Di Kaltim Ada 3.230 ABK

Samarinda — Partisipasi anak merupakan salah satu hak anak, termasuk anak penyandang disabilitas yang harus dipenuhi. Anak disabilitas memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya tentang apa yang dirasakan dan harapan-harapannya.

Kabid PPPA Noer Adenany mengatakan, berdasarkan data kependudukan tahun 2018 pada Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, jumlah anak di Kaltim sebanyak 1. 181. 370 anak.

“Berdasarkan sumber data kependudukan bersih (DKB) Kemendgri tahun 2018, ada sebanyak 3.230 anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada di 10 kabupaten/kota di Kaltim,” ujarnya pada Dialog Interaktif Suara Disabilitas berlangsung di RRI Pro 1 Samarinda, Rabu (7/8/2019).

Dany merincikan dari 3.230 ABK kategori cacat fisik sebanyak 1.102, cacat netra 317, cacat rungu 623, cacat mental jiwa 426, cacat fisik mental 230 dan cacat lainnya 530.

Walaupun ada jaminan yang diberikan oleh negara dan kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak anak disabilitas sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, namun hak-hak anak disabilitas belum dapat terpenuhi secara optimal. Ini terbukti dengan masih banyaknya anak yang mengalami stigma, diskriminasi, kekerasan, pelebelan dan eksploitasi.

“Kami berharap pula peran masyarakat untuk mengubah paradigma bahwa memiliki anak ABK atau disabilitas merupakan aib  Kami juga terus memberikan edukasi dan pendekatan kepada masyarakat yang berada di kabupaten/kota dan desa,” katanya.

Selain itu, dengan terbentuknya Persatuan Orang Tua Cerebral Palsy Kaltim menjadi kepanjangan tangan pemerintah sebagai upaya nyata masyarakat yang peduli terhadap anak penyandang disabilitas.

“Kami menyambut baik, dan siap menerima dengan tangan terbuka karena komunitas ini merupakan bagian dari kami dalam perlindungan anak,” imbuh Dany.

Sebagai bentuk tindak lanjut, jelas Dany, pihaknya telah melaksanakan Pelatihan Penanganan ABK Bagi Fasilitator pada tahun 2015, Pelatihan Penanganan ABK Bagi Guru di SLB dan Sekolah Inklusi pada tahun 2016 dan di tahun 2019 akan kembali mempersiapkan regulasi terkait pembentukan Forum Peduli ABK yang sempat mandek..

Selain itu, hasil terbaik dari anak penyandang disabilitas yaitu pada kegiatan Harmoni Suara Anak Penyandang Disabilitas rangkaian Hari Anak Nasional (HAN) 2019 diantaranya peluncuran buku kumpulan naskah suara anak peyandang disabilitas dengan tema Dengarkan Curhatan Kami. Buku ini merupakan tulisan dari anak penyandang disabilitas yang dipilih sebagai penyaji karya terbaik dari setiap kategori disabilitas.

“Untuk perwakilan anak ABK Kaltim mendapatkan dua penghargaan. Kategori disabilitas Tuna Netra oleh Vughli Alif Nur Restu Wardhana meraih Terbaik 3 dari SLB Negeri Balikpapan. Kemudian Kategori Disabilitas Mental Intelektual (Ganda) oleh Aryo Penembahan Notowijoyo meraih terbaik 6 dari Pelita Bunda Samarinda,” katanya.

Dialog ini juga menghadirkan Ketua Persatuan Orang Tua Cerebral Palsy Kaltim Yanti, dan Persatuan Penyadang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kaltim Ani Juwairiyah. (DKP3AKaltim/rdg)

Orang Tua Harus Dampingi Anak Di Era Digital

Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA RI, Nahar mengatakan.maraknya penggunaan telepon genggam (gawai) pada anak-anak saat ini menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan, mengingat banyaknya bahaya yang mengancam anak sebagai generasi penerus bangsa. Anak rentan menjadi sasaran cyber bullying, pelanggaran privasi, terpapar pornografi, radikalisme, dan yang lebih parah, anak menjadi incaran para predator anak (pedofil), belum lagi dampak buruk dari segi kesehatan pada anak.

“Melihat kondisi ini, sudah seharusnya kita sebagai orangtua memberi perhatian dan bersama-sama melakukan pencegahan dengan mendampingi anak dan memberi perlindungan bagi mereka di era digital ini. Orangtua harus bisa mendidik anak sesuai dengan perkembangan zaman, mempersiapkan anak untuk menghadapi era digital yang penuh manfaat sekaligus tantangan,” tegas Nahar.

Banyaknya anak yang terjerumus dalam bahaya penggunaan gawai karena adanya kesenjangan kemampuan teknologi antara orangtua dan anak. Orangtua harus mempunyai literasi digital yang baik  dan memahami aturan di dunia digital, mampu memilah sekaligus menyampaikan konten positif dan mencegah konten negatif pada anak.

Pelatihan parenting di era digital ini, sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan para orangtua, pendidik juga masyarakat dalam mendampingi dan melindungi anak dalam menggunakan teknologi seperti gawai dengan baik dan aman.

Nahar menjelaskan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sudah membuat berbagai kebijakan berupa pedoman, peraturan, serta menyelenggarakan beberapa kegiatan sebagai model yang diharapkan secara efektif bisa direplikasikan di seluruh wilayah Indonesia. Baik oleh kementerian, daerah atau lembaga masyarakat yang bergerak di bidang pencegahan terhadap anak yang teradiksi bahaya internet. Serta menjadi model yang bisa diterapkan dan dimanfaatkan bagi kebutuhan anak dan keluarga menghadapi situasi di era digital ini.

Pakar Perlindungan Anak Yayasan Sejiwa, Diena Haryana menuturkan bahwa dalam mendampingi anak di era digital, harus dilakukan dengan cara asyik dan bijak. Orangtua harus melakukan pendekatan kepada anak, mengajaknya untuk beraktivitas menikmati momen bersama, melakukan hal yang ia sukai di dunia nyata agar anak tidak larut dan berlebihan menggunakan internet.

“Bentuklah anak menjadi netizen unggul yang bertanggungjawab yaitu cerdas, berkarakter, dan mandiri. Membentuk anak tangguh yang mampu hidup di dunia nyata dengan life skills, mampu menggunakan teknologi digital untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sadar untuk mengasah keterampilan dalam bergaul (social skills) sehingga pergaulannya dengan keluarga, teman-teman serta masyarakat di lingkungannya tetap terjaga baik. Serta menjadi anak yang aktif, ceria, ramah dan ‘up to date’. Melakukan semua tanggung jawab dan kewajibannya dengan disiplin,” jelas Diena.

Orangtua juga harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan anak secara asertif dan terkoneksi dalam berbagai situasi terkait dunia digital, seperti memuji, menegur, bernegosiasi, dan lain-lain.

“Kita harus menciptakan suasana ramah, hangat dan penuh cinta bersama anak agar ia tidak mencari kegiatan di luar rumah yang ancamannya lebih besar. Selain itu, sebagai orangtua kita harus bisa menjadi suri tauladan bagi anak yang memiliki integritas tinggi, menjadi ‘top of mind’ (idola) bagi anak, konsisten, kompeten (mampu), dan hadir untuk mendampingi anak,” ujar Diena.

Ia juga mengajak para orangtua untuk menjadi sosok idola bagi anak, yaitu orangtua yang funky, asyik, bergaul, mampu dekat dengan anak serta teman-temannya. “Kita harus hadir dalam hidup anak, mau mendengarkan mereka dengan antusias, menjadi teman diskusi yang asyik. Terapkan nilai-nilai luhur pada anak seperti jujur, menghargai, ikhlas peduli, empati, bijak, cinta/sayang pada anak,” terang Diena.

Beberapa hal yang harus dipahami orangtua dan pendidik, yaitu mengetahui di usia berapa saja anak boleh menggunakan gawai dan internet; mengetahui password medsos anak-anak kita, membuat kesepakatan agar anak tidak membawa gawai ke tempat tidur dan meja makan, berteman dengan anak di media sosial tetapi jangan mengontrolnya, masuk di dunia online bersama anak, saat bertemu orang lain anak harus berbicara dengan sekelilingnya, bukan asyik main gawai, dan yang terakhir orangtua harus memasang  fitur “Parental Control” pada gawai anak. (HumasKPPPA/DKP3AKaltim/rdg)