem pelaporan dan layanan pengaduan yang terpadu, responsif, dan adanya sinergi dalam penanganan kasus; serta melakukan reformasi besar-besaran dalam manajemen penanganan kasus pekerja anak agar bisa dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komperehensif.

Pada rangkaian acara ini, Kasubdit Pengawasan Norma Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Tundjung Rijanto mengungkapkan pada dasarnya anak ingin sekolah bukan bekerja, hanya saja mereka berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan. Untuk itu, pihaknya terus berupaya dan berkomitmen menargetkan penghapusan pekerja anak, khususnya terkait bentuk pekerjaan terburuk anak demi mendukung upaya mewujudkan Indonesia bebas pekerja anak pada 2022.

Berbagai upaya yang dilakukan Kemenaker untuk menghapus pekerja anak dan BPTA yaitu melaksanakan Program PPA-PKH pada 2008, dengan menarik pekerja anak dari rumah tangga sangat miskin dan putus sekolah untuk dikembalikan ke satuan pendidikan melalui pemberian pendampingan di shelter. Hingga 2019, PPA-PKH telah menarik sebanyak 134.456 pekerja anak. “Pada 2020 ini, kami bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, LSM pemerhati pekerja anak dan dunia usaha, dengan menargetkan menarik 9.000 pekerja anak dari tempat kerja mereka,” ujar Tundjung.

Pada kesempatan yang sama, National Programme Officer International Labour Organization (ILO), Irham Saifuddin menuturkan dari laporan singkat “Covid-19 and child labour : A time of crisis, a time to act” terungkap bahwa dunia telah mencapai keberhasilan bersama dengan berkurangnya pekerja anak sebanyak 94 juta lebih selama 2 dekade terakhir. Tetapi, adanya pandemi Covid-19 bukan saja membalikkan keberhasilan yang dicapai selama ini, bahkan jutaan anak berisiko kembali bekerja dalam kondisi pandemi yang membahayakan dirinya.

“Komitmen di tingkat global sejauh ini sudah sangat tinggi. Untuk memberikan kontribusi besar sebagai anggota ILO, kita memiliki tanggungjawab dengan melaporkan persoalan ini di tingkat global. ILO berkolaborasi dengan UNICEF merekomendasikan beberapa hal untuk dimasukan dalam kebijakan pemerintah, yaitu perlu adanya respon yang terkoordinasi dengan baik sebagai komitmen pencegahan dan penghapusan pekerja anak di masa pandemi; penghapusan kemiskinan melalui akses kredit dan bantuan tunai kepada keluarga miskin; mendorong penerapan penghapusan biaya sekolah, diberikan biaya belajar tambahan dan subsidi seragam, buku, transportasi; perlindungan sosial kepada kelompok paling rentan, melakukan pengawasan ketenagakerjaan dan penegakan hukum dalam pencegahan terhadap pekerja anak; serta melaksanakan dialog sosial antara pemerintah, organisasi pengusaha dan organisasi pekerja, dan anak-anak,” ungkap Irham.

DKP3A Kaltim Ajak Masyarakat Bijak Gunakan Internet

Samarinda — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad mengatakan, berdasarkan data kemenkes dan kemendikbud tahun 2017, sebanyak 95,1% remaja SMP dan SMA di 3 kota besar di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Aceh telah mengakses situs Pornografi dan menonton video pornografi lewat internet. 0,48% diantaranya diketahui teradiksi ringan, dan 0,1% teradiksi berat.

“Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),  bahwa pengguna internet di Indonesia menempati peringkat 5 dunia dengan jumlah pengguna 132,7 juta orang,  Dari jumlah itu, sebanyak 18,4 % atau 24,4 juta orang pengguna internet di Indonesia adalah usia anak dan remaja dengan kisaran usia 10-24 tahun,” ujar Halda pada Webinar Fasilitasi Forum Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), dengan tema “Dampak Pornografi Terhadap Pergaulan Remaja di Era Globalisasi”, secara virtual atau melalui Zoom Meeting, Rabu (29/7/2020).

 

 

 

 

 

 

Halda menambahkan, dengan usia yang masih sangat rentan dan banyak yang tidak tahu etika berinternet dengan baik, sehingga pornografi, kejahatan dunia maya serta penggunaan media sosial yang berlebihan bisa menjadi ancaman bagi anak dan remaja.

“Besarnya arus globalisasi, informasi yang tidak terkendali akan berdampak positif dan negatif bagi anak-anak dan remaja, untuk itu diperlukan self kontrol dan kesadaran dari diri kita masing-masing. Anak-anak dan remaja harus memiliki ketangguhan untuk melindungi diri dari hal-hal yang negatif, banyak hal-hal positif dari internet untuk kita menjadi lebih produktif.,” kata Halda.

Ia juga menjelaskan, data DKP3A Kaltim terkait jumlah penduduk Kaltim semester II tahun 2019 berjumlah 3.630.765, 30% dari jumlah tersebut adalah anak (0-<18th) 1.210.255, yang merupakan generasi penerus bangsa.

“Masa depan bangsa ini ada di tangan mereka. Oleh sebab itu mereka harus menjadi generasi yang sehat dan berkualitas,” imbuh Halda.

Lebih lanjut, pengetahuan kesehatan reproduksi penting untuk anak dan remaja sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman, pengetahuan serta bersikap dan berprilaku yang positif tentang kesehatan dan terhindar dari TRIAD KRR (menunda usia perkawinan, menghindari seks pranikah dan narkoba), sehingga mereka tumbuh menjadi generasi yang berkualitas dimasa mendatang.

Halda mengajak seluruh seluruh masyarakat menggunakan internet secara bijak dan peran orang tua sangat diperlukan untuk mendampingi, mengarahkan dan mengontrol anak-anaknya.

Webinar ini diikuti oleh Forum Anak Kaltim dan kabupaten/kota, PKBI Kaltim, PIK Remaja dan Bina Keluarga Remaja (BKR). Hadir menjadi narasumber pada webinar  Ketua Penghimpunan Masyarakat Tolah Pornografi Azizah Subagijo, dan Sekretaris BKKBN AL Khafid Hidayat. (dkp3akaltim/rdg)

Kaltim – Kaltara Jadi Pilot Project Standardisasi dan Sertifikasi RBRA

Samarinda — Bermain adalah hak anak. Di ruang bermain, harusnya anak-anak bisa bermain dengan gembira, bukan justru mengalami cerita sedih, seperti mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual. Oleh karenanya, standardisasi dan sertifikasi Ruang Bermain Anak (RBA) menjadi penting dilakukan untuk menjamin proses pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak benar-benar terwujud di dalam ruang bermain. Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh lapisan masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA).

“RBRA merupakan salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dan Provinsi Layak Anak (PROVILA). Namun, cerita-cerita sedih terkait kekerasan terhadap anak yang terjadi di ruang bermain juga masih menghiasi pemberitaan di media kita. Padahal, tujuan akhir dari ruang bermain adalah untuk membuat mereka bahagia dan mewujudkan terjadinya proses perlindungan anak saat mereka bermain. Oleh karenanya, semua ruang bermain anak harus terstandardisasi dan tersertifikasi.,” ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin pada Rapat Koordinasi Awal (Rakorwal) I Standardisasi RBRA di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara yang dilakukan secara virtual, Selasa (28/7/2020).

Lenny menjelaskan, prinsip RBRA adalah gratis, non diskriminasi, kepentingan terbaik untuk anak, partisipasi anak, aman dan selamat, nyaman dan sehat, serta kreatif dan inovatif.

Ketua Tim RBRA, Rino Wicaksono mengatakan unsur utama RBRA ada empat, yakni ruang terbuka hijau publik, perabot bermain, perabot lingkungan, serta sarana dan prasarana pendukung, seperti pos keamanan, puskesmas, kantin, dan lapangan parkir. Selain itu, alangkah baiknya jika ruang bermain dilengkapi dengan pagar transparan pada perabot permainan untuk menghindarkan anak dari kekerasan, dan papan pengumuman. Bermain merupakan hal yang penting bagi anak. Kami siap mendukung standardisasi dan sertifikasi RBA menjadi RBRA.

Kepala Dinas Kependudukan, PPPA Kaltim, Halda Arsyad mengatakan bahwa hingga 2020, Kaltim telah memiliki 18 Ruang Bermain Anak (RBA). Ruang bermain ini merupakan ruang terbuka hijau yang dimodifikasi menjadi RBA. Pihaknya berharap agar RBA tersebut terstandardisasi dan tersertifikasi menjadi RBRA.

“Selain itu, Kaltim meiliki 21 tempat ibadah ramah anak, 241 sekolah ramah anak (SRA), 55 pelayanan ramah anak di puskesmas (PRAP), 98 aktivis PATBM dan 8 Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang tetap melayani keluarga baik online maupun offline dalam masa pandemi Covid-19,” ujar Halda.

Halda menambahkan, 8 kabupaten/kota telah mendapatkan penghargaan KLA. Sementara 2 kabupaten yaitu Kubar dan Mahulu sedang diupayakan dengan melakukan advokasi dan pembinaan secara intens agar Kaltim menjadi Provinsi Layak Anak.

“Yang terbaru, Ojek Online Bersama Lindungi Anak 9Ojol Berlian) masuk dalam TOP 45 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) tahun 2020 sebagai mekanisme pencegahan tindak kekerasan terhadap anak, perempuan dan penyandang disabilitas pada layanan transportasi Online,” imbuhnya.

Kepala Sub Bidang Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Andrie Asdi mengatakan bahwa program perlindungan perempuan dan anak memang sudah masuk ke RPJMD 2019-2023 dan RKPD 2021. Hal ini termasuk penyediaan sarana dan prasarana untuk anak. Program dan kegiatan pembangunan daerah yang dilakukan juga mengacu pada pengarusutamaan hak anak. Hal ini tentu harus didukung oleh seluruh masyarakat dan perangkat daerah.

Sementara itu, aspek keselamatan dan keamanan masih menjadi permasalahan bagi pembangunan RBRA di Kaltara. Plt. Kepala Bidang Sosial Budaya dan Pemerintahan Bappeda Litbang Kaltara, Syamsaimun berharap agar Kaltara bisa mewujudkan RBRA, termasuk memfasilitasi taman yang dibangun oleh masyarakat agar menjadi RBRA.

Kaltara sedang mengupayakan terwujudnya RBRA. Dari beberapa ruang bermain yang dibangun, keselamatan dan keamanan masih menjadi permasalahan karena beberapa ruang bermain yang ada di wilayah Kaltarai berada di sekitar jalan raya atau alun-alun kota, sungai, dan danau.

Perbaikan Manajemen Shelter Untuk Peningkatan Layanan Bagi Korban TPPO

Samarinda — Rumah aman dan shelter (penampungan) memiliki peran penting dalam memberi perlindungan terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Menurut Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Destri Handayani, pengelolaan layanan rumah aman atau shelter di Indonesia saat ini masih lebih menitik beratkan pada sisi keamanan korban.

“Secara tidak langsung pelayanan yang menitikberatkan pada sisi keamanan korban ini menimbulkan dampak lain, seperti keluarga atau pendamping korban kesulitan berkomunikasi dengan korban karena adanya aturan yang ditetapkan oleh manajemen shelter,” ujar Destri dalam Webinar Manajemen : Memahami Prinsip Perlindungan dan Penanganan Berbasis Korban, Selasa (28/07).

Ia menjelaskan, laporan situasi perdagangan orang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika pada Juli lalu salah satunya mengkritisi manajemen shelter yang dianggap kurang ramah. Sebab, dianggap melanggar hak kebebasan bergerak korban.

“Kritik ini menjadi catatan sendiri bagi Gugus Tugas TPPO agar dalam pelaksanaan tugasnya menekankan pada penghormatan dan pemenuhan hak-hak korban. Isu lain yang juga jadi catatan adalah standar layanan dan manajemen rumah aman, ini penting dibahas supaya layanan shelter kita ke depan menjadi lebih baik,” tambah Destri.

Peningkatan pengelolaan shelter menurut perwakilan Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang Kementerian Sosial, Dian Bulan Sari, dapat dilakukan dengan memperkuat sistem dan standar operasional prosedur (SOP). Misalnya menerapkan SOP Kunjungan Klien, baik untuk keluarga dan instansi terkait, serta persyaratan khusus untuk kondisi pandemi Covid-19. Terkait hal ini, Dian mengimbau agar penerapan SOP harus diperketat.

“Kita harus mengedepankan hak korban dengan membuka komunikasi antara klien dengan keluarga klien. Namun mereka juga harus mengikuti SOP, karena banyak kasus pengunjung mengaku keluarga tapi ternyata agen yang datang untuk mencoba mengintimidasi para korban. Ada juga mengaku dari instansi ternyata Id Card dipalsukan. Pelaksanaan SOP untuk kunjungan harus lebih ketat lagi,” tutur Dian.

Di sisi lain Ahli Manajemen Shelter, Margaretha Hanita memberikan perspektif yang berbeda tentang manajemen shelter. Margaretha menekankan pentingnya persepsi yang benar tentang perbedaan antara shelter dan rumah aman.

“Shelter berbeda dengan rumah aman, ini yang harus kita sepakati dulu karena penanganan rumah aman dan juga shelter sering sekali memiliki persepsi yang tidak sama. Di Indonesia itu tidak mudah menyediakan rumah aman. Namanya rumah aman itu ya betul-betul untuk mengamankan saksi dan korban, dalam konteks keamanan korban jangan lupa apa status korban di situ,” kata Margaretha.

Margaretha juga menghimbau agar ketika mengamankan korban sebaiknya pengelola melakukan analisis ancaman. Hal ini berguna untuk melihat sejauh mana ancaman yang diterima korban, karena status korban biasanya adalah saksi kunci yang akan memberikan keterangan di polisi.

“Kita mau menyelamatkan korban untuk penegakan hukum, makanya harus ada koordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Minimal LPSK tahu bahwa bapak dan ibu melindungi korban, supaya bisa berkoordinasi baik dengan APH (aparat penegak hukum). Makanya kami sangat menyarankan jangan asal melindungi korban tanpa adanya surat rujukan dari penegak hukum. Pendamping dan pengelola shelter dan rumah aman juga harus terlatih mengamankan korban,” jelas Margaretha.

Upaya peningkatan pengelolaan shelter dilakukan KemenPPPA melalui webinar bekerja sama dengan IOM (International Organization for Migration) dengan peserta dari lembaga maupun mitra jejaring pengada layanan TPPO di daerah. Webinar kedua ini merupakan rangkaian kegiatan dalam memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang, serta upaya pemenuhan hak-hak korban khususnya dalam konteks perbaikan manajemen shelter.

 

DKP3A Kaltim Tingkatkan Kepemilikan Cakupan Akta Kematian

Samarinda — Tetap patuhi protokol kesehatan, Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim melaksanakan Bimtek Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kematian Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Kaltim, secara virtual atau melalui Zoom Meeting, Selasa (28/7/2020).

Kepala Dinas KP3A Kaltim Halda Arsyad mengatakan, peristiwa kematian sebagai salah satu peristiwa penting yang dialami seseorang, wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal kematian. Namun berdasarkan laporan terakhir dari Kabupaten/Kota per tanggal 28 Juni 2020 bahwa Akta Kematian yang diterbitkan baru berjumlah 248.482 lembar. Hal ini menunjukkan kesadaran warga masyarakat untuk mengurus akta kematian bagi anggota keluarganya yang meninggal dunia, relatif masih rendah sehingga jumlah pemohon akta kematian setiap bulannya belum meliputi seluruh peristiwa kematian yang terjadi di Kaltim. Ini tentu saja berdampak pada tidak maksimalnya tingkat akurasi data penduduk, yaitu jumlah penduduk di dalam database tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

“Mengapa orang meninggal perlu diurus akta kematiannya? Akta kematian merupakan bukti sah mengenai status kematian seseorang yang diperlukan sebagai dasar pembagian hak waris, penetapan status janda atau duda pasangan yang ditinggalkan, pengurusan asuransi, pensiun, perbankan. Pada saat ini penduduk yang melaporkan peristiwa kematian masih sangat rendah sehingga perlu upaya yang lebih sistematis dan terfokus agar data kependudukan bisa ditingkatkan akurasinya,” ujarnya.

Halda berharap agar pentingnya kepemilikan akta kematian ini secara terus menerus disosialisasikan kepada masyarakat dan dilakukan terobosan agar kepemilikan akta kematian di daerah bisa meningkat sehingga keakuratan dan kualitas database kependudukan menjadi lebih baik.

“Dengan tertib dan meningkatknya kepemilikan akta kematian berdampak sangat besar dan luas untuk kepentingan perencanaan pembangunan melalui keakurasian data dan pembangunan demokrasi khususnya dalam rangka menetapkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), sehingga tidak ditemukan lagi penduduk yang sudah meninggal tetapi namanya masih ada dalam data pemilih,” imbuh Halda.

Sebagai informasi, Pemprov Kaltim tahun ini memberikan bantuan Mobil Pelayanan keliling. Semula untuk semua kabupaten/kota tetapi terkait dengan pandemi Covid-19, anggaran mengalami rasionalisasi sebesar 50% sehingga yang semula mobil pelayanan sebanyak 10 unit menjadi 5 unit. “Tetapi tetap kami upayakan untuk pengadaan mobil pelayanan keliling sebanyak 5 unit pada tahun 2021 semoga bisa disetujui oleh Bapak Gubernur Kaltim,” terang Halda.

Diperkirakan bulan September Mobil Pelayanan Keliling untuk 5 Kabupaten yaitu Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Paser dan Penajam Paser Utara siap diserahkan. Diharapkan dengan adanya mobil pelayanan keliling akan meningkatkan jangkauan pelayanan administrasi kependudukan sampai ke pelosok-pelosok desa yang jauh dari pusat pemerintahan sehingga semua penduduk dapat terlayani dokumen kependudukannya dengan baik dan sebagai bukti bahwa Dukcapil hadir memberikan pelayanan terbaik tanpa diskriminasi dan membahagiakan masyarakat.

Tak lupa Halda mengucapkan selamat kepada 3 kabupaten/kota yaitu Kota Balikpapan, Kota Bontang dan Kabupaten Berau yang mendapat reward dari Menteri Dalam Negeri berupa Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM). (dkp3akaltim/rdg)

OJOL BERLIAN Raih TOP 45

Samarinda — Ojek Online Bersama Lindungi Anak (Ojol Berlian) masuk sebagai pemenang TOP 45 Kluster Pemerintah bersama 6 inovasi lainnya. Hal ini diumumkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) dalam Pengumuman TOP 45 Inovasi Pelayanan Publik dan 5 Pemenang Outstanding Achievement of Public Service 2020, di Lingkungan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD 2020, secara virtual, Senin (27/7/2020).

Deputi Pelayanan Publik Kemen-PANRB sekaligus Ketua  Sekretariat KIPP 2020 Diah Natalisa mengatakan, tahap penilaian dan presentasi Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) 2020 terhadap Top 99 dan 15 kelompok umum telah diselenggarakan pada tanggal 29 Juni – 16 Juli 2020. Total sebanyak 114 inovasi pelayanan publik telah dinilai oleh tim panel independen (TPI) secara virtual atau melalui aplikasi zoom meeting.

“Kami yakin Bapak dan Ibu inovator  beserta tim sudah bekerja keras untuk menyiapkan materi dan juga data pendukung dalam rangka pelaksanaan kegiatan tersebut. meskipun kegiatan presentasi dan wawancara tidak dapat dilakukan secara tatap muka karena Pandemi Covid-19 masih berlangsung, namun Alhamdulillah atas kerjasama yang baik antara kita semua kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien,” ujar Diah.

Lebih lanjut, Diah menyatakan inovasi disusun berdasarkan urutan abjad per kluster bukan berdasarkan urutan peringkat.

Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Halda Arsyad mengatakan, bangga atas capaian yang diperoleh.

“Semoga dapat memberikan manfaat dan menjadi penyemangat kita semua untuk berinovasi. Wagub juga turut menyampaikan selamat atas kerja keras seluruh tim Ojol Berlian Kaltim,” kata Halda.

Bahwa menjadi top dan pemenang KIPP bukan tujuan akhir dari inovasi. KIPP menjadi sarana untuk menjaring, mendokumentasikan dan mempromosikan inovasi dengan saling berbagi, tukar pengetahuan serta untuk memotivasi penyelenggara pelayanan publik. Teruslah berinovasi, karena tujuan berinovasi adalah untuk meningkatkan pelayanan publik sebagai bagian dari reformasi birokrasi di Indonesia. (dkp3akaltim/rdg)

 

BKKBN Gelar Persiapan Gerak PKK-KB-Kes

Samarinda — Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kaltim melaksanakan Rapat Persiapan Gerak PKK-KB dan Kesehatan Tingkat Provinsi Kaltim, secara virtual, Jumat (24/7/2020).

Kasubbid Hubalila BKKBN Kaltim Sri Haryani mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan cakupan pelayanan yang merata, upaya kesehatan lingkungan di rumah dan permukiman yang bersih, sehat dan berkualitas dalam Program Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) dan Kesehatan sebagaimana tertuang dalam upaya pencapaian RPJM-RPJP.

Lebih lanjut, diharapkan dapat meningkatkan jumlah kader/pengelola program pada masing-masing kelompok kegiatan, meningkatkan kualitas dimasing-masing kelompok kegiatan, meningkatkan jumlah keluarga yang ikut dalam kelompok masing-masing kelompok kegiatan.

“Selain itu, meningkatkan jumlah peserta KB Baru maupun peserta KB Aktif, meningkatkan jumlah peserta KB Pria secara kuantitatif, meningkatkan usia perkawinan bagi para PUS Baru dan meningkatkan jumlah remaja yang mendapat informasi tentang masalah-masalah Reproduksi Remaja,” ujarnya.

Kegiatan ini juga memiliki lokus persentase kesertaan ber-KB seperti MKJP & Non MKJP. Ketersedian kelompok-kelompok KKBPK dan cakupan Partisipasi keluarga terhadap poktan tersebut seperti BKB, BKR, BKL, UPPKS, Posyandu, dan sebagainya., % Kepemilikan keluarga terhadap administrasi kependudukan seperti KK, KTP, Akta kelahiran, karytu BPJS, KIS,  Kondisi infrastruktur Kampung KB seperti Jalan, sarana air bersih, lingkungan, rumah tempat tinggal, Ketersediaan sarana-prasarana yang menggambarkan sosialisasi/KIE below the line di Kampung KB seperti papan nama jalan/gang, poster, banner, baliho, dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan gotong royong; dan Inovasi yang dihasilkan.

Suara Anak Indonesia

Samarinda — Selain Festival Gembira di Rumah, sebagai bentuk perayaan HAN 2020, Kemen PPPA bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan UNICEF juga akan mengadakan Peringatan HAN dengan mendedikasikan sesi Media Center Gugus Tugas Covid-19 kepada anak-anak dengan tema “Children Take Over Task Force’s Media Center”.

Dalam puncak Peringatan HAN 2020, anak-anak Indonesia menyampaikan 12 butir Suara Anak Indonesia Tahun 2020, yakni:

  1. Memohon kepada pemerintah untuk mengoptimalkan pemerataan akta kelahiran di seluruh Indonesia
  2. Memohon kepada pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk memberikan ruang berpendapat kepada anak dalam berbagai aspek, serta direalisasikan seoptimal mungkin.
  3. Mengajak pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk mengoptimalkan edukasi, pengawasan, dan penyebaran informasi layak anak.
  4. Mengajak pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan edukasi, pengawasan, serta implementasi dari revisi Undang-Undang tentang Perkawinan untuk menekan angka perkawinan usia anak
  5. Mendukung pemerintah dan seluruh masyarakat untuk mengoptimalkan sarana & prasarana penunjang Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), serta memberikan pengasuhan alternatif kepada anak terdampak Covid-19 dengan memerhatikan kesiapan anak dalam menghadapi tatanan normal baru.
  6. Mendukung penuh pemerintah untuk meningkatkan penanganan kesehatan mental serta fisik anak melalui penyebaran informasi protokol kesehatan, mempercepat akses air bersih secara menyeluruh, dan menjaga kebersihan lingkungan.
  7. Forum Anak bekerja sama dengan pemerintah untuk memonitor dan memperketat peraturan terkait Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok (IPSR) di seluruh wilayah Indonesia.
  8. Memohon kepada pemerintah untuk memeratakan akses internet dan menyesuaikan kurikulum untuk pembelajaran jarak jauh dengan mempertimbangkan keadaan daerah masing-masing.
  9. Memohon kepada pemerintah untuk melakukan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan ke daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T), serta meningkatkan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus.
  10. Mengajak pemerintah, masyarakat, dan keluarga di seluruh Indonesia untuk meningkatkan edukasi dan skill parenting terhadap pola asuh anak, serta menolak segala bentuk kekerasan anak.
  11. Mengajak pemerintah, tenaga kependidikan, dan masyarakat Indonesia untuk mengoptimalkan pemberian edukasi dan menolak segala bentuk perundungan terhadap anak di lingkungan sekolah, masyarakat, dan media sosial.
  12. Mendukung pemerintah untuk meningkatkan perhatian kepada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), baik dalam pelayanan kesehatan dan pembuatan konten pendidikan yang ramah disabilitas.